Piagam Palembang yang dihasilkan dalam Hari Pers Nasional tahun 2010 merupakan titik tolak dijalankannya Uji Kompetensi Wartawan. Media massa arus
utama meyakini bahwa untuk dapat menjalankan tugasnya dengan baik maka pers harus professional. Ya, pada waktu itu kondisi pers memang agak semrawut karena begitu banyak media lahir dan begitu banyak wartawan muncul, sebagai implikasi dari Undang-Undang Pers No 40/1999 yang membolehkan siapapun mendirikan media dan siapapun boleh menyatakan dirinya wartawan.
Menjadi masalah karena media diasuh oleh sembarang orang, dan wartawan bermodal kartu pers menjalankan tugasnya tanpa ada standar. Masyarakat mengeluh dan yang menjadi korban adalah media yang sungguh-sungguh menjalankan peran, tugas, dan fungsinya serta wartawan yang bekerja untuk menjalan peran sebagai penyambung aspirasi rakyat, dan menjalankan peran memenuhi hak masyarakat atas informasi.
Setelah berkali-kali membahas bersama seluruh pemangku kepentingan—termasuk di sini organisasi pers yang difasilitasi, Dewan Pers dan para pemilik media setuju untuk menandatangani sebuah pernyataan berupa komitmen
Dua butir pertama secara jelas menggambarkan inti dari Piagam Palembang:
Kami menyetujui dan sepakat, bersedia melaksanakan sepenuhnya Kode Etik Jurnalistik, Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Wartawan, dan Standar Kompetensi Wartawan, serta akan menerapkannya sebagai bagian tidak terpisahkan dari ketentuan-ketentuan yang berlaku di perusahaan kami.
Kami menyetujui dan sepakat, memberikan mandapat kepada lembaga Independen yang dibentuk Dewan Pers melakukan verifikasi kepada kami, para penandatangan naskah ini, untuk menentukan penerapan atas kesepakatan ini. Kepada lembaga ini kami juga memberikan mandat penuh untuk membuat logo dan atau tanda khusus yang diberikan kepada perusahaan pers yang dinilai oleh lembaga tersebut telah melaksanakan kesepakatan ini.
Para penandatangan Piagam Palembang pada 9 Februari 2010 bukan orang ecek-ecek, mereka ini orang yang menguasai sebagian besar pasar media di Tanah Air. Sebut saja Chairul Tanjung, James Ryadi, Harry Tanoe Sudibjo, Erick Thohir, pengusaha yang memiliki grup media. Ada juga Dahlan Iskan, Agung Adiprasetyo, Sofyan Lubis, Syafik Umar, Ihlam Bintang, Teruna Jasa Said, ABG Satria Narada, Mukhlis Yusuf, Budiono Darsono, dll dari kalangan wartawan yang menjadi pimpinan media.
Deklarasi ini menjadi gayung bersambut dengan Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan yang dikeluarkan beberapa hari sebelumnya, pada 2 Februari 2010 dapat segera diiplementasikan. Draft final Standar kompetensi sendiri sudah disetujui pada 26 Januari 2010 dalam rapat bersama organisasi pers, organisasi wartawan, perusahaan pers, masyarakat pers, dan Dewan Pers.
Fakta-fakta di atas menunjukkan pemberlakuan standar kompetensi berikut materi uji kompetensinya bukan lahir secara spontan tetapi berdasar dari pemikirin mendalam, untuk mengawal kemerdekaan pers yang sudah diperjuangkan dan difinalkan dalam bentuk Undang-Undang No 40/1999 tentang pers sebagai anak kandung reformasi.
Wartawan yang kompeten adalah mereka yang menguasai dan menerapkan etika dalam menjalankan tugas jurnaslitiknya, tidak melanggar kode etik (termasuk pedoman media siber, pedoman ramah anak, pedoman media siber) dalam karya jurnalistiknya, dan memahami perannya sebagaimana ditetapkan UU.
***
Wartawan adalah profesi oleh karena itu profesionalisme wartawan tidak boleh dikompromikan. Di dalam piramida kompetensi, kesadaran etika (dan hukum) adalah pegangan utama wartawan, dia harus memahami, menghayati, dan menjalankan etika sebagai landasan profesinya. Itulah sebabnya bagi dia kode etik adalah mahkota, bukan sekadar hafalan butir-butirnya. Oleh karena itu dalam uji kompetensi, etika ini tidak hanya dites kemampuannya menguasai butir-butir dan penulisan berita, tetapi penguji juga mengecek bagaimana cara dia menerapkan dan menjalankannya.
Termasuk penguji akan memperhatikan bagaimana peserta uji melakukan wawancara dengan narasumber melalui telpon, atau saat jumpa pers dan doorstop. Apakah wartawan menempatkan diri sebagai pihak sejajar atau subordinat dari narasumber karena terlalu “dekat”.
Bagaimana dengan pengetahuan? Wartawan professional menghasilkan karya jurnalistik yang akurat, tidak beropini menghakimi, asas praduga tak bersalah, oleh karena itu dia harus memiliki pengetahuan terkait tugasnya. Wartawan perbankan tentu mesti menguasai aneka aturan tentang perbankan, termasuk misalnya soal rahasia bank atau terkait fit and proper test untuk calon banker. Wartawan kesehatan tentu harus faham UU Kesehatan, termasuk rahasia pasien dsb. Wartawan kepolisian tentu wajib bisa membedakan penyelidikan dan penyidikan, istilah P19 atau P21.
Walaupun wartawan adalah generalis, serba tahu apa saja, tetap dia harus punya pengetahuan yang kuat tentang satu atau dua bidang atau bahkan menjadi spesialis. Dengan menjadi spesialis, dia kadang disejajarkan dengan ahli-ahli dari bidang pengetahuan itu sendiri.
Dalam uji kompetensi, pengecekan pengetahuan ini bisa dilakukan melalui usulan peliputan investigasi atau indepth reporting untuk tingkat madya, dan penulisan tajuk rencana atau opini di peserta uji kelompok wartawan utama. Akan ketahuan kedalam dan kedangkalan pengetahuannya dari karya mereka itu, karena semua pengetahuan mereka harus tertuang di dalamnya.
Ketrampilan menulis terlebih lagi, harus diujikan. Saya menemukan beberapa kali peristiwa uji kompetensi, pesertanya tidak mampu menulis meskipun dia membawa bukti fotokopi atau print berita dengan namanya sebagai penulis. Dalam praktek dia hanya menghadiri acara, lalu membacakan catatannya berisi isi acara, komentar narasumber, atau berikan data-data. Semua itu dia sampaikan secara lisan lalu dituliskan editornya atau sekretaris redaksi yang pandai menulis.
Ada pula peserta uji utama yang mengambil tajuk rencana orang lain, copy paste proposal liputan dari hasil googling. Buaya kok dikadalin, penguji yang berstatus wartawan utama dan pengalaman belasan hingga puluhan tahun, sangat mudah mengeceknya. Langsung dikeluarkan dari ruang ujian.
Untuk menjadi professional seseorang memang harus lulus ujian. Tidak cukup sekadar self declaration. Kalau yang bicara bahwa ujian kompetensi itu tidak perlu, dan dia orang yang tidak pernah terjun di dunia jurnalistik, tidak pernah menjadi praktisi jurnalistik professional, bisa dipahami. Tetapi jangan merasa benar karena Anda salah 1000 persen. You’re damn wrong.
***
Walaupun Undang Undang Pers mengatakan, siapapun boleh bekerja sebagai wartawan harus dilihat sejarahnya bahwa itu istilah yang digunakan untuk menghapus ketentuan di masa Orde Baru yang menjadikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menjadi penentu apakah seseorang boleh disebut sebagai wartawan atau bukan. UU Pers menyatakan wartawan bebas memilih organisasi wartawan, yang nanti di ujung-ujungnya akan menetapkan professional atau tidaknya dia sebagai wartawan. Jadi sangat keliru apabila ada wartawan yang tidak bergabung ke organisasi wartawan, sebab apabila dia terkena masalah, siapa yang akan melindunginya? Dengan menjadi anggota dia akan selalu mendapatkan pelatihan, pemahaman soal kode etik, sampaikan mengikuti uji kompetensi yang sudah distandarkan masyarakat pers.
Wartawan bukan pekerja biasa, yang professional atau tidaknya ditetapkan oleh lembaga di luar organisasi wartawan. Seperti juga dokter atau pengacara, organisasi mereka sendirilah yang mentukan apakah apakah anggotanya itu sudah kompeten atau belum melalui sebuah ujian dengan materi uji yang mereka buat sendiri.***
Ciputat, 1 Februari 2022