Mimbar-Rakyat.com (Jakarta) – Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menilai Mahkamah Konstitusi (MK) tidak berwenang mengadili permohonan terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
“Bukan kewenangan jadi tidak dapat diterima (N.O atau Niet Ontvankelijke Verklaard),” ujar Feri, Rabu (27/9) malam.
Feri menjelaskan MK dalam putusan sebelumnya telah menentukan hal-hal yang termasuk open legal policy (kebijakan hukum terbuka) dan tidak. Ia menyebut hal itu berdasar pada ketentuan Undang-Undang Dasar (UUD).
MK Tak Menerima Gugatan Pasal Penodaan Agama hingga UU BBLNLK
Dia mengatakan apabila ketentuan di UUD memberikan delegasi kewenangan berupa pernyataan dapat diatur lebih lanjut dalam atau dengan undang-undang, maka hal itu termasuk open legal policy.
Menurut Feri, syarat-syarat pemilihan Presiden itu jelas termasuk open legal policy. Sebab, kata dia, syarat-syarat menjadi presiden diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang.
“Itu sebabnya MK tidak bisa membantah prinsip yang dia buat sendiri. Kalau dia bantah, tentu akan ada orang yang berpendapat bahwa ini berkaitan dengan konflik kepentingan tertentu dalam materi yang sedang diuji,” kata Feri.
“Apalagi jika dikaitkan dengan relasi antara Ketua MK dan orang yang terdampak dengan proses pengujian ini, yaitu anak Presiden Joko Widodo,” sambung dia.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti setuju dengan pernyataan Mahfud.
Menurut Bivitri, MK bakal menjadi tidak konsisten jika tetap memutus perkara tersebut. Hal itu bertalian dengan putusan-putusan MK yang terkait open legal policy.
“MK akan jadi tidak konsisten dengan putusan-putusan sebelumnya juga. Dan ini artinya MK akan membuat dirinya jadi terlalu politis (tidak lagi seperti lembaga yudikatif) dan mengurangi legitimasinya sebagai lembaga yudikatif,” terang Bivitri kepada CNNIndonesia.com, Rabu (27/9) malam.
Bivitri menjelaskan tidak ada aturan soal apa yang boleh dan tidak boleh diputus oleh hakim yang berakibat sanksi, termasuk prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman.
Menurut Bivitri, para hakim hanya bisa dikritik dan menggantungkan legitimasinya pada kualitas putusan yang diambil. Ia mengatakan akuntabilitas hakim terdapat pada penalaran hukumnya yang terletak di bagian pertimbangan hukum dalam putusan.
“Makanya kalau sampai dikabulkan, bisa dicurigai politis sekali. Makanya pak Mahfud sebagai mantan ketua MK sudah ngomong gitu juga. Dan semua akademisi HTN pasti pendapatnya serupa,” jelas Bivitri.
Bivitri pernah hadir sebagai ahli pihak terkait dalam sidang perkara usia capres-cawapres di MK pada 29 Agustus 2023 lalu.
Kala itu, Bivitri menerangkan bahwa batasan umur sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden jelas bukan isu konstitusional. Ia menilai perkara usia ini seharusnya berada pada wilayah pembentukan undang-undang.
“Mahkamah Konstitusi harus konsisten dengan putusan-putusannya selama ini mengenai kebijakan hukum terbuka atau open legal policy. Mengingat isu politik yang sangat kuat dalam perkara a quo, bila memang ada perubahan yang dianggap penting oleh Mahkamah, maka perubahan itu harus dilakukan setelah Pemilu 2024 dan oleh pembentuk undang-undang,” demikian kesimpulan keterangan ahli yang disampaikan Bivitri.
Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu mengatur syarat usia capres-cawapres minimal 40 tahun. Sejumlah pihak mengajukan permohonan uji materiil atas aturan tersebut ke MK. Ada pihak yang meminta batas usia minimal diturunkan, salah satu contohnya adalah menjadi 35 tahun. Adapula yang meminta MK membuat batas usia maksimal pada syarat usia yang kini belum diatur dalam aturan tersebut. (ds/sumber CNNIndonesia.com)