Wednesday, April 02, 2025
Home > Cerita > Menjadi Tua,    Cerpen Hendry Ch Bangun

Menjadi Tua,    Cerpen Hendry Ch Bangun

Ilustrasi - Menjadi Tua. (gambar.pro)

Sudah lebih 30 tahun Budi tinggal di perumahan itu, kawasan di pinggir Jakarta   yang dulu ketika pertama didiami masih dipenuhi kebun dan sawah, namun sekarang sudah dikepung perumahan, kampus, gedung olahraga.

Ketika baru pindah, sehabis magrib perumahan itu terasa sepi. Lampu jalanan belum banyak, itupun redup sehingga jalan penghubung dengan jalan raya dari ibukota kecamatan jadi temaram. Angkutan umum masih jarang lewat, mungkin setengah jam sekali. Itupun sampai sore saja. Kalau malam, yang beroperasi adalah angkutan pribadi yang dijalankan supir kalau penumpang sudah penuh.

Ojek hanya ada di pangkalan di pasar, tidak bisa dipanggil seperti sekarang. Penjual makanan malam hari pun tidak banyak. Mereka itu bisa diangap tergolong pemberani karena gelapnya jalan di sekitar yang membutuhkan mental “baja” untuk menempuhnya sebab di tengah ilalang dan pepohonan ada kuburan wakaf. Belum lagi tidak jauh dari sana pernah ada seorang perempuan bunuh diri karena sakitnya tidak kunjung sembuh.

Sekarang jauh berbeda keadaannya. Jalanan sudah aspal hotmix. Lampu jalan terang benderang. Banyak warga yang membuka warung sehingga perumahan akan hidup sampai jam 10-an. Pedagang keliling seperti tukang sayur pun tidak sedikit, begitu juga malam harinya; ada tukang somay, sate padang, bakso, kue putu, dan tahu goreng.

Perumahan sekarang diisi dua golongan, penghuni lama yang umumnya pensiunan dengan usia di atas 60 tahun. Kemudian generasi baru, yakni anak-anak penghuni lama yang lahir atau sejak kecil sudah menjadi warga. Atau pindahan baru, yang juga kebanyakan kerabat ataupun relasi dari penghuni awal.

Ya memang menggejala di sini, penghuni lama memiliki lebih dari satu rumah. Dulu karena dianggap jauh dari Jakarta, banyak rumah tidak ditinggali, agak telantar, lalu dibeli oleh tetangganya yang juga teman sekantor. Akhirnya belasan orangtua hidup satu komplek dengan anak-anaknya. Generasi muda ini mau tinggal karena sekarang akses ke kota sangat mudah. Hanya beberapa menit untuk masuk ke jalan tol, tidak sampai 2 kilometer jarak ke stasiun kereta api, dan dekat dengan mal, rumah sakit kualitas internasional, perguruan tinggi negeri dan swasta.

“Untung juga ya dulu Papa beli rumah di sini, dekat kemana-mana,” kata seorang anak kepada ayahnya, suatu sore. “Mana lingkungannya sehat karena udaranya masih segar dan tetangga baik-baik.”

“Iya sekarang dekat. Dulu ke kantor mesti lewat Pasar Ciputat, masih mutar jauh. Kalau naik kereta mesti ke Sudimara, itu juga kereta masih jarang-jarang,” balas sang ayah mengenang masa sengsara. Jalan yang berlubang-lubang, kalau hujan tidak ada tempat berteduh karena rumah dan warung jarang.

Budi lalu membayangkan penderitaan yang sama. Tetapi karena waktu itu masih muda, badan masih tahan banting. Naik sepeda motor 30 kilometer ke kantor pun tidak pernah masuk angin. Badan kehujanan pun, basah kuyup, cukup minum teh manis panas, semua teratasi. Pulang malam, tidak takut karena sudah terbiasa.

Kalau sekarang?

“Bawa mobil saja  mesti pakai jaket biar nggak masuk angin,” ujar Budi saat duduk berbincang dengan tetangga di selasar masjid. “Saya juga sering tidur pakai kaus kaki supaya tidak kedinginan.”

“Saya parahnya di pinggang, Pak,” sahut Pak Purwanto. “Katanya sih karena kurang minum air putih. Saya memang hobi ngopi.”

“Kalau saya suka lupa,” kata Pak Dodi. “Berapa kali, pergi naik  motor. Sudah jauh, baru ingat kacamata ketinggalan,” tambahnya. Semua lalu tertawa.

