“Pa, sini deh. Mana tangannya. Taruh sini. Terasakan gerakannya?”
“Ya.., ya.,” kata saya. Aku mengelus-eluskan telapak tangan ke perut istriku yang buncit.
Narti, istriku, terlihat senang. Senyumnya mengambang.
“Laki-laki atau perempuan sama saja kan? Kita harus siapkan dua nama ya, Pa?”
“Tapi dokter kan bilang kemungkinan anak kita laki-laki,” jawab saya.
“Ah, bisa saja meleset. Hasil USG kan tidak selalu benar. Tapi yang lebih penting, begitu lahir anak kita ini pasti ingin becanda dengan papanya.”
Sepenggal percakapan dengan Narti usai subuh pagi tadi meninggalkan kesan yang amat sangat di sanubariku. Dalam dada, juga kepala ini banyak yang mengganjal. Hati mengatakan aku harus berubah, sementara di kepala, benak bersikeras belum saatnya.
Sudah lebih satu jam aku berada di kantor, tapi tak satu pun yang bisa aku kerjakan. Pikiran melayang ke mana-mana. Kini, baru setelah berdoa, usai shalat dhuha dua rakaat di mushola kantor, hati mulai terasa adem. Kepala terasa ringan. Mungkin sebentar lagi sudah bisa melaksanakan tugas. Inilah kali pertama aku melaksanakan shalat dhuha. Itu pun karena mengikuti anjuran istriku yang memang jauh lebih kenal agama dibanding aku.
“Pa, shalat dhuha itu besar lho manfaatnya. Doa kita dalam shalat dhuha paling diterima oleh Allah. Coba deh pa. Pikiran suntuk bisa jadi plong. Coba deh,” kata Narti.
“Terima kasih ya Allah. Terima kasih atas jodoh yang Engkau pilihkan untuk hambaMu ini”.
Senyum Narti selalu membayangi pikiranku. Tapi sikap manjanya sebulan terakhir membuat aku sering berpikir yang bukan-bukan.
“Ahhh,” aku bergumam sendiri, aku tak ingin Narti kenapa-kenapa. Tak ingin terjadi seperti nasib ibunya, pulang ke alam akhirat hanya beberapa saat setelah melahirkan putrinya, ya Narti istriku ini.
“Lindungilah istriku Narti, ya Allah. Lindungi pula anak kami. Jangan renggut mereka dariku ya Allah. Jangan pisahkan kami.”
Mataku berkaca-kaca, tangan masih tengadah memohon pada Allah. Aku akhiri doa, ditutup dengan mengusapkan kedua telapak tangan secara bersamaan ke wajah.
“Saatnya aku berubah, menjalankan perintah agama. Aku harus bisa,” aku bergumam.
Seiingatku, aku belum pernah secara khusus melafalkan dua kalimah syahadat. Waktu kecil memang pernah shalat, tapi hanya sekadar ikut-ikutan. Aku tak tahu bacaan shalat. Untuk menutupi ketidaktahuan itu, mulutku hanya komat-kamit, tapi tak melafalkan apa-apa. Baru sekarang mulai mengerti dan tahu bacaan shalat, setelah belajar dibantu Narti dan buku-buku tuntunan shalat.
“Asyhadu Anlaa Ilaaha Illallah, Wa-asyhadu Anna Muhammadar Rasuulullaah. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.”
Dari tadi pagi, ketika usai shalat subuh, ketika dalam perjalanan, dan setelah shalat dhuha, berulang kali kalimat syahadat aku lafalkan. Aku ingin menjadi Islam sejati, menjadi umat Islam sesungguhnya, dari ubun-ubun hingga ujung jari. Aku ingin kehidupan masa lalu-ketidakmengertianku, ketidakpedulianku atas agama, dan ketidaktahuanku atas halal dan haram-diampuni Allah.
“Ampunilah hambaMu ini ya Allah,” ucapan ini sering terlintas dalam benakku. Terkadang terlontar begitu saja ketika berada di atas angkutan umum, saat jalan kaki, tak jarang diikuti tetesan air mata.
***
“Pa, ini sudah bulannya, mungkin dalam pekan ini anak kita lahir,” kata istriku.
“Sekarang bulan baik. Mudah-mudahan anak kita lahir pada bulan Ramadhan ini atau paling lambat saat Idul Fitri,” kataku menimpali.
