MIMBAR-RAKYAT.Com (Jakarta) – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan, larangan penggunaan telepon ketika berkendara sebagaimana diatur dalam Pasal 106 ayat (1) dan Pasal 283 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 (UU LLAJ) sesuai konstitusional.
Aturan itu digugat komunitas Toyota Soluna Community sebagai pemohon I dan seorang driver taksi online sebagai pemohon II.
“Maksud dari Penjelasan Umum UU LLAJ, yang pada intinya untuk menekan angka kecelakaan lalu lintas yang semakin tinggi,” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams membacakan pertimbangan Mahkamah di Gedung MK Jakarta, Rabu (30/1).
Mahkamah berpendapat tujuan dari ketentuan tersebut adalah demi menciptakan dan memberikan jaminan ketertiban serta keselamatan berlalu lintas. Menurut Mahkamah UU LLAJ adalah sarana untuk rekayasa masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.
“Sebab, wajah dan budaya hukum suatu negara tercermin dari perilaku masyarakatnya dalam berlalu lintas, menggunakan telepon hanya merupakan salah satu penyebab yang dapat memengaruhi kemampuan pengemudi dalam mengemudikan kendaraan secara penuh konsentrasi,” ujar Wahiduddin.
Pembentuk undang-undang dinilai Mahkamah hanya merumuskan secara umum penjelasan terkait penyebab yang dapat memengaruhi kemampuan pengendara dalam mengemudi kendaraan secara penuh konsentrasi.
“Supaya pelaksanaan norma tersebut tidak mudah tertinggal, tetapi mampu menjangkau kebutuhan hukum dalam jangka waktu yang panjang, termasuk mengantisaipasi adanya perkembangan teknologi,” jelas Wahiduddin.
Lebih lanjut Mahkamah berpendapat menggunakan telepon seluler yang di dalamnya terdapat berbagai fitur dalam batas penalaran wajar termasuk dalam hal mengganggu konsentrasi berlalu lintas yang berdampak pada kecelakaan lalu lintas.
“Oleh karena itu, tidak ada persoalan inkonstitusionalitas terkait penjelasan pasal 106 ayat (1) UU 22/2009, dengan demikian dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ucap Enny
Sebelumnya, kedua pemohon menilai frasa menggunakan telepon seperti tertuang dalam Pasal 106 ayat (1). Dan sistem navigasi berbasiskan satelit yang biasa disebut Global Positioning System (GPS) sesuai Pasal 283 saat mengendara multitafsir.
Sementara pengendara menggunakan GPS dapat dipidana tiga bulan atau denda paling banyak tujuh ratus lima puluh ribu rupiah sesuai Pasal 106 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 (UU LLAJ).
Pemohon menilai frasa menggunakan telepon serta meluas menggunakan GPS dapat mengganggu konsentrasi pengendara bermotor multitafsir. Kedua pemohon menilai aturan itu bertentangan dengan jaminan kepastian hukum dan konsep negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. (M/d)