Thursday, November 21, 2024
Home > Cerita > Cerita Pendek > Nasihat Perkawinan,  Cerpen Hendry Ch Bangun

Nasihat Perkawinan,  Cerpen Hendry Ch Bangun

Ilustrasi - Nasihat Perkawinan. (yutube)

Bulan lalu salah seorang keponakannya kirim WA meminta pendapat terkait rumah tangganya yang ada sedikit masalah. Kepada Herman yang dituakan di keluarga besarnya, ditanyai Wenny soal sikap suaminya yang masih suka boros, mampir di kafe sehabis bekerja, belanja pulsa untuk bermain game di ponsel, sulit menabung, dan malas kalau diajak bicara.

“Padahal kami sudah sepakat bahwa di tahun kedua nanti kami akan punya bayi. Itu artinya harus ada persiapan tabungan,” kata Wenny melalui telpon setelah dihubungi Herman langsung.

“Apakah keluhanmu ini sudah disampaikan ke Bambang?”

“Itulah Pakde. Karena sama-sama bekerja, mencari waktu bicara sulit. Kadang pas dia pulang, saya sudah ngantuk. Kalau pagi, waktu sarapan, kita buru-buru takut terlambat,” katanya.

Ayah Wenny adalah adik Herman, yang telah meninggal dunia akibat diabetes. Harry terlalu sibuk mencari uang sehingga lupa menjaga kesehatan. Bekerja tiap hari dengan sepeda motor, adiknya itu praktis tidak pernah berolahraga, padahal senang makan enak.

“Ya udah, nanti Pakde carikan waktu deh untuk ngobrol bertiga. Mudah-mudahan Bambang ada waktu, “katanya.

“Minggu depan sih kami agak longgar apalagi ada hari libur nasional,” balas Wenny.

Herman melihat ke kalender, iya betul ada angka bertanda merah. Herman sering lupa hari karena sudah pensiun lima tahun lebih, dia asyik saja santai di rumah, lebih sering membaca buku, membantu istri membersihkan rumah dan kebun, atau sesekali pergi memenuhi undangan hadir di seminar terkait pekerjaannya dulu. Bagi dia yang penting, dapat salat tepat waktu, segera berwudhu begitu mendengar suara azan dan menyempatkan membaca ayat suci semampunya.

Eh minggu lalu, justru putrinya sendiri yang ingin mengajak diskusi soal perkawinan. Tetapi topiknya soal pekerjaan, yang sedikit banyak bisa mengganggu stabilitas rumah tangga, karena anaknya itu ingin bekerja bebas, tidak mau terikat di sebuah perusahaan dan masuk ke kantor dalam jam yang ditentukan.

“Capek karena selain mikir, fisik juga terkuras habis. Bawa kendaraan sendiri, mahal dan macet. Kalau naik transportasi umum, tidak nyaman, ada ancaman pelecehan, belum lagi karena tiga kali pindah, jadi kalau pulang pergi jadi enam kali,” ujar Citra.

“Terserah saja, karena pasti yang  merasakan kan Citra sendiri.  Yang penting dihitung benar agar cash flow tidak terganggu. Paling bagus sih kalau sudah menabung cukup, sebagai jaga-jaga untuk masa transisi,” kata Herman.

Herman menyadari anak dan menantunya hidup cukup, dapat menambung untuk keperluan mendadak, atau piknik dua kali dalam setahun. Tentu kalau berganti pekerjaan nanti pemasukan akan berkurang walau untuk sementara dan bisa mengancam stabilitas keuangan rumah tangga.

***

Ketika kemudian bertemu dengan keluarga muda Bambang dan Wenny, Herman tidak mau memberi petuah-petuah seperti orangtua layaknya. Dia khawatir masuk kuping kanan dan ke luar kuping kiri alias tidak didengarkan. Sambil minum kopi dan penganan ringan, suasana teduh di kedai kopi yang dipenuh rimbun pepopohan itu membuat mereka rileks.

“Bambang, pulang ke rumah dari kantor, naik apa?”

“Naik KRL, Pak De. Dari kantor, ngojek dulu ke stasiun,” katanya

“Masih padat?”

“Wah semakin padat, makin banyak yang naik kereta karena ya murah dan tepat waktu. Kalau dari Tanah Abang sih enak. Tapi kalau stasiun terdekat kantor, kadang sakit badannya susah masuk ke gerbong. Apalagi berangkatnya.”

“Jadi suka nunggu dulu.?

“Iya, Pak De. Saya pernah kecopetan, pernah juga ransel robek terjepit pintu kereta.”

“Jadi ada pengeluaran ektra dong?”

“Mau nggak mau. Kadang minum kopi dulu biar nggak lemas.”

Herman sudah dapat memetakan kondisi yang dialami Bambang, yang menurut dia sebenarnya baik, tetapi kadang enggan mengkomunikasikannya dengan Wenny, mungkin karena kecapean dan segera ingin rehat sesampainya di rumah. Herman memiliki pengalaman mirip.

“Kalau Pak De dulu kereta belum seperti sekarang, jadwalnya nggak tentu dan ke kantor selalu dengan sepeda motor. Satu jam baru bisa sampai ke kantor, belum lagi kalau hujan, harus berteduh di emper-emper, baju kadang basah kuyup,” katanya.

“Iya, Pak De. Teman saya juga ada yang begitu karena tidak ada jalur kereta ke wilayahnya. Ada yang malah dua jam baru sampai kantor karena jauhnya.”