“Iya, lucu sih. Pantas rasanya kok aneh, muka kena angin suwir-suwir, ternyata lupa kacamata,” kata Pak Dodi sambil ikut tertawa.

***

Menjadi tua memang membuat banyak perubahan. Budi pernah membaca, dengan gaya hidup sehat saja, seseorang pasti akan mengalami penurunan fungsi-fungsi tubuh ketika memasuki usia 50 tahun.

Ada yang pendengarannya berkurang. Ada yang penglihatan surut. Ada yang tulang-tulangnya mulai kurang tahan. Ada yang giginya berulah. Ada yang daya ingatnya menurun. Nah, apalagi yang punya kebiasaan buruk seperti makan tidak teratur, kurang beristirahat, merokok, suka minuman keras atau bersoda, tidak berolahraga, atau jarang memeriksakan kesehatan.

Sewaktu masih mahasiswa seorang gurubesar di kampusnya terkenal amat pelupa. Pernah dia meninggalkan istrinya di bioskop dan sesampainya di rumah dia malah bertanya ke anaknya, ibu dimana.

Penyakit lupa juga terjadi pada Budi. Pernah dia kehilangan kacamata selama satu bulan, ternyata terselip di balik kasur. Beberapa kali lupa membawa tas sehingga harus kembali ke rumah padahal mobil sudah masuk jalan tol. Berkali-kali barangnya tertinggal di hotel tempat menginap. Sebaliknya berkali-kali pula dia membawa pulang kunci hotel!

Namun yang tidak mengenakkan adalah perubahan fisik. Gigi mulai ada yang tanggal, mungkin karena semasa kecil kurang memeliharanya. Tekanan darah sering meninggi apabila tidak sengaja makan telur atau daging melewati batas maksimal karena lupa. Kena asam urat jadi mudah. Pegal-pegal terjadi kalau kurang olahraga jalan kaki. Akhirnya Budi mulai diet versi sendiri. Makan lebih sedikit, tidak pernah lupa makan sayur atau buah. Lalu minum yang pahit-pahit.

“Beginilah kalau tua, semua jadi salah,” keluh Budi ke istrinya suatu sore. Sehabis mandi, mengelap badan. Memasukkan kaki ke celana saja menjadi tidak mudah. Kelamaan berdiri dengan satu kaki, akhirnya dia terjatuh duduk.

Istrinya hanya tersenyum. “Ya sudahlah. Lain kali pakai celana sambil duduk di tempat tidur biar gampang,” katanya.

Sejak itu memakai kaus kaki pun istri Budi yang memasangkan agar kepalanya tidak pusing karena menunduk untuk melakukannya.

***

“Menjadi tua itu kan takdir, Pak. Ya kita nikmati saja,” kata Pak Timbul, yang selalu hidup dengan penuh semangat. Meski sudah berusia 69 tahun, tubuhnya terlihat sehat dan berbadan tegap. “Sambil tentu saja kita semakin memperdalam agama untuk menyiapkan diri waktu dipanggil nanti,” tambahnya.

Dia memang aktif juga sebagai pengurus masjid. Dia dikenal sebagai spesialis pembawa pengumumuman orang meninggal dunia. Jadi kalau mendengar suaranya dari masjid, baru sampai “Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..” warga segera memasang telinga baik-baik. Untuk tahu siapa yang wafat. Kalau pengumuman lain seperti kerja bakti bersama, pengasapan mencegah demam berdarah, dilakukan Pak Turyono yang bersuara bariton.

“Saya main sama cucu biar hati senang. Mikirin penyakit mah bikin susah,” ujar Haji Suwarno yang punya dua cucu laki-laki dan punya penyakit vertigo.

Bagi Budi, memikirkan usia tua biasanya terjadi kalau sedang menganggur di rumah dan tidak ada pekerjaan yang dilakukan.

Kalau sedang banyak tugas dari organisasi ataupun yang lain, dia lupa sehingga bekerja penuh semangat. Dia juga lalu rajin olahraga pagi, berjalan kaki entah ke kampung sebelah, atau ke dekat kampus, atau sekadar keliling perumahan. Kalau sudah berkeringat, nafas ringan, badan pun terasa enteng. Pikiran jadi segar. Semangat pun besar.

“Menjadi tua itu pasti. Kalau dinikmati, semua terasa ringan di hati,” katanya kepada diri sendiri. Ayo semangat.*

***

Ciputat, 14 Mei 2021

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru