MIMBAR-RAKYAT.com (Melbourne) – Walau sudah bermukim puluhan tahun di Melbourne bahkan ditawari menjadi warga negara negeri Kanguru itu, Nuim Khaiyath yang kini berusia 81 tahun tetap memilih warga negara Indonesia.
Nuim adalah peyiar radio BBC London dan ABC Australia dengan nama asli Nuim Mahmud Khaiyath, kelahiran Medan dan sudah lebih dari 40 tahun bermukim di Melbourne, ibukota negara bagian Victoria, Australia.
Nuim memulai karirnya di bidang jurnalistik pada 1964 dengan bekerja di BBC’S Indonesian Service yang berpusat di London selama tiga tahun.
Ia kemudian bergabung dengan Radio Australia Siaran Bahasa Indonesia (RASI) pada 1967-1970 dan pada 1970 pindah ke BBC London.
Dua tahun kemudian (1972) ia kembali lagi ke RASI, dan sejak 1998 dipercaya memimpin RASI.
“Walau pun diberi berbagai fasilitas, saya tetap tidak mau menjadi warga negara Australia. Tekad saya sudah bulat, saya tetap sebagai warga negara Indonesia,” kata Nuim dalam perbincangan dengan penulis usai menjadi khatib pada Idul Fitri 1440 H di Melbourne.
Ia menuturkan, istrinya heran mengapa ia tetap tidak menerima tawaran itu, bahkan ia pun sempat menawarkan kepada istrinya agar ia bersama anak-anak saja yang menjadi warga negara Australia.
“Pokoknya saya tetap warga negara Indonesia. Kalau saya mau, saya bisa mengikuti warga negara ayah saya, Arab Saudi. Tapi saya bertekad tetap sebagai warga NKRI,” kata Nuim, ayahnya kelahiran Arab sedangkan ibunya asli kelahiran Deli, Sumatera Utara.
Bagi pecinta radio, pasti pernah mendengar nama Nuim,, bahkan ketika saya memposting foto saya bersama dia, banyak teman menanyakannya dan apa kabarnya sekarang.
Nuim pada zaman ketenarannya populer dengan acara Sabtu Gembira (Samba), yang dibawakan dengan logat Melayu Medan.
Acara tersebut disiarkan oleh Radio Delta FM setiap Sabtu pagi dan acara lain yang diasuhnya di RASI adalah Perspektip, dan Dunia Olahraga.
Selain itu suaranya dia juga berkumandang dalam siaran lite 105.8 FM Jakarta, setiap Senin pagi dalam acara Postcard from Melbourne.
Pengetahuannya yang luas membuatnya sangat populer di kalangan pendengar radio tersebut, sehingga ia mendapat julukan “Kamus Berjalan”.
Aktivitas rutin yang dilakukannya di luar siaran radio adalah berenang dan membaca. “Saya masih berenang hingga sekarang,” kata Nuim yang sudah menerbitkan buku Dunia Di Mata Nuim Khaiyath.
Ia pun akan datang ke Indonesia Juli 2019. “Bulan depan aku mau mudik untuk menjenguk kakak-kakakku yang sudah uzur di Solo dan Bandung. Rencananya sekaligus meluncurkan buku baruku Asasin,” katanya.
“Sekalian pula memberi pelatihan keradioan di Radio Silaturahmi,” kata Nuim, yang juga kondang di Australia dan kini sering disebut-sebut ustad atau kiayi, karena kerap berceramah agama.
Swa-sensor
“Saya beruntung karena selama sekitar 30 tahun dari karir saya sepanjang 45 tahun di RASI, Radio Australia menerapkan kebijakan menyiarkan segala sesuatu sesuai kode etik jurnalistik Australia, tanpa rasa takut atau pilih kasih,” kata Nuim.

“Saat itu bertepatan dengan berkuasanya rezim Orde Baru, yang secara langsung mau pun tidak langsung mendorong semua media di Indonesia agar melaksanakan swa-sensor, yang pada hakikatnya berarti menyiarkan hanya yang sesuai dengan “selera” penguasa,” tambahnya.
Jadi tidak mengherankan kalau RASI pernah begitu diminati oleh begitu banyak pendengar di Indonesia.
Mereka kagum dan takjub bagaimana RASI selalu mampu memberitakan dengan begitu cepat dan umumnya tepat kejadian yang sama sekali tidak digubris oleh media di Indonesia, karena swa sensor.
Karenanya RASI di kala itu memang laksana duri dalam daging bagi Orba yang tidak mampu memblokir siaran-siaran luar negeri dalam bahasa Indonesia.

Alhasil , seperti ditulis ABC dan dakwatuna.com, RASI bagi para pendengarnya di Indonesia waktu itu bukan saja merupakan sumber berita yang cepat dan tepat, terutama mengenai Indonesia, melainkan juga sumber hiburan dalam berbagai bentuknya.

“Saya merasa beruntung karena menjadi broadcaster pertama di kalangan siaran bahasa asing di Radio Australia yang dipercaya menyusun ulasan sesuai analisa saya sendiri, bukan menerjemahkan dari naskah-naskah dalam bahasa Inggeris,” kata Nuim, yang juga pernah meliput Asian Games dan Olimpiade.
Penyiar radio dan penulis kondang itu kini sudah menjadi kiayi, tapi ia masih tetap berenang, membaca buku, menulis artikel dan buku. Usianya sudah senja, tapi suaranya tetap lantang.
Semoga abanganda Nuim tetap sehat lahir batin. (Catatan A.R. Loebis)