Salah satu problem memang, semakin ke sini, makin sulit mendapatkan rumah di perbatasan Jakarta, seperti  tahun 1990-an, dengan kantong karyawan yunior, yang baru bekerja beberapa tahun. Uang muka besar sulit terjangkau, sedangkan cicilannya pun bisa menggerus separuh gaji. Jadi cari agak jauh agar bisa punya rumah. Kecuali yang dibantu orangtua.

“Saya kira persoalan ini dialami keluarga muda seperti kalian,” kata Herman sambil melirik ke Wenny yang menyimak serius percapannya dengan Bambang. “Karena kita ini bukan keluarga kaya yang warisannya bisa dipakai tujuh turunan,“ sambil tertawa.

“Yang penting ada komunikasi, sampaikan di saat yang tepat, kalau ada yang mengganggu pikiran, begitu kan Bambang? Begitu kan Wenny?,” tanyanya.

“Iya Pak De.”

“Kalau menurut Ustadz yang pernah Pak De dengar, perkawinan setahun itu baru perkawinan kertas, berupa kartu nikah. Semuanya manis karena saling mencintai, pasangan seperti tidak ada kekurangannya, “ katanya.

“Setelah berjalan beberapa bulan, akan mulai terlihat kekurangan masing-masing. Nah di sinilah kalian mesti saling memahami, dan menerima apa adanya. Nggak ada yang memaksa kan waktu mau nikah, ” tanyanya sambil melihat ke Bambang dan Wenny.

“Karena kalian punya modal cinta yang kuat, anggap ini sebagai proses saling melengkapi juga. Dia kurang di sana, lebih di sini, begitu sebaliknya. Saling mengisi. Yang penting tujuan kalian dulu menikah kan untuk menciptakan keluarga baru, regenerasi, berdasarkan kasih sayang. Itu yang harus dipertahankan.”

Herman lalu menggerakkan tangannya, memanggil pelayan, untuk menghidangkan kue tart kecil bergambar hati yang tadi dia sudah beli dan pesan.

“Nah, ayo kita makan kue tart berlambang cinta ini,” katanya. Bambang dan Wenny yang terkejut saling memandang. Mereka surprise disuguhkan kue coklat yang berbentuk hati dan di atasnya ada tulisan Wenny dan Bambang.

“Terima kasih ya Pak De atensinya,” kata Wenny, dengan terbata-bata. Dia lalu mencium tangan kakak ayahnya itu. Bambang melakukan hal sama.

“Saya juga pernah mengalami seperti ini. Waktu muda emosi kita masih tinggi, mau menang sendiri, tapi kalau selalu ingat masa-masa manis saat pacaran,” emosi akan mereda dan saling mau mengalah.”

“Masih rajin salat kan?,” tanya Herman lagi setelah mereka asyik mengunyah kue tart.

“Ya masih bolong-bolong sih, terutama subuh, soalnya badan terkadang susah diajak bangun pagi, Pak De. Magrib sering terlewat juga karena belum sampai rumah,” jawab Bambang jujur.

“Subuh itu penting sekali. Usahakan ya. Sujud di jam seperti itu mengalirkan darah ke otak, mengisi oksigen, membuat pikiran terang dan terbuka. Kalau dilakukan rutin bagus untuk kesehatan. Cobalah tidur cepat supaya dapat subuh,” ujar Herman, mengutip artikel yang pernah dia baca.

“Iya Pak De. Terima kasih.”

“Ini, voucher belanja, bisa dimanfaatkan untuk beli apa saja di supermarket,” Herman menyodorkan ke Wenny, kertas bernilai Rp200.000 yang dia beli di jaringan retail tempat dia biasa mengisi pusla atau keperluan ke ATM dll.

Pasangan muda itu seperti sulit untuk berkata-kata, sudah ditraktir ngopi, diberi kue lezat, diberi pula voucher belanja, yang sungguh mereka butuhkan, untuk beli telur, minyak goreng, gula, atau buah-buahan. Herman merasa lega sudah menjalankan misinya dengan baik. Dia ingin keluarga keponakannya itu rukun dalam kondisi apapun, karena sudah dia anggap anak sendiri.

***

Dalam perjalanan pulang, anaknya Citra menelpon  dengan nada gembira.

“Aku besok diundang wawancara perusahaan, Pa. Kantornya tidak jauh, jadi kalaupun naik mobil tidak perlu lewat tol, dan juga bermacet-macetan,” ujar anaknya.

“Kerjanya lebih bebas?”

“Ya, ini bisa offline dan bisa online, separuh-separuh deh. Kalau ada event ya ngantor dan tempat acara. Kalau tidak, bisa dari rumah.”

“Syukur deh. Jangan lupa banyak dzikir ya. Tanda syukur pada Allah..”

Di masa pensiun, Herman bersyukur dapat hidup dengan keuangan yang relatif stabil dari uang pensiun suami istri. Anak-anak sudah bekerja jadi kadang bahkan mereka yang diberi hadiah kejutan tak terduga, berupa apa pun atau barang kebutuhan. Karena itu setiap saat dia merasa perlu berterima kasih kepada Sang Pencipta, yang begitu banyak melimpahkan nikmat kepadanya dan tidak lupa menyisihkan sebagian harta bagi anak yatim dan orang tidak mampu.

Kita tidak tahu kapan akan dianggil ke hadiratNya, jadi satu-satunya jalan agar selamat adalah tidak berhenti beribadah dalam berbagai bentuk, dalam setiap helaan nafas.

ooo

Ciputat 9 Oktober 2022

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru