MIMBAR-RAKYAT.Com (Ambon) – Media massa memiliki arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Media massa tak hanya menjadi pengawal demokrasi, tapi juga menjaga keutuhan negeri. Tanpa media massa kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi kurang pas.
Itu menjadi poin penting dalam pembahasan sesi kedua Konvensi Nasional Media Massa yang membahas tentang “Demokrasi Digital, Nilai Kewargaan dan Ketahanan Budaya di Baileo Siwalima, di pada Hari Pers Nasional (HPN) 2017, di Ambon, Maluku, Rabu (8/2).
Pada sesi kedua konvensi ini menghadirkan pembicara nasional seperti Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Budayawan Garin Nugroho dan Sujiwo Tedjo dan akademisi Yudi Latif.
Menko Luhut yang mendapat kesempatan menjadi pembicara pertama menyampaikan bahwa media selalu menjadi bagian dari pemerintah untuk bertugas menjaga masyarakat untuk selalu bersatu padu.
Selain itu Luhut juga menyinggung soal keadaan ekonomi dunia yang penuh ketidakpastian yang tentunya akan berdampak terhadap Indonesia.
Oleh karenanya ia meminta pers memainkan peranan penting menjaga kestabilan politik dalam negeri di tengah badai ekonomi dunia. Kendati begitu, Luhut menyampaikan kondisi ekonomi Indonesia masih aman terkendali dan masih bisa memainkan peran penting di ekonomi kawasan.
Pers, kata Luhut, wajib menjaga keutuhan dan kestabilan dalam negeri dengan memberitakan hal-hal yang baik dan positif untuk menimbulkan kesejukan di masyarakat saat ini.
“Media menjadi bagian dari pemerintah untuk membuat Indonesia tetap kompak. Pers dengan dinamikanya tentu selalu mengingatkan pemerintah, pemerintah mengingatkan pers. Itulah dinamika kehidupan bernegara,” kata Luhut,
Pembicara kedua, Garin Nugroho yang juga sutradara lebih menyoroti soal fenomena media sosial. Ia mengatakan, kultur media sosial saat ini lebih melahirkan “haters dan lovers” layaknya di kultur dunia hiburan. Dalam kultur semacam ini melahirkan massa politik yang hitam putih serba berkubu dalam hukum “benci dan cinta”, kehilangan ruang dialog dan kritik.
Atmosfer euphoria medsos ini melahirkan ironi demokrasi, yakni melahirkan politik baru bukan karena pengetahuan, keterampilan politik serta kenegarawannya, namun kemampuan pameran perhatian untuk mengelola massa dalam kultur medsos.
“Medsos bukanlah jalan utama kematangan demokratisasi dan adabnya, namun medsos menjadi riuh rendah demokrasi banal serba maya dengan dampak pada dunia nyata yang sering tak terkendali,” kata Garin.
Di sisi lain, akademisi Yudi Latif mengingatkan kembali bahwa pendiri bangsa yakni Soekarno dan Hatta berlatar belakang jurnalis dan penulis. Profesi wartawan menjaga dan merawat sepanjang perjalanan bangsa Indonesia.
Budayawan eksentrik Sujiwo Tedjo dalam sesi kedua Konvensi ini menghibur para peserta dengan tembang-tembang Jawa yang memantik perhatian para peserta. Aksi Sujiwo yang juga “dalang” ini tak pelak mendapat riuh dari para peserta konvensi nasional media massa. (joh)