Pasien Istimewa
Cerpen: Djunaedi Tjunti Agus
“Ada apa dengan dirinya. Harusnya dia datang dua pekan lalu. Kemana dia?”
Beberapa hari terakhir pikiran dr Savina selalu tertuju pada salah satu pasiennya. kesibukanya menerima puluhan pasien lainnya setiap harinya tak mampu meghilangkan sosok pasien yang satu itu.
Beberapa kali dia membuka komputer tentang jadwal kontrol pasien.
“Ya, harusnya dia kontrol dua pekan lalu,” dr Savina bergumam sambil mengemasi peralataannya.
Badannya sore itu terasa lelah, setelah memberikan konsultasi, instruksi dan saran, kepada sejumlah pasien. Tapi pikiranya selalu tertuju kepada salah satu pasien.
“Ah kenapa saya memikirkan dia. Apa istimewanya? Apa dia juga memikirkan saya,” gumam Savina sambil mengangkat tubuh dari kursi. Dia berdiri dengan malas, menenteng tas, berjalan menuju pelataran parkir.
Savina mengemudikan mobil sendiri. Meski lelah, dia tak sulit mencapai rumah dinas kediamannya, karena kota yang baru saja menjadi kotamadya itu tidak terlalu ramai. Tidak ada kemamcetan lalu lintas. Lagi pula tempat tinggalnya tak begitu jauh dari rumah sakit.
Kota kecil itu memang baru saja memiliki rumah sakit lumayan komplit, termasuk memiliki dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, dimana Savina mejadi dokternya.
Sampai di rumah dia langsung ke kamar mandi, mandi dengan air hangat.
Sebentar lagi magrib. Usai sholat dia berencana rebahan higga isya, mengembalikan kebugaran. Namun pikirannya susah lepas dari Luthfan, pasiennya yang tak kunjung datang sesuai jadwal kontrol.
Beberapa pekan lalu Savina coba buka-buka internet mencari-cari arti nama dalam Islam. Nama dia sendiri Savina, dia temukan berarti; perempuan baik hati dan cantik.
“Hah, papa dan mama ternyata memberikan nama yang idah pada saya,” gumamnya.
“Lalu apa arti nama Luthfan? Aneh, kedengarannya asing,” pikirnya membatin.
Luthfan ternyata artinya lemah lembut.
“Wah sesuai dengan orangnya. Dia memang lemah lembut, santun, dan menghargai orang,” kata dokter muda itu lagi-lagi bergumam.
Setiap masuk ke ruang periksa, Luthfan selalu mengucapkan salam, dengan santun, dan penuh hormat.
“Selamat siang Bu dokter Savina.”
“Ya, selamat siang Pak Luthfan. Apa kabar siang ini,” kata dokter Savina membalas.
Awalnya Savina hanya biasa-biasa saja. Ucapan salam atau membalas salam memang rutin dia lakukan sebagai basa-basi, lengkap dengan menyebut nama pasien. Dia sebetulnya tidak hafal nama-nama pasien satu persatu, tapi nama itu dia lihat di daftar setiap pasien yang dapat giliran kosultasi. Begitu juga terhadap Luthfan. Tapi akhir-akhir ini Luthfan koq mendapat perhatian khusus.
Baru dua pertemuan terakhir dia melihat jelas wajah Luthfan, setelah wabah Covid-19 berlalu. Dulu sebelum virus Corona menyerang, memang laki-laki itu tidak pakai masker, tapi dia lupa persis betuk wajahnya, karena hampir dua tahun 2020-2021 dia dan Luthfan setiap ketemu selalu pakai masker.
Nah dua pertemuan terakir dia baru ngah. Ternyata Luthfan memiliki wajah menarik. Senyumnya menawan. Orangnya lemah lembut, sopan. Tinggi badannya sekitar 170 cm, lebih tinggi sedikit dari Savina yang 165 cm.
“Ah adai saja dia pendampingku,” tutur Savina dalam hati.
***
Savina membuka tudung saji yang ada di meja makan.
“Rupanya si Mba sudah menyiapkan semuanya,” kata Savina dalam hati.
Ya, si Mba, pembantu Savina, memang tidak menginap. Di pergi pulang ke rumah dinas itu.
Setelah semua beres, mencuci pakaian, menstrika, membersihkan kamar mandi, menyapu rumah dan halaman, kemudian memasak, dia kemudian pulang.
Mba Lastri, begitu nama pembantu itu. Dia jarang berjumpa majikan, karena dia kerap datang saat Savina telah pergi. Majikannya, dokter muda itu praktik di dua tempat, di rumah sakit milik kota, dan yang kedua di rumah sakit swasta.
Savina yang asal ibukota Jakarta memang tinggal seorang diri di kota itu. Dia sebetulnya keturunan dari ayah dan ibu berdarah Minang. Namun sebagai orang yang berasal dari daerah Sumatera Barat yang memiliki darah perantau, ayah dan ibunya berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, dan akhirnya menetap di Jakarta, di mana Savina dilahirkan.
Savina kini sendiri, sejak berpisah dengan suami. Suaminya keberatan Savina kuliah lagi mengambil spesialis. Namun dengan alasan ingin mengabdi secara maksimal, Savina ngotot melanjutkan pendidikan. Untuk jadi dokter spesialis jantung dan pembuluh darah diperhitungkan dibutuhkan waktu 4-6 tahun lagi. Itu dianggap suaminya membuat istrinya itu tak bisa melayani dia sesuai harapannya. Akhirnya keduanya sepakat berpisah.
Sebagai janda tanpa anak, dokter muda itu leluasa berkarir. Savina malah menikmati hidup sendiri. Dia berpikiran, tanpa suami dia bisa maksimal mengabdi pada masyarakat. Kadang dia memang merindukan kehadiran anak, tapi keinginan itu kalah bila dia memikirkan keadaan para pasiennya yang meghadapi berbagai masalah kesehatan.
Namun akhir-akhir ini dia mulai tertarik untuk membangun rumah tangga, setelah dia mengenal Luthfan.
“Tapi apakah saya tidak bertepuk sebelah tangan?,” pikir Savina.
Lagi pula laki-laki itu kini tak jelas rimbanya. Dimana dia kini, lalu apakah dia punya istri atau tidak? Semua masih gelap baginya.
“Ah, kenapa pikiran saya selalu pada dia,” gumamnya.
***
Dengan alasan untuk menyegarkan diri dan pikiran, Savina meminta cuti selama dua pekan. Dia telah mendapatkan dokter pengganti sementara untuk melayani para pasienya selama dia libur. Dia ingin pulag ke Jakarta, berkumpul dengan ayah dan bunda.
“Pucuk dicita ulam tiba,” tutur ibunya begitu menyambut Savina di rumah.
“Kami, papamu dan mama, berencana menghubungimu. Berharap bisa pulang barang beberapa hari. Eh ternyata orangnya sudah sampai duluan,” tutur ibunya.
“Emang ada apa Mam?”
“Istirahat lah dulu. Nanti kita bicarakan.”
“Ohoh, ya deh Mam.”
Setelah makan siang, sesaat setelah sholat dzuhur, Savina menemui ibunya di ruang keluarga.
“Ada apa Mam? Koq sepertinya penting sekali?”
“Ya penting sih. Bagi Mama dan Papa, terlebih bagi Savina.”
“Loh koq gitu? Ada apa?”
Mamanya tersenyum. Kemudian memandangi Savina, dari kepala hingga kaki.
“Ya, ini sangat penting. Mama dan Papa berharap Savina bersedia……”
“Tidak menolak begitu. Ini penting.”
“Kakakmu Ghufran sudah mau mantu. Adik kamu Ira sudah punya anak tiga. Lalu adikmu, si bungsu Aariz, tahun depan sudah mau menikah. Nah kami berharap tahun ini, enam bulan atau dalam setahun ini kamu menikah.”
