Menurut sejumlah penelitian pada saat ini kita manusia semakin berpamrih. Kita ingin segera mendapatkan sesuatu setelah mengerjakan sesuatu. Kita menomorsatukan hasil dan seolah tidak lagi menghargai proses, yang kadang perlu waktu. Dan kalau tidak mendapatkan apa yang diharapkan, kita segera ingin meninggalkan apa yang sesuatu yang belum memberikan hasil itu.
Menurut ahli psikologi klinis Suzana E. Flores, sikap segera itu bahkan bisa membuat kita mengesampingkan karier, ataupun cinta kita, karena kita “tidak sabar”.
Apa alasannya?
Penulis buku Facehook: How Facebook Affects Our Emotions, Relationships, dan Lives, mengatakan, penyebabnya adalah media sosial dan teknologi. Dan semakin muda usia kita, semakin rentan kita untuk terjebak pada sikap instan. Demikian ditulis di situs http://motto.time.com/4217641/how-to-be-more-patient/?xid=newsletter-brief.
Manusia masa kini sudah terbiasa merespons dengan cepat sesuatu karena terpengaruh dengan perangkat komunikasi yang semakin canggih dan penuh dengan berbagai aplikasi khususnya media sosial.
Entah melihat apa status BBM, reaksi teman di Facebook, berita di WhatsApp, email, manusia sudah terbiasa bersiaga. Dia tahu kalau dia sms atau WA maka dalam tempo sekian menit, mungkin detik, akan ada respons dari teman di grup, atau mungkin juga klien. Oleh karena itu otaknya selalu siaga, apakah ada tanda seperti kedipan, bebunyian, getar di perangkat komunikasinya. Begitu ada tanda segera dia mengambil ponsel untuk melihat dan mungkin merespons balik.
Tetapi lama kelamaan karena sudah kecanduan, tak ada tanda pun seseorang sudah “merasa perlu” untuk menengok ada apa dengan ponselnya.
“Generasi milenium tumbuh dalam lingkungan teknologi melebihi generasi lainnya. Dan mereka terbiasa dengan keadaan itu,” katanya. “Tetapi kebanyakan kita (orang yang lebih tua, jadi ikut) menjadi lebih tidak nyaman dengan gratifikasi yang tertunda.”
Karena pengaruh media sosial yang disediakan perangkat teknologi komunikasi itu maka lama kelamaan kita jadi terpengaruh untuk mau serba cepat, serba ingin mendapatkan hasil di berbagai hal lainnya. Walaupun mungkin tidak di semua sektor, tetapi gejala itu terlihat di berbagai bidang kehidupan khususnya di kota-kota besar.
Generasi Y, yakni yang lahir di tahun 1980an atau 1990an konon, akan segera pindah tempat kerja bila dia tidak merasa nyaman atau sejiwa dengan keadaan atau kultur perusahaannya. Dia tidak perduli risikonya, walaupun karena sifat instan dan praktis, biasanya mereka juga sudah bersiap kalau mendadak ingin berhenti. Sebab walaupun masih bekerja mereka ini bisa setiap saat mengajukan lamaran ke mana-mana atau melakukan walking interview dengan membolos.
Oleh karena itu pula maka berbagai perusahaan besar berusaha menciptakan budaya perusahaan (corporate culture) yang kondusif terhadap genegerasi milenium ini. Alasannya sederhana, mereka itu pintar, kreatif, dan memiliki jiwa sosial tinggi, sehingga bisa berperan besar dalam menciptakan perusahaan yang inovatif di satu sisi tetapi ramah sosial dan lingkungan di sisi lain. Ini tentu tipe perusahaan yang produknya akan memiliki daya pikat luar biasa bagi konsumen.
***
Pemaparan ini menujukkan “proses” memili arti berbeda pada masa kini dibandingkan dengan proses di waktu-waktu yang lalu. Kita tentu masih ingat salah satu falsalah yang dijunjung tinggi di perusahaan Jepang adalah loyalitas, kesetiaan, sehingga mereka menghargai proses dalam menapaki karier.
Sekian tahun menjadi pegawai, setelah sekian tahun menjadi supervisor, setelah itu menjadi kepala seksi, kepala bagian, barulah menjadi manajer, lalu kepala divisi, dan seterusnya. Tentu saja, setiap kenaikan selalu didasarkan atas prestasi, tak sekedar setia. Hampir tidak ada pemimpin yang “lompat kelas”, semunya harus urut kacang. Perusahaan memberi penghargaan kepada pegawai yang setia ini dengan kesejahteraan yang memadai, dana kesehatan dan pendidikan yang cukup, dan tunjangan pensiun yang menjamin masa tua yang tenang.