Tadi pagi kandungan Narti kami periksakan ke rumah bersalin, tempat istriku rutin diperiksa sejak awal kehamilan. Dokter menyatakan paling cepat anak kami lahir sepuluh hari lagi.
“Mungkin setelah Lebaran,” kata dokter memperkirakan.
Karena pertimbangan anak kami paling cepat baru akan lahir sepuluh hari lagi itulah Narti ngotot menyuruh saya pergi ke kampung, menengok ibu yang tiba-tiba jatuh sakit.
“Tak apa-apa, Pa. Kan ada Mbak Piah, pembantu kita. Lagian, jika ada yang mendesak aku bisa telepon Tante Marni atau suaminya. Toh rumahnya tak terlalu jauh dari rumah kita,” kata Narti.
Dia bersikukuh agar aku pergi.
“Nanti Papa nyesel. Mudah-mudahan ibu cepat sembuh dan sehari menjelang Lebaran Papa sudah kembali,” katanya lagi.
Di hari kepergianku ke kampung, Narti menyiapkan macam-macam. Selain oleh-oleh untuk ibu, dia juga menyiapkan sejumlah pakaian, termasuk pakaian khas Muslim.
“Gunakan saat tarawih di kampung. Biar mantap,” katanya.
Aku menyambutnya dengan senyum, lalu berujar, “Bukan karena baju koko, karena sarung, atau kopiah. Yang penting di sini, dalam hati sanubari dan pikiran,” kataku sambil menunjuk dada dan kepala.
“Papa sepertinya makin mantap,” ujar Narti.
* * *
Sudah tiga hari aku berada di kampung. Aku dan Narti selalu berhubungan via telepon. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Di kampung, sakit ibu pun berangsur pulih. Mungkin tiga hari lagi, sehari sebelum Idul Fitri, aku sudah dapat kembali ke Jakarta.
Waktu tiga hari di kampung, selain untuk menghibur ibu di rumah sakit, juga dimanfaatkan untuk bernostalgia. Hampir setiap waktu shalat datang aku pergi ke mesjid yang ada dekat rumah kami. Di situlah aku dulu sering ikut-ikutan shalat, namun tak pernah bisa membaca Al Qur’an, meski ikut belajar mengaji.
Sejak itu yang aku tahu dan sering aku ucapkan hanya Assallamualaikum, Bismillaahirrahmaanirrahiim, Alhamdulillah, Insya Allah. Selebihnya gelap, tanpa shalat, tiada doa.
Di bulan-bulan Ramadhan, termasuk setelah dewasa, bahkan setelah berumah tangga aku sering puasa hanya setengah hari. Sahur ikut, pagi masih puasa. Tapi begitu ke luar rumah atau di tempat pekerjaan aku makan minum seperti biasa, merokok tanpa malu. Kalaupun puasa aku tak pernah shalat, meski banyak yang mengingatkan shalat adalah tiang agama.
Aku sudah Islam sejak lahir. Sebagai bukti, kata Islam tertera dalam kartu tanda pendudukku, pada kolom agama. Sejauh ini tak ada yang mempersoalkan. Toh banyak juga tokoh-tokoh masyarakat yang tak shalat, tak puasa. Bahkan, menurut seorang teman, ada tokoh publik yang juga tokoh agama panutan banyak orang, beranggapan agama itu hanya ada dalam hati. Atas nama intelektual Islam, banyak pula orang yang mengaku beragama Islam merasa aurat tidak perlu diberi batasan dan menganggap budaya Barat-termasuk dalam hal berpakaian-sah-sah saja ditiru bangsa Indonesia.
Kini, apa yang aku alami pada masa lalu, sepertinya tak berubah. Tingkah polah banyak orang di kampung kami ini sama seperti ketika aku kecil, bahkan lebih minim. Banyak orang tua, apalagi remaja, sepertinya tak merasa berdosa meninggalkan shalat. Masjid, mushola kosong melompong. Yang rutin mengerjakan ibadah hanya itu-itu saja, segelintir orang tua dan beberapa anak-anak.
Bagi banyak bapak-bapak, peci yang selalu nangkring di kepala dan kain sarung yang bertengger di bahu, tak lebih hanya hiasan. Yang menyedihkan, tidak seperti waktu aku kecil, kini hanya satu dua masjid saja yang mengumandangkan adzan setiap waktu shalat masuk. Lainnya, lebih sering tutup, entah kapan digunakan.
“Kalau begitu pantaslah di negeri ini makin banyak orang miskin, makin sering terjadi kejahatan, karena antara satu dengan lainnya tak mau peduli. Si kaya tak mau membantu si miskin. Agama hanya hiasan. Boleh kita mengaku di negeri ini dihuni mayoritas orang Islam, sampai 80 persen. Tapi kalau kita lihat kenyataannya, yang benar-benar Islam mungkin tak sampai 40 persen,” kata saya.
“Anda puas melepas uneg-uneg?”
“Ah…, maaf pak ustad. Saya tak menyangka, ternyata agama bagi banyak masyarakat kita hanya di luarnya saja…,”
Belum selesai bicara, telepon genggam di kantongku berdering.
“Maaf, ini Ade?”
“Ya, ya. Ini siapa ya?”, jawabku.
“Ini Om, suami Marni. Ya saya ingin mengabarkan, Narti masuk rumah sakit. Baru saja, dia ditunggui Marni. Ade diminta segera pulang. Ya…, begitu ya. Nanti dikabari lagi. Sudah ya, nggak usah panik. Saya juga ada di rumah sakit, di luar. Segera saja pulang…,” kata Om Bambang yang terdengar gugup.
Keringat langsung mengalir di kening. Udara mendadak terasa panas.
“Ada apa?,” ustad bertanya.
“Istri masuk rumah sakit, ustad. Aku harus kembali.”
“Tenang. Jangan panik. Lalu, kapan kembali. Malam ini nggak mungkin. Pesawat terbang baru ada besok, naik bus tak mungkin?”
Pak ustad yang coba menenangkan sepertinya juga kalut.
Pembicaraan dengan ustad di masjid usai shalat tarawih itu berakhir begitu saja. Aku mohon diri, pulang ke rumah ibu. Malam ini harus ke rumah sakit, menemui ibu.
“Sabarlah. Tunggu sampai besok. Pagi-pagi sekali kamu langsung ke bandara. Tenang, jangan kalut. Banyaklah berdoa,” kata ibu sangat tenang.
“Lalu, bagaimana dengan ibu. Besok kan sudah harus keluar rumah sakit?”
“Kan ada adikmu dan suaminya. Lagi pula ibu sudah sembuh, sudah segar. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kakakmu besok sore juga pulang dari Brunei. Kembalilah, rawat istrimu.”
* * *
Semalaman aku menunggui ibu di rumah sakit. Pagi-pagi sekali langsung ke bandara. Alhamdulillah tiket yang seharusnya baru aku pakai dua hari lagi bisa digunakan, meski sempat deg-degan karena sebagai cadangan.
“Orang baik itu akan cepat mati, sementara orang yang sering berbuat jahat, bandit, nakal, atau suka menyakiti orang lain, umurnya biasanya malah lebih panjang.”
Ah.., pikiranku teringat pada suatu percakapan lepas di sebuah warung kopi. Aku dulu setuju-setuju saja pendapat itu. Tapi, kini semua itu aku tak sependapat, setindak berharap itu hanya omong kosong.
Meski begitu aku tetap coba mengingat-ingat ketidakbaikan Narti. Tak ada yang menyakitkan. Tutur katanya selalu manis. Kalaupun dicari-cari, mungkin hanya sebutan mualaf yang dia arahkan padaku dalam suatu canda. Meski begitu aku tak menyalahkan dia, keadaanku saat itu memang lebih buruk dibanding seorang mualaf. Aku benar-benar bak seseorang yang baru masuk Islam.
Saya baru mengerti bacaan shalat. Itu pun belum tahu artinya. Aku baru sekarang ini melakukan puasa dengan niat karena Allah, bukan karena malu kepada tetangga. Aku baru bisa mengaji atau membaca Al Qur’an, itu pun berkat bimbingan istriku.
“Narti orang baik. Tapi dia tak akan mati secepat itu,” kataku.
“Ada apa? Narti sudah sadar kok, tapi dia masih lemah,” kata Tante Marni. Ucapan Tante Marni menyadarkan aku dari lamunan.
“Kata dokter, Narti hanya mengalami gangguan pencernaan. Jadi tidak mengkhawatirkan,” kata Tante Marni lagi.
