MIMBAR-RAKYAT.com (Bangkok) – Pasar halal Indonesia menjadi incaran produsen makanan luar negeri, satu di antaranya produsen mi dan makanan ringan Thai President Food dengan produk andalan, Mama.
Ketua Dewan Pers Thailand (NPCT), Chavarong Limpattamapanee, sebelum mengajak kami ke pabrik mi di kota Sri Racha, Provinsi Chonburi, mengutarakan hal itu kepada rombongan dari Dewan Pers Jakarta, Rabu.
“Mereka tuh ingin sekali masuk ke pasar Indonesia. Tetapi untuk mendapatkan label halal rupanya tidak mudah. Itu nanti yang ingin mereka sampaikan,” kata pimpinan Thairath TV ini.
Ketika tiba di kawasan pabrik, rombongan disambut dengan ramah. Ibu Pojjana Paniangvait, salah satu direktur Thai President Food, menyambut hangat. Di depan tempat pertemuan saja sudah ada poster bagi rombongan yang terdiri atas delapan orang.
Kunjungan Dewan Pers Indonesia ke Thailand merupakan balasan atas kunjungan NPCT ke Indonesia tahun lalu.
Selain ke Bangkok Post, kelompok media Thairath, rombongan juga bertemu dengan Ketua Parlemen Thailand, Chuan Lekpai, diskusi di Fakultas Communication Arts Universitas Chulalongkorn, di Bangkok.
Kemudian rombongan ke Provinsi Rayong untuk mengunjungi pabrik pengolah sawit Global Green Petroleum Company, mengunjungi gerakan ekonomi masyarakat yang memproduksi turunan minyak kelapa sawit, dan desa mandiri agri ekonomi dan agro wisata Bun Jumrung.
“Sebenarnya produk halal kami sudah disertifikasi oleh (majelis ulama) Malaysia dan Thailand oleh karena itu dapat beredar di pasar, namun kami masih berjuang untuk mendapatkan label halal dari Indonesia,” kata wanita paruh baya itu, sambil melakukan presentasi di aula pabrik yang dibangun pada 1976.
Untuk menunjukkan keseriusan halal, maka perusahaan ini memiliki pabrik khusus yang hanya memproduksi mi halal di Ban Pong untuk mi berbahan beras (bihun), dan di Rayong untuk membuat mi instan berbahan terigu dan makan ringan halal. Nama mi halal ini juga bukan Mama yang sudah populer tetapi Ruski, yang maknanya adalah rezeki.
“Bahan baku dan prosesnya dilakukan sesuai persyaratan halal, pekerjanya juga muslim, bahkan manajer juga muslim,” ujar Ibu Pojjana. Di tempat itu pun ada mushala untuk tempat shalat bagi para pekerjanya.
Hasil dari pabrik inilah yang sudah dikonsumsi masyarakat beragama Islam di Bangladesh, Thailand bagian Selatan, Malaysia, dan Kamboja, bahkan juga diekspor ke negara-negara di Timur Tengah.
Perusahaan terbuka ini memiliki banyak pabrik di Thailand tetapi juga membuka pabrik di negara tetangga seperti Kamboja, Myanmar, Bangladesh, serta Hungaria. Total produksinya mencapai tujuh juta bungkus per hari. Brand unggulan adalah Mama, dengan jenis produk mi dan mi berbahan beras, dengan belasan rasa.
Rasa yang menjadi andalan tentu saja rasa tom yam, yang memang sudah mendunia. Selain itu ada juga biskuit dan sejenisnya. Mereka memproduksi dari hulu ke hilir, memiliki ladang untuk nasi, pabrik tepung, sampai memiliki mesin untuk membuat bungkus mi, mi gelas, dan perusahaan distribusi.
Rombongan juga diminta untuk melakukan uji coba rasa dari tiga jenis produk mi dan bihun yang diproduksi oleh perusahaan ini. Semua anggota rombongan, mendapati rasa yang sama dengan mi instan yang diproduksi di Indonesia.

“Anda harus cepat-cepat mendapat sertifikat halal jadi saya bisa membelinya di Jakarta,” kata seorang teman dengan serius.
“Rasanya cocok, walau agak pedas.” Bagi mereka yang terbiasa mencicipi tom yam, semacam sup berkuah rasa pedas, apa yang disajikan kepada kami memang cocok di lidah, minimal tidak asing. Jadi, sudah sesuai selera.
Sebenarnya di Jakarta sudah beredar juga mi Thailand dengan merk lain yang berlabel halal, namun tidak diketahui apakah proses pembuatannya sudah memenuhi sarat halal.
“Kalian wartawan tentu bisa mencari tahu,” kata Ibu Pojjana sambil tersenyum.
Tantangan yang juga menarik untuk dijawab, meski untuk itu diperlukan kerja jurnalistik yang tidak sebentar. (arl)