Proses peradilan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terus berlangsung bahkan terkesan memanas. Pada sidang yang digelar Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, di Gedung Kementerian Pertanian, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Selasa (31/1), jalan persidangan mengundang teaksi sejumlah pihak. Ahok dan pengacara hukumnya dinilai berlaku tidak pada tempatnya terhadap saksi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin.
Dalam sidang penistaan surah al-Maidah 51 itu Ahok dan pengacaranya dinilai bertindak di luar koridor hukum, sehingga memancing emosi sejumlah kalangan, termasuk warga nahdliyin yang sangat menghargai KH Ma’ruf Amin. Penilaian antara lain datang dari Ketua Dewan Penasihat Lembaga Bantuan Hukum PB NU Moh Mahfud MD. Umumnya mereka menyayangkan sikap kubu Ahok.
Hal itu berawal dari pihak Ahok yang menilai sikap dan pendapat keagamaan yang dikeluarkan MUI tergesa-gesa dan MUI dituding mendapat dorongan dari pihak tertentu. Itu terkait kesaksian Ma’ruf Amin yang menyatakan tindakan Ahok, dalam kunjungan kerja di Kepulauan Seribu, terkait surah al-Maidah 51, masuk ke dalam penodaan agama.
Pada kesempatan sidang pula Ahok mengancam akan memproses secara hukum Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, karena menilai KH Ma’ruf Amin telah memberikan keterangan palsu dalam persidangan. Ahok menyatakan KH Ma’ruf Amin telah berbohong dengan mengatakan tidak pernah menerima telepon dari mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Padahal menurut Ahok, KH Ma’ruf menerima telepon dari SBY pada tanggal 6 Oktober 2017. Ahok akhirnya minta maaf atas sikapnya itu, namun suara-suara ketidak puasan tetap ada.
Itulah pengadilan. Terdakwa dan pengacaranya kerap berupaya melakukan berbagai cara agar sang “pesakitan” tidak divonis bersalah. Tidak jarang ucapan dan tindakan terdakwa atau pengacaranya menyudutkan, bahkan menyakiti saksi yang ditampilkan. Itulah yang dinilai banyak pihak terjadi dalam sidang dengan terdakwa Gubernur DKI Jakarta nonaktif Ahok, Selasa lalu. Sudah menjadi kebiasaan memang, apa yang terjadi di pengadilan memancing reaksi masyarakat, melahirkan antipasti atau sebaliknya dukungan.
Peran media massa terkadang ikut “memperuncing” keadaan, sehingga apa yang terjadi dalam sidang membuat situasi semakin mengundang pro dan kontra. Nah disinilah pengadilan dituntut berbuat sebagaimana mestinya. Pengadilan harus mampu mengendalikan keadaan, dan betul-betul mampu melahirkan keputusan seadil-adilnya. Pengadilan tidak boleh terpengaruh siapa pun, tak terkecuali penguasa. Sikap arogan terdakwa dan pengacaranya, harusnya dapat ditekan, sehingga tidak menimbulkan hal-hal menyalahi hukum.
Tokoh masyarakat, tokoh agama, serta berbagai induk organisasi kemasyarakatan, hendaknya turut membantu agar jalannya persidangan kondusif. “Mengawal” jalannya persidangan boleh, tetapi jangan memperpanas situasi atau keadaan, dengan mengeluarkan berbagai komentar, apalagi tekanan. Mari kita menanti akhir dari persidangan. Percayakanlah pada pengadilan, semoga keputusan yang ditetapkan benar-benar adil dan jujur. Kebenaran harus ditegakkan, yang salah wajib dihukum.***