“Kenapa begitu mendadak Mam. Waktunya tidak tepat, Mungkin nanti-nanti,” balasnya.
“Kebetulan ada yang melamar. Papa kamu kenal orangnya.
Savina tak tertarik, tak ingin membicarakan. Namun orang tuanya terus membujuk. Juga papanya.
Kakak dan adik-adikya juga medukung.
“Ketemuan dulu deh. Mana tahu sesuai di hati,” kata Ghufran, yang datang ke rumah dua hari setelah kehadiran Savina.
Savina akhirnya pasrah, setelah semuanya, papa, mama, kakak, dan adik-adiknya mendorong. Pekan depan laki-laki pelamar meyatakan akan datang.
Dokter muda yang pulang ingin menyegarkan diri malah merasa direpotkan urusan lamar-melamar. Namun dia telah bertekad, dia masih ingin sendiri. Urusan lamar melamar itu hanya untuk meyenangkan kedua orang tua, dan saudara-saudaranya. Pikirannya justru lebih sering tertuju kepada Luthfan.
“Kemana saja dia. Jangan-jangan sudah mati terkena virus corona,” kata hatinya.
***
Pagi ini Savina kelihatan segar. Ba’da subuh, usai sholat, bersama mamanya, Savina jalan keliling komplek. Beberapa kali dia sempat berhenti, berbincang dengan tetangga, sekadar basa-basi. Keringat membasahi tubuhnya yang ramping. Kedua pipi memerah. Dia terliat cantik, meski belum dipoles bahan kecantikan.
Mamanya pagi itu lebih banyak diam. Tidak seperti biasanya.
“Mama koq diam aja dari tadi? Ada apa Mam?”
“Gak ada apa-apa sayang. Mama lebih banyak berzikir. Memohon pada Tuhan. Semoga kita sehat-sehat saja.”
“Mam. Jika Savina menolak lamaran orang itu, kira-kira papa marah gak ya.”
Mamanya menatap wajah putrinya itu lurus-lurus. Menahan langkah, memegang tangan Savina. Lalu mencium pipi dokter muda itu.
“Papamu, juga Mama tak akan marah. Hanya saja kami berharap anak kami yang cantik ini segera memiliki pendamping. Laki-laki gagah, santun, penyayang,” kata Mamanya.
Mendengar kata santun, pikiran Savina lansung tertuju pada Luthfan.
”Andai saja dia yang datang melamar. Jangankan enam bulan atau setahun, pekan depan pun saya siap menikah,” kata hatinya. Dia lalu tersenyum.
Mama melihat senyum anaknya itu. Lalu bertanya….
“Ada apa sayang?”
“Nggak Mam. Emang ada apa?”
“Koq tersenyum sendiri?”
“Iya Ma. Senang aja ngeliat Mama yang masih segar.”
“Mama juga senang ngeliat Savina ceria. Mudah-mudaha siang ini makin ceria setelah kedatangan laki-laki pelamar.”
Sontak Savina terdiam. Wajahnya mendadak berubah.
“Maaf Ma. Savina sepertinya belum siap. Mungkin nanti.”
Sampai di rumah Savina langsung ke ruang makan, minum teh manis yang dari pagi telah disiapkan pembantu keluarga. Beda dari biasa, setelah olahraga biasanya dia selalu mium air putih.
Usai mandi dia ke kamar tidur, rebahan. Dalam hatinya sudah bulat, tolak lamaran. Bahkan dia berencana, meski masa cutinya masih sepekan lagi, besok dia akan kembali ke kota tempatnya praktik. Savina sempat pulas ketika adiknya Ira membangunkannya untuk sholat dzuhur.
Tak lama setelah sholat terdengar beberapa orang datang, mengucapkan salam. Mereka tak perlu lama meunggu karena memang sudah ditunggu. Savina tak ikut ke luar menyambut tamu. Dia kelihatan lebih santai, pergi ke ruang keluarga, menonton televisi. Sempat menukar-nukar beberapa canel, dan akhirnya menonton acara kajian yang sedang disampaikan seorang ustadz.
