Hari demi hari berlalu dilalui Budi. Malam-malam menjadi dingin karena hujan dan gerimis setiap hari mewarnai harinya. Angin yang kadang kencang menambah pilu hatinya karena sepi, seakan menerpa semua kehangatan yang diharapkannya.
Kalau sedang kesepian seperti itu Budi lalu memutar lagu kesayangannya, Let Me Make Itu Through The Night yang dinyanyikan penciptanya Kris Kristoferson. Lagu itu seperti kisah Kris yang berpisah dengan istrinya karena suka kehidupan hedonis mabuk dan bermain perempuan. Tetapi ketika waktu berjalan dia hidup sendiri dalam sepi. Ternyata hidup perlu teman. Khususnya ketika harus melalui malam. Peduli setan, yang penting dia tidak mau kesepian sepanjang malam.
I don’t care what’s right what is wrong// I don’t try to understand//let’s the devil take tomorrow// because lord to night I need a friend//…//It is sad to be alone//help me make itu through ke night//
Entah sudah berapa senja, entah sudah berapa purnama, tidak ada kabar dari Dian. Dia sendiri sadar tidak boleh berharap. Dian memiliki keluarga, yang tentu lebih harus dia perhatian. Budi tidak mau menerka-nerka apa yang terjadi dengan sahabat terkasihnya itu. Pandemi Covid-19 yang melanda semua negara di dunia barangkali mempengaruhi kehidupan sehari-harinya.
Budi sendiri mengalami banyak hal baru. Dia tidak perlu lagi ke kantor setiap hari karena semua pekerjaan dilakukannya di rumah. Manajer mengirimkan file naskah-naskah yang harus diperiksa dan dieditnya, lalu diberi target harus selesai dalam berapa waktu.
Tetapi bekerja di hadapan computer, membaca puluhan bahkan ratusan halaman setiap hari membuatnya menghadapi penderitaan tiada tara. Selain membuatnya kurang bergerak, dia seperti dilanda phobia ruang sempit walaupun meja keranya sudah dia tata agar lebih nyaman.
Makanya sehabis memeriksa 100 halaman, dia akan ambil waktu untuk berjalan keliling ke luar rumah. Menghidup udara segar, merasakan cuaca yang kini sering sejuk dan sering pula gerimis. Dia pun berkali-kali membiarkan rambutnya tersapu curahan halus air yang jatuh dari langit. Setelah puas dia kembali ke rumah, duduk santai di ruang tamu, mendengar music atas memandangi lukisan baru kemudian kembali bekerja di depan laptopnya.
Dia ingin sekali masuk ke media sosial untuk menyapa, tetapi dia pun suka malu sendiri. Secara moral dia merasa bersalah apabila memulai percakapan. Kalau dia yang disapa, setidaknya, di dalam hati dia lega karena tidak berinisiatif. Tetapi memang tidak mudah mengelola rindu yang terlarang ini.
***
Dalam hidupnya Budi selalu tidak percaya diri untuk memulai sesuatu apabila itu terkait dengan perempuan. Dia harus melihat tanda-tanda terlebih dahulu sebelum berkomunikasi. Kalau tidak pasti, daripada ditolak dan malu, Budi selalu menahan keinginannya. Ya itu sifatnya, sampai sekarang.
Budi mencium pertama gadis pacarnya dalam kondisi dicekoki minuman keras oleh teman-temannya dalam sebuah malam tahun baru. Setengah sadar dia memegang dagu ceweknya itu dan tanpa ragu memagut bibirnya. Sah. Teroboson yang luar biasa bagi si pemalu. Dia mendapat peneguhan dari teman-temannya yang sama sekali tidak bermasalah dalam mencium perempuan seperti dirinya. Budi lalu seperti memperoleh ijazah dan percaya diri, dadanya membusung.
Namun hanya sebentar, ketika di SMA dia menyukai wanita tangguh pencinta alam, nyalinya kembali keok. Budi lalu lebih nyaman di kegiatan pramuka dan menulis puisi untuk menyalurkan enerjinya. Semua kerinduannya pun tersalur di majalah dinding atau halaman belakang buku pelajaran.
Tidak ada yang berubah ketika Budi mulai kuliah. Latar belakang ekonomi yang tidak bisa dibanggakan membuat dia tahu diri, apalagi fakultasnya banyak diisi mahasiswa anak diplomat, pejabat, atau orang berada. Dia fokus saja belajar dan melampiaskan kegelisahan diri dengan ikut-ikutan naik gunung, menulis puisi dan mengelola media mahasiswa.
Sebenarnya dia kepingin sekali menjadi Anton di novel Cintaku Di Kampus Biru yang popular karena ditulis secara bersambung di Harian Kompas. Tokoh mahasiswa yang ngetop, disukai perempuan teman kuliahnya, tapi juga pintar, padahal Budi sendiri kerap seperti katak dalam tempurung.
Untunglah ada seniornya yang seperti Anton sehingga sering diajak bicara soal bagaimana menghadapi kampus yang mayoritas mahasiswinya perempuan dan dari kalangan atas. “Cuek saja. Berkarya, dan nanti kamu akan dihargai,” kata Leo, yang suka gonta ganti cewek dan aktivis yang dikagumi karena karyanya dimuat di media-media nasional.
Ketika akhirnya menikah, istrinya bukanlah dari kampusnya. Mereka berkenalan—tepatnya diperkenalkan–dalam suatu kegiatan sastra. Dia mendapat surat palsu, seolah-olah dari perempuan itu, dan dia datang ke rumah. Ada miskomunikasi tapi tokh, penipuan itu berakhir sukses. Keduanya semakin akrab.
Setelah itu mereka membuat janji, nonton film, makan bakso, dan seterusnya, dan seterusnya. Lalu merasa nyaman sebagai teman, lalu kemudian berlanjut ke pacaran dan mengikatkan diri dalam keluarga. Keluarga bahagia, sampai maut memisahkannya.
***
Tanpa disadari air mata menetes dari kelopak mata Budi. Apa yang salah dengan aku, sering dia bertanya dalam hati. Dia sudah berupaya keras agar keluarganya seperti orang lain di film dan televisi. Bahagia. Anak-anak tumbuh dan dewasa, lalu dia dan istrinya menikmati kehidupan sampai tua dengan tenang bersama-sama. Itu tidak terjadi.
Walaupun sudah kerap berusaha, baginya sulit sekali mencari orang yang cocok untuk menggantikan almarhumah. Satu persatu diperkenalkan, tidak ada seorang yang melekat di hatinya. Kalaupun ada yang seperti cocok, perbedaan pendidikan, latar belakang, kesenjangan usia, membuatnya mundur. Bertahan tetap sendiri.
Duduk di teras dalam malam yang telah mulai larut, Budi menatap langit yang banyak tertutup awal tebal. Tampaknya hujan akan turun, mungkin tengah malam nanti. Atau menjelang subuh. Ada angin tapi Budi tidak merasakan dingin. Entah mengapa, dia merasa rindu sekali. Ah..
Dia memegang ponselnya, ingin sekali mendapatkan kabar baik, kabar yang bisa menghangat hatinya. Khususnya dari orang yang dirindukannya.
“Kamu akan selalu di hati. Love you sooooo much..” mendadak tulisan itu muncul di layar telpon selularnya.
Budi terkejut. Dia pandangi sekali lagi. “I love you too..” dia mengetik. Budi tidak tahu, dia dalam keadaan sadar atau bermimpi…
***
Ciputat, 03022020