Banyak perusahaan besar di Asia dan Indonesia juga menerapkan manajemen ala Jepang itu karena dianggap sesuai dengan nilai-nilai Asia seperti loyalitas, kebersamaan, dibandingkan dengan gaya bisnis di Amerika ataupun di Eropa. Tetapi tokh dunia berubah, kompetisi semakin ketat, ekonomi naik dan turun, sehingga semua merasa perlu ada perubahan. Belakangan krisis ekonomi membuat para pengelola bisnis benar-benar berhitung dengan uang, tidak begitu lagi peka dengan budaya lama yang mengedepankan keharmonisan dalam perusahaan.
Merekrut orang luar di posisi strategis tidak lagi tabu untuk mengimbang tenaga yang dilatih di dalam. Rasionalisasi karyawan yang sudah masuk usia tertentu juga dilakukan untuk “menyegarkan” atau “menggairahkan” ruang kerja sekaligus untuk penghematan. Maklum saja, semakin tua seorang karyawan semakin bertambah jenis penyakitnya dan keluarganya makin butuh pendidikan, yang ujung-ujungnya menguras pengeluaran perusahaan.
Mengatasi ini ada yang mulai mengubah sistem kesejahteraan dengan mengasuransikan karyawan ataupun memberi plafon atas biaya kesehatan. Ada juga yang mempermuda usia pensiun agar dapat merekrut tenaga segar, yang lebih murah biayanya (masa kerja sedikit), lebih segar pikirannya, lebih sehat tubuhnya.
Antisipasi ini juga sejalan dengan munculnya generasi X, yang kemudian disusul generasi Y, yang berbeda nilai. Mereka tidak lagi terlalu peduli dengan “jaminan hari tua” yang diiming-imingi, tetapi lebih melihat berada gaji yang didapat.
Masa tua, urusan nanti. Untuk mendapatkan tenaga SDM yang baik, banyak perusahaan memperbesar nominal gaji dengan menggabungkan semua komponen mulai dari transport, uang makan, tunjangan kesehatan, tunjangan komunikasi, dan berbagai tunjangan ke satu amplop.
Dengan demikian perusahaan bisa diminati fresh graduate terbaik dari perguruan tinggi terbaik pula. Kalau tidak begitu, yang diperoleh hanya pencari pekerjaan yang kualitasnya jelek, yang akan berimplikasi untuk menjadi perusahaan berkualitas tinggi, bisa bersaing, maju, inovatif, dan dapat memenuhi harapan konsumen. SDM yang jelek bisa mematikan perusahaan karena kalah bersaing dan tidak bisa membaca kemajuan zaman.
Kalau melihat ke perusahaan besar seperti Google, Facebook, Twitter, kita tahu bahwa bagi mereka menciptakan lingkungan kerja yang kreatif, saling menghargai, dan menyenangkan adalah cara mendapatkan tenaga SDM nomor satu, sekaligus menjadi perusahaan terbaik.
Proses bukan lagi berapa waktu yang dihabiskan untuk mendapatkan atau mencapai sesuatu, bukan lagi soal tangga yang harus dinaiki untuk mencapai jabatan tertentu. Tetapi adalah suasana kerja itu sendiri. Kesetaraan, kebersamaan, sehingga struktur seperti kurang berarti, menciptakan penghargaan di antara karyawan, yang akhirnya merangsang semua ingin berprestasi.
Semua berubah kecuali perubahan itu sendiri, demikian adagium yang kita semua sudah tahu. Tetapi kadang bagi mereka yang sudah mapan, memasuki usia senja, mendapat kedudukan setelah bekerja keras sekian lama, menerima perubahan sulit sekali. Baginya proses adalah harga mati. Oranag harus bekerja keras sebelum berhasil. Padahal sering dikatakan, yang penting kerja cerdas, tak lagi sekadar bekerja keras.
Waktu sudah membunyikan alarm, tuntutan masa kini sudah berubah. Sebagai bagian dari organisasi (bisnis, lembaga, kumpulan), ada banyak penyesuaian yang mesti kita lakukan agar bisa bertahan. Kalau tidak, mungkin kita akan tergilas dan mati. (Hendry Ch Bangun)