Tiba-tiba Mamanya mendekati.
“Siap-siap ya sayang. Nanti Savina harus hadir dalam acara lamaran. Medengar dan menjawab langsung apa keputusannya.”
Dan ketika saatnya tiba, Savina didampingi adiknya Ira menuju ke ruang tamu. Dia menggunakan baju terusan dengan rok menyentuh lantai. Tidak bersolek sama sekali, tiada pupur, bedak, celak, dan penebal alis. Mengenakan jilbab, dia menutup wajahnya dengan cadar, hanya matanya yang terlihat.
Di atas bentangan karpet di ruang tamu itu dia sekilas melihat beberapa orang, dan kemudian mendengar suara; “Selamat siang Bu dokter Savina.”
Suara dan ucapan itu begitu akrab dengan telinganya. Dia sempat kaget, namun berusaha menekan keingin tahuannya.
Acara lamaranpun dimulai. Papanya Savina membuka acara. Setelah basa-basi, kemudian memperkenalkan semua keluarga, termasuk kakak dan adik-adik Savina. Tentunya Savina sendiri. Kemudian giliran tamu dipersilakan menyampaikan maksud kedatangannya.
“Maaf. Izikan saya menyampaikan maksud kedatangan kami. Saya yang ditunjuk sebagai juru bicara.”
Ucapan itu keluar dari mulut Luthfan. Awalnya Savina berpikir dia akan dilamar untuk istri pasiennya itu. Tapi koq dia yang jadi juru bicara. Dia berpikir, kalau begitu dia akan dilamar untuk laki-laki yang duduk di sebelah Luthfan.
“Ya. Perkenankan saya memperkenalkan keluarga kami. Ini, di sebelah kanan adalah babak dan ibu kami. Di kiri saya adalah adik kami Bahira, sudah menikah, dan paling ujung adalah adik bungsu saya Zayan. Dia masih perjaka, belum menikah. Saya sendiri Lutfan. Pedagang di sebuah kota kecil,” katanya.
Savina makin yakin. Dia akan dijodohkan dengan Zayan, bukan dengan Luthfan. Harapannya yang mucul akan dilamar Luthfan seketika pupus. Ingin rasanya dia meniggalkan acara itu. Namun dia merasa tertahan oleh genggaman tangan adiknya Ira yang dari tadi gak pernah lepas.
Tiba-tiba saja adiknya Luthfan, Zayan, berdiri. Dia pindah duduk persis di sebelah kakaknya itu. Lalu membisikkan sesuatu.
“Maaf, maaf. Adik saya mengingatkan agar tidak berpanjang lebar. Langsung saja menyampaikan lamaran. Saya rasa, ya langsung saja. Untuk lamaran, supaya afdhol biar disampaikan ayah kami,” katanya.
Savina makin yakin akan dijodohkan dengan Zayan. Tekadnya sudah bulat, tolak.
“Ya, sesuai rencana kami. Kami datang adalah untuk melamar. Melamar Nak Savina.”
“Tak perlu berpanjang-panjang. Lansung saja, kami datang untuk melamar.”
Savina terlihat gelisah. Dalam pikirannya dia siap angkat kaki, menolak lamaran.
“Kami sekeluarga datang. Dengan harapan Nak Savina bersedia dijodohkan dengan anak kami.”
“Anak kami Luthfan.”
Savina kaget. Tapa sadar dia bersandar ke bahu Ira. Terdengar terisak. Dia tak menyangka sama sekali akan dijodohkan dengan Luthfan. Air matanya mengalir, air mata bahagia.
“Silakan Savina sendiri yang menjawab,” kata papanya.
Savina tergagap. Lalu berucap; “Savina serahkan sepenuhnya pada Papa dan Mama.”***
November 2021.