Pertanyaan seperti ini sering saya dengar sejak terpilih menjadi anggota Dewan Pers. Saya sendiri baru mengetahui setelah berada di dalam, apa dan bagaimananya kok sampai begitu. Dan saya kira tradisi yang ditinggalkan para senior ini baik untuk dilanjutkan ke masa-masa mendatang.
Alasannya adalah untuk menunjukkan netralitas lembaga, imparsialitas pimpinan lembaga yang salah satu tugasnya adalah mengurus sengketa pers dengan pihak lain, masyarakat, pemerintah, dan kalangan lainnya. Tentu ada fungsi lain sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No.40 tentang Per, yakni menjaga kemerdekaan pers, menetapkan dan mengawasi kode etik jurnalistik, memfasilitasi organisasasi pers untuk membuat aturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas pers, mendata perusahaan pers, dst.
Sesuai perintah UU Pers, Dewan Pers berperan sebagai mediator tapi sekaligus hakim, ketika upaya mediasi tidak berhasil. Posisi itulah yang membuat Dewan Pers harus menunjukkan diri tidak berpihak kemanapun kecuali pada UU Pers, Kode Etik Jurnalistik dan turunannya, berupa pedoman-pedoman pemberitaan yang disusun oleh masyarakat pers dan disahkan dalam bentuk Peraturan Dewan Pers. Simbolnya adalah tokoh masyarakat, orang di luar pers tetapi memiliki pengetahuan tentang pers, untuk jabatan Ketua Dewan Pers dan biasanya Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers.
Selama ini memang ada persepsi keliru di masyarakat yang menganggap Dewan Pers pasti berpihak pada pers, kalau ada pengaduan, keluhan, atau somasi terhadap pemberitaan yang merugikan mereka. Dalam praktiknya, ketika sudah menjalani proses mediasi, mereka melihat pedoman dan prosedur pengaduan dan tahu hal itu tidak benar. Tentu saja soal hasil putusan berupa Risalah ataupun Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi yang dianggap tidak memuaskan, itu hal lain. Soal ini akan saya jelaskan lebih lanjut.
Kalau merujuk kepada proses pembentukan Undang-Undang Pers No 40 tahun 1999 yang di dalamnya ditetapkan pembentukan Dewan Pers yang mandiri, maka haruslah dipahami bahwa negara sudah memberi kemerdekaan sebesar-besarnya bagi pers lewat UU itu sebagai bagian dari Reformasi 1998. Tidak ada batas, tidak ada kendala karena breidel dilarang, sensor dihapus, izin tak perlu, wartawan bebas meliput dan penghalangnya bisa kena pidana penjara dan denda. Siapapun bisa menjadi wartawan, siapapun bisa mendirikan perusahaan pers. Wartawan bebas memilih organisasi. Semuanya ini adalah kebalikan total dari zaman Orde Baru, yang semuanya serba terkekang.
Yang diatur di UU Pers adalah wartawan harus menaati Kode Etik Jurnalistik. Ada pula ketentuan, perusahaan pers harus berbadan hukum Indonesia, mencantumkan nama penanggungjawab dan alamat. Karena sudah bebas memberitakan, maka dituntut juga pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi. Hak jawab dan hak koreksi ini diberikan kepada masyarakat untuk mengontrol pers, agar tidak seenaknya sendiri dalam menjalankan tugas, fungsi, dan perannya sebagaimana disebutka dalam UU Pers. Kalau dulu pers dikendalikan pemerintah, maka posisi itu diberikan ke masyarakat. Dan agar semua dapat berjalan dengan baik maka DPR, Pemerintah, menetapkan Dewan Pers sebagai pelaksana UU Pers no 40/1999. Dewan Pers yang ditunjuk masyarakat pers sendiri, bukan ditunjuk pemerintah sebagaimana di zaman Orde Baru. Pers mengatur dirinya sendiri, sering disebut swaregulasi, self regulation, tanpa campur tangan siapapun. ***
Mengapa menangani pengaduan masyarakat menjadi tugas penting Dewan Pers, selain karena perintah UU Pers, karena pers sering dilihat terlalu kuat dan dapat bertindak sesuka hati karena diberi kebebasan penuh setelah Reformasi 1998. Keadaan itu saya kira makin jelas kalau dilihat dari keadaan saat ini, dengan tumbuhnya media khususnya siber tanpa ditunjang sumber daya manusia yang memadai. Meskipun pelanggaran kode etik jurnaslitik juga dilakukan media-media besar, bermutu, atau mainstream, entah kenapa.
Masalah utamanya saya kira kurangnya pemahaman wartawan pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Dulu ada penelitian Dewan Pers yang dikomandoi Wina Armada, hanya 30% wartawan yang pernah membaca—apalagi memahami, menghayati—KEJ. Dengan jumlah wartawan yang terus bertambah, konon di atas 100.000, saya kira prosentasinya malah menurun. Ayo introspeksi apakah kita ingat apa itu KEJ? Apa hal-hal urgent yang harus kita pahami soal KEJ. Jangan-jangan kita hanya sok tahu menyebut diri wartawan, tetapi tahu KEI hanya samar-samar.
Tahun lalu ada 681 kasus yang diselesaikan Dewan Pers, dari 792 pengaduan tentang karya jurnalistik yang masuk, melonjak dari sebelumnya 693 kasus (dan terselesaikan 539) di tahun 2020, dan 608 kasus (dan terselesaikan 359) di tahun 2019.
Pelanggaran sebagian besar menyangkut Pasal 1 KEJ (wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk) serta Pasal 3 (wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampuradukkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah). Elementer sebenarnya yang dilanggar dalam pemberitaan yang diadukan, pemahaman yang mendasar bagi seorang wartawan, tapi itulah faktanya.
Kalangan media yang diadukan sering menganggap Dewan Pers terlalu membatasi gerak pers padahal lembaga ini hanya ingin agar media dan wartawan mengerti KEJ, sebab itu landasan moral dan operasionalnya sebagai wartawan. Mereka tidak tahu, saat ini pihak yang dirugikan pemberitaan, tidak hanya ingin hak jawab, banyak yang ingin sekali mematikan, membunuh, pers yang dianggap “mencemarkan nama baik” karena terlalu jengkel. Sudah ada gugatan perdata sampai trilyunan rupiah—tidak hanya ratusan juta—karena tidak puas dengan mekanisme yang diatur berlandaskan UU Pers. Tidak lagi sekadar ingin memenjarakan wartawannya. Maka ke depan tugas Dewan Pers akan makin berat dan karena itu pula diperlukan anggota yang bisa mengajak siapapun untuk memahami Reformasi 1998 yang dulu disepakati segenap komponen bangsa, bahwa pers adalah pilar penting dalam negara demokrasi.
Kiprah Dewan Pers dalam memediasi dan menyelesaikan kasus pers mendapat apresiasi dari lembaga sejenis di level internasional, karena penanganannya cepat, murah, dan tidak ada unsur pidana penjara. Dikatakan cepat, karena begitu pengaduan ditangani maka sidang berlangsung hanya dua kali, setelah itu harus ada keputusan, apakah Risalah—kedua pihak sepakat dengan penilaian Dewan Pers—atau Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) karena salah satu pihak tidak setuju. Disebut murah karena dilakukan tanpa biaya, pengacara tidak diperlukan karena yang menjadi dasar putusan adalah KEJ yang sudah ada penafsirannya. Dan tidak ada unsur pidana karena mereka yang melanggar KEJ dikenakan sanksi memuat hak jawab, atau hak jawab disertai permintaan maaf kepada media tersebut dan masyarakat. Kalau dibandingkan dengan negara tetangga, pers yang dianggap membuat berita mencemarkan nama baik, bisa dikenakan penjara dan denda, bagi wartawan dan medianya.
Oleh karena itu Dewan Pers, dan mereka yang menangani pengaduan, harus selalu dianggap imparsial selain cakap. Sekadar info mereka yang menangani pengaduan ini umumnya memiliki Sertifikat Mediator yang dikeluarkan lembaga terakreditasi setelah menjalani pelatihan 40 jam. Selain harus piawai, juga mesti sabar karena kadang yang dihadapi di satu sisi orang yang marah, kesal, putus asa, tidak tahu harus berbuat apa, di sisi lain adalah orang yang keras kepala, merasa paling tahu, dan ngotot karena merasa bekerja untuk publik.
***
Dewan Pers juga berinteraksi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Bapppenas, Kemkominfo, sebagai mitra terkait dengan penganggaran program kerja, mulai dari tahap perencanaan, penganggaran, sampai persetujuan di Raker Komisi I DPR. Karenanya sosok lembaga Dewan Pers yang ditampilkan tidak boleh hanya wajah pers yang hebat, tetapi juga wajah tokoh masyarakat yang bijak dan memahami perlunya kesinambungan komunikasi. Proses dan hasil sama pentingnya, sejauh martabat dan independensi pers tidak dikorbankan.
Memperhatikan kebutuhan untuk terus meningkatkan kualitas media dan wartawan, menyusunnya menjadi program yang dapat dijalankan di seluruh provinsi dengan mengajak sebanyak mungkin unsur pers, peka atas upaya apapun untuk membatasi kemerdekaan, peka atas berbagai kasus kekerasan, antara lain, membuat pekerjaan Dewan Pers harus dilakukan anggota penuh waktu, bukan paruh waktu seperti sekarang. Intensitas pekerjaan sangat tinggi, volumenya pun besar, seharusnya semua dikerjakan setiap tiap hari baik oleh anggota maupun tenaga ahli. Tetapi untuk ke sana tentu perlu ada perubahan dalam aturan yang kini berlaku yang harus disepakati semua pemangku kepentingan pers.
Saya merasa berbahagia dapat berada di Dewan Pers selama enam tahun, dengan kontribusi yang tentu pihak lain lebih tahu, apakah sesuai dengan harapan atau seadanya saja. Berteman dengan orang-orang yang jelas keberpihakannya pada kemerdekaan pers, jelas tekadnya ingin membantu meningkatkan kualitas pers, adalah sebuah keberuntungan. Dapat berinteraksi dengan orang-orang beridealisme tinggi, anak-anak muda yang penuh semangat, menambah pula enerji untuk tidak bosan mengurusi pers.
Semoga Dewan Pers terus lurus menjalankan tugas dan fungsinya.
Ciputat, 21 Mei 2022