Ya, sudah dua malam ini aku menunggui Narti di rumah sakit. Keadaannya berangsur baik. Wajahnya mulai cerah, dia bahkan sudah diizinkan makan bubur.
Aku tak ingin pulang, meski seharian tak ganti pakaian. Agar badan terasa nyaman, cukup mengelap tubuh di kamar kecil ruang perawatan istriku. Aku ingin melalui malam takbiran, malam ini, di samping Narti.
Dari tadi Narti hanya lebih banyak senyum dibanding bicara. Dia juga tak menolak ketika padanya aku katakan ingin menemaninya saat melalui malam takbiran.
“Tapi alangkah baiknya papa ke mesjid dekat sini dulu, untuk shalat isya, terus ikut takbiran. Baru malamnya kembali ke sini,” saran Narti.
Ya, tak ada alasan untuk tidak mengikuti saran istriku ini. Lagi pula dia terlihat seger, cerah. Wajahnya berbinar, penuh gairah.
“Kaulah bidadariku. Engkaulah segala-galanya bagiku. Kaulah ibu dari anak-anak kita.”
Tiba-tiba saja aku jadi pintar merayu, sambil menggenggam kedua tangan Narti. Dia tersipu. Kemudian aku pamit, pergi ke mesjid terdekat.
Aku merasakan malam takbiran kali ini sangat menyentuh hati. Hanyut, bahkan air mataku berkali-kali mengalir. Untuk tidak menimbulkan pertanyaan peserta takbiran lainnya di mesjid ini, aku berkali-kali menunduk sambil menyeka air mata.
Aku agak terlambat kembali ke rumah sakit, karena sempat mampir di warung makan, sekadar mengisi perut yang memang terasa lapar. Begitu masuk ruang tunggu rumah sakit, Mbak Piah, pembantu kami, tergesa-gesa menemuiku.
“Tadi ada telepon dari sini. Mereka mencari bapak. Karena itu saya langsung saja ke sini. Katanya ibu ada di ruang operasi,” tutur Mbak Piah.
“Lindungilah istriku ya Allah.”
Aku tak tahu harus bertanya kepada siapa tentang kondisi istriku. Kenapa dia sebenarnya. Penyakit apa lagi yang menyerangnya?
Ketika aku coba bertanya pada salah seorang dokter, dia menyarankan agar aku menunggu saja pemberitahuan dari dokter yang menangani istriku. Aku hanya bisa berdoa. Mbak Piah yang selalu mondar-mandir malah membuat aku makin bingung.
“Jangan ambil istriku ya Allah. Selamatkanlah dia. Selamatkan anak kami.”
Saya tak ingin kehilangan Narti. Saya tidak ingin dipisahkan.
Tiba-tiba ada yang memanggil-manggil namaku. Aku menghampirinya, lalu mengajakku ke ruang bagian dalam. Di situ ada dokter yang kukenal, dokter yang menangani istriku. Dia menghampiriku, wajahnya tanpa ekspresi. Seperti orang kelelahan. Dia lalu mengulurkan tangan.
“Maaf, saya tak segera memberitahu Anda. Tapi selamat, anak Anda selamat, perempuan. Tapi istri Anda sangat kelelahan, karena harus menguras tenaganya dalam waktu lama. Mungkin sebentar lagi Anda baru bisa menemuinya,” kata dokter itu.
“Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah.”
Aku langsung bersujud. Dokter coba menahan, tapi aku tetap sujud di lantai. Kekhawatiranku tak jadi kenyataan. Istriku selamat. Begitu juga anak kami.
“Sabar pa. Iqomatnya bukan di kuping saya, tapi di kuping anak kita,” kata Narti.
Dari tadi, begitu mengetahui Narti dan anak kami selamat, saya memang tak henti-hentinya menghafal iqomat. Meski ustad yang kutemui di kampung menyatakan bahwa anjuran mengadzankan dan mengiqomatkan anak yang baru lahir haditsnya lemah, namun aku tetap ingin melaksanakan. Setidaknya aku akan iqomat di telinga anak kami.
Suara takbir di luar sana terus menggema.
“Allah Maha Besar. Semoga saya, Narti, dan anak kami, benar-benar menjadi Islam sejati. Sebagai manusia yang fitri. Kembali pada kesucian. Kabulkanlah ya Allah. Ammiiinnn.” ***
*Jakarta, September 2008