Tuesday, April 01, 2025
Home > Cerita > Cerita Khas > cerita khas > Opa Wim dan kehangatan Homestay Inyiak Aguang, Catatan Atman Ahdiat

Opa Wim dan kehangatan Homestay Inyiak Aguang, Catatan Atman Ahdiat

Opa Wim sedang duduk santai di depan homestay. (atman)

Homestay Inyiak Aguang di sebuah dusun kecil di Nagari atau Desa Panampuang di Kecamatan Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumbar, kedatangan tamu dari jauh yaitu Wim Aarts, seorang konsultan lingkungan dari Belanda.

“Hallo apa kabar, saya Wim, senang bertemu Anda,” kata Wim kepada Susi Hardiani, pengelola homestay, ketika tiba di Homestay Inyiak Aguang tengah malam pada 5 Desember lalu. Meski baru saja menempuh perjalanan melintasi dua benua lebih dari 24 jam, Wim tampak masih segar di usianya yang sudah menginjak 77 tahun.

Wim datang didampingi Randi, pegawai Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Agam yang sengaja mendatangkan Wim sebagai konsultan dari sebuah organisasi nirlaba Senior Expertan Service (SES) yang berkedudukan di Bonn, Jerman. Tugas Wim adalah untuk meninjau dan kemudian memberi masukan atas program pengelolaan sampah di Kabupaten Agam dan Nagari Panampuang dipilih sebagai lokasi pilot project.

Karena Wim dan Randi sampai sudah larut malam, tidak banyak terjadi pembicaraan. Susi sebagai tuan rumah pun memahami bahwa tamunya ingin cepat-cepat istirahat untuk memulihkan stamina.

Keesokan pagi, Wim tampak sumringah. Ia mengaku sangat menikmati tidurnya dan ibarat baterai yang sudah di-charge, ia merasa sudah kembali bugar meski hanya sempat istirahat selama empat jam saat transit di bandara Soekarno-Hatta sebelum terbang ke Padang.

“I slept like a baby,” katanya sambil menambahkan bahwa ia sama sekali tidak merasakan jetlag seperti kebanyakan yang dialami banyak orang menempuh perjalanan menembus beberapa zona waktu.

Kedatangan Wim yang bernama lengkap Wilhelmus Aarts dan asal kota pelajar Maastrich itu, hanya tiga hari setelah Gunung Marapi erupsi dan menimbulkan korban jiwa 24 orang pendaki gunung.

Homestay Inyiak Aguang, yang ramah [emilik dan penghuninya dan segar udara lingkungannya. (atman)
Dari teras Homestay Inyiak Aguang, masih terlihat jelas kepundan dari puncak Marapi berwarna hitam membubung di angkasa, membanjiri kawasan sekitarnya dengan abu berwarna putih kecoklatan.

“Di sini aman kan? Berapa jauh jaraknya dari Gunung Marapi?,” kata Wim saat menikmati secangkir kopi dan matanya terus memandang ke puncak Marapi terus mengebulkan asap sesuai arah angin.

Wim kemudian tampak lega ketika diberitahu bahwa Homestay Inyiak Aguang berada sekitar lima kilometer dari pusat letusan Marapi, sementara kawasan yang harus diwaspadai berada dalam radius tiga kilometer.

Setelah sarapan, Wim dan Randi pun kemudian pamit untuk bertemu Wali Nagari atau Kepala Desa Panampuang Etriwarmon, pihak yang bertanggung jawab atas program pilot project pengelolaan sampah di desanya. Wim pada awalnya sempat ditawarkan untuk beristirat saja di homestay jika merasa belum cukup tidur beberapa jam saja.

“Saya sudah merasa sudah cukup istirahat dan ingin segera bekerja,” kata Wim yang akan melaksanakan tugas selama 20 hari di Nagari Panampuang dan beberapa kecamatan di Kabupaten Agam. Tugasnya adalah melihat langsung kondisi pengelolaan sampah yang sudah ada dan kemudian memberi masukan kepada perangkat desa bagaimana mengatasi dan kemudian mengelola sampah, terutama sampah plastik.

Setelah berkeliling berbagai pelosok desa bersama Randi dan Etriwarmon, Opa mengakui bahwa sampah yang tidak dapat terurai, terutama sampah plastik merupakan persoalan paling serius, sehingga harus ditanggulangi secara serius pula agar tidak memberikan dampak lingkungan yang merugikan masyarakat.

“Semua program tersebut tidak akan berjalan tanpa dukungan masyarakat. Saya yakin bahwa aparat di Desa Panampuang sebagai pilot project bisa mengajak masyarakat untuk mengelola sampah dengan benar, yaitu memisahkan sampah dapur dengan sampah plastik agar bisa didaur ulang dan bernilai ekonomis,” katanya.

Menurut Wim, yang perlu didorong adalah semangat untuk sedikit bersusah payah dalam memilah sampah plastik dengan sampah dapur. Sampah plastik bisa dijual ke fabrik pengolahan yang menghasilkan produk bernilai, seperti bahan bakar minyak.

Suasana Homestay

Selain sambutan hangat masyarakat terkait program Zero Waste yang akan dijalankan, Wim juga mengakui bahwa yang membuatnya terkesan dan merasa betah adalah suasana tempatnya menginap di Homestay Inyiak Aguang, seperti rumah sendiri. Home away from home.

Homestay yang berlokasi di Dusun Nuriang yang terpencil dan jauh dari keramaian, justru membuat Wim merasa nyaman. Setiap malam, ia merasa terhibur dengan orkestra suara jangkrik dan kodok yang berasal dari kolam di dekat kamar tidurnya. Pagi hari, ia akan mendengarkan nyanyian burung perkutut memulai hari.

Wim mengaku beruntung ditempatkan di homestay, bukan di hotel seperti yang pernah dialami waktu bertugas di berbagai negara. Hotel membuatnya merasa terasing karena lebih banyak berada di kamar dan tidak banyak berinteraksi dengan orang lain.

Susi sebagai tuan rumah, memang berusaha untuk membuat Opa Wim merasa nyaman, tidak hanya dengan fasilitas yang ada di homestay, juga dengan mengatur berbagai menu sedemikian rupa, disesuaikan dengan kebiasan orang Barat. Hampir tidak ada masakan yang pedas dan sekali-sekali dikombinasikan dengan makanan tradisional, seperti ketan warna merah dan pisang goreng.

Sekali waktu, Wim tampak terheran-heran ketika ditawarkan nasi goreng dan hanya dalam beberapa menit sudah terhidang di atas meja.

” Wow… you are like magician,” kata Wim memuji Susi yang menurutnya seperti tukang sulap karena bisa menghidangkan nasi goreng dalam waktu singkat.

Berbeda dengan di hotel, dimana tamu lebih banyak dianggap sebagai konsumen atau pembeli jasa, di homestay Wim sambil menikmati secangkir kopi, bisa berbincang-bincang dengan tuan rumah. Hubungan seperti keluarga pun terjalin karena baik Wim maupun tuan rumah saling bertukar pengalaman masing-masing.

Wim kemudian bercerita tentang pengalamannya ketika bertugas di Ethiopia, negara di Afrika yang dalam bayangan orang awam di Tanah Air lekat dengan cerita kelaparan.

“Dulu pada awal pertengah 1980-an memang terjadi bencana kelaparan luar biasa sehingga para musisi dunia sempat mengadakan konser untuk menghimpun bantuan. Tapi sekarang sudah jauh lebih baik dan pariwisata negara itu juga sudah maju,” katanya sambil menikmati banana pancake.

Sementara Susi pun mencoba menjelaskan kepada Wim mengenai adat istiadat yang berlaku umum di Ranah Minang, seperti kebiasaan orang Minang pergi merantau, atau garis keturunan yang berasal dari ibu (matrilinial).

Wim mengaku bahwa ia merasa beruntung karena tidak ditempatkan di hotel seperti saat bertugas sebelumnya. Homestay membuatnya merasa lebih sebagai anggota keluarga, tidak sekedar tamu hotel yang datang, menginap, bayar dan kemudian pergi entah kemana.

“At Homestay Inyiak Aguang, I feel at home, like family and I want to comeback,” tulis Opa Wim singkat di buku tamu.(arl)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru