Adakah seksi atau koordinatoriat wartawan selain wartawan olahraga (Siwo) yang bertahan sejak zaman baheula hingga kini? Para peliputnya masih saling berkomunikasi sejak seksi itu berdiri pada 1966 hingga kini? Ada yang debutnya hingga usia gaek masih mengedit berita, tapi juga ada yang menjadi pengusaha, staf Menpora bahkan menjabat duta besar?
Adakah koordinatoriat wartawan yang melakoni profesinya tidak hanya menulis berita, tetapi seperti Siwo — yang awalnya turut dalam jajaran organisasi anggota KONI Pusat, — membantu menyelenggarakan event dalam usaha melahirkan atlet nasional, sampai akhirnya memiliki departemen Siwo pusat dan kini ada di tiap Pengprov PWI di seluruh Indonesia? Ada pula penyelenggaraan pekan olahraga nasional antarwartawan.
Para wartawan lawas itu, pada zamannya sudah berkeliaran di manca negara meliput peristiwa olahraga dunia, baik multievent seperti SEA Games, Asian Games, Olimpiade, mau pun dari cabang tertentu seperti turnamen sepak bola Piala Dunia, Piala Eropa, tinju dunia, karate dunia, catur dunia, bulu tangkis, tenis, balap F1 dan berbagai cabang lainnya.
Betapa kayanya pengalaman para wartawan olahraga senior itu. Pengalaman berharga adalah kisah hidup yang paling tinggi nilainya. Tidak didapat di bangku kuliah. Ia hanya ada dalam penuturan atau pun dalam kisah-kisah tertulis.
Nah, buku “Siwo PWI Jaya, Kejayaan Dalam Kebersamaan, Dari Tangga Gedung KONI Tersebar ke Penjuru Dunia”, pantas terbit dan akhirnya diluncurkan Rabu 1 Maret 2023 di markas PWI DKI di Jakarta.
Judul buku itu memang panjang – karena sejarah, pengalaman dan lika-liku meliput olahraga para wartawan itu memang amat panjang, penuh dengan suka duka, cerita dan hikayatnya.
Dalam acara peluncuran sederhana itu, dihadiri sekitar 50-an anggota Siwo, hadir pula Ketua PWI Pusat Atal S Depari, Ketua PWI DKI Sayid Iskandar, staf khusus Menpora Mahfudin Nigara dan mantan pengurus serta anggota senior lainnya seperti Norman Chaniago, Adhi Wargono, Sami Leo Lantang, Ian Situmong, Hendry Ch Bangun, Prayan Purba, editor buku Djunaedi Tjunti Agus, Jimmy S Hariyanto, Yesayes Octavianus, Lala Hozilah, Gunawan Tarigan, dan rekan lainnya.
Anak Karo dan Siwo
Ada hal menarik dalam peluncuran buku ini, pertemuan antara Ketua PWI Atal S Depari dengan bakal calon ketua PWI mendatang Hendry Ch Bangun.
“Hendry sudah menyatakan mencalonkan diri sebagai ketua PWI mendatang. Saya belum mengeluarkan pernyataan. Tapi bagi saya siapa pun jadi ketum PWI sama saja. Karena kami sama-sama berasal dari Siwo,” kata Atal disambut tepuk tangan meriah.
“Kami juga sama-sama anak dari tanah Karo. Kami berdua membawa kabar baik ke kampung halaman bahwa kami sudah berbuat sesuatu,” ujar Atal, tepukan kembali riuh.
Sebelum acara dimulai, Atal dan Hendry sudah berfoto ria, ngobrol berdua berdampingan, wajah keduanya kelihatan berseri. Terdengar ucapan Nigara si penggagas terlaksananya peluncuran buku itu, “Gitu dong, sesama warga Siwo harus rukun, kendati tentu saja boleh bersaing.”
“Kita dari dulu memang bersaing di lapangan. Boleh berseloroh dan jalan bersama, tetapi berita harus berbeda,” kata Atal dengan manambahkan, “Tetapi sesama keluarga Siwo kita harus bersatu dan rukun.”
Persaingan Atal dan Hendry sebenarnya hanya terasa dalam beberapa grup WA, setelah Hendry menyiarkan di medsos tentang pencalonan dirinya sebagai ketum PWI. Pada Munas lima tahun lalu, keduanya pun bersaing ketat, bahkan selisih suara pun hanya tiga, (38-35).
Atal selanjutnya menyatakan apresiasinya terhadap semua anggota Siwo Jaya, dengan mengatakan, para wartawan olahraga itu umumnya multi-talenta, memiliki banyak bakat dan dapat melakukan apa saja dan menjadi apa saja.
“Ini mungkin karena sifat sportivitas olahraga sudah melekat. Dulu kita bisa menyelenggarakan berbagai pertandingan setiap tahun. Kita sembari meliput menambah ilmu kita. Saya punya pengalaman meliput hit and run dalam meliput multievent. Ini ilmu dari pengalaman dan saya ajarkan pada para junior. Setelah jadi wartawan, banyak yang bisa melakukan apa saja bahkan jadi duta besar,” kata Atal, menyinggung Suryopratomo yang kini sebagai Dubes RI untuk Singapura.
Sebelumnya Hendry mengatakan, ketika Atal menjabat ketua Siwo DKI (1991-1999), ia sebagai wakil ketua dan mereka melakoni banyak program dan kegiatan ketika itu.
“Saya dekat dengan Atal sejak dulu kala. Kami melakukan banyak kegiatan di Siwo DKI, seperti balap sepeda, kejuaraan tinju, sepatu roda, gerak jalan dan sebagainya,” kata Hendry, yang baru-baru ini menyatakan mencalonkan diri sebagai Ketum PWI pada Munas di penghujung tahun ini. Hendry adalah mantan Sekjen PWI periode sebelumnya dan mantan wakil ketua Dewan Pers.
Tugas negara
Betapa hebatnya Djunaedi Tjunti Agus, yang sudah amat lama bercita-cita ingin membukukan sejarah Siwo Jaya, lengkap dengan para pelaku alias para peliputnya.
Siwo itu memang asyik, tidak ada duanya dibanding dengan para peliput bidang lainnya – katakanlah wartawan peliput ekonomi, politik, parlemen, budaya, humaniora, kesehatan dan lainnya.
Siwo menjadi khas, tak ada matinya dan tak pernah bubar. Ini yang membuat Djunaedi – mantan wartawan Suara Karya – amat mendambakan terbitnya buku Siwo.
Beberapa tahun lalu sudah pernah dibentuk panitianya, namun bubar sebelum kerja dimulai.
Nah, pada program penerbitan beberapa buku pada Hari Pers Nasional (HPN) 2023 di Sumut, Februari lalu, terbitlah buku Siwo atas izin panitia HPN, yang penanggung jawabnya adalah Atal.
Djunaedi “pontang-panting” mencari bahan konten buku itu, dengan menghubungi teman-teman, karena waktu yang tersisa hanya sekitar satu bulan.
“Isteri saya bingung melihat saya yang seolah tak lepas dari laptop. Ia bertanya lagi ngapain sih. Saya jawab, lagi ngerjain tugas negara,” kata Djunaedi. Isteri Djunaedi mungkin terdiam, membayangkan betapa beratnya “tugas negara” suaminya itu.
“Saya harus terus menghubungi teman-teman agar secepatnya menulis. Ada yang berjanji tapi belum juga menulis. Saya hubungi lagi dan lagi. Ada yang hingga buku terbit tapi naskahnya tak kunjung tiba. Tapi ada juga yang sudah bersiap dengan naskahnya sejak tahun lalu, yaitu Nigara,” ujar Djun, panggilan akrab Djunaedi.
Djunaedi yang hobi menulis Cerpen dan puisi itu, menyebutkan, ia ingin agar buku itu suatu saat dicetak ulang, karena masih amat banyak pengalaman teman-teman yang belum tercakup dalam buku itu.
“Saya ingin buku itu dicetak ulang dan dijual di toko buku, karena pelajaran yang ada dalam buku itu perlu dibaca masyarakat umum,” kata Djun. Nigara, Atal, Adhi Wargono dan teman lainnya, dengan senada mendukung niat mulia Djun itu. Atal bahkan mengatakan, Siwo seharusnya setiap tahun bisa menerbitkan minimal dua buku, karena begitu banyaknya ilmu, pengalaman masa lalu dan cerita yang harus dituliskan, terlebih rekan Gunawan Sudarsono, mantan wartawan Merdeka, kini memiliki perusahaan percetakan.
Cerita anonim
Ya, buku tentang Siwo harus bersambung, artinya akan ada buku lainnya yang akan dicetak.
Nigara dan Adhi Wargono, masing-masing penasihat PWI Pusat dan PWI DKI Jaya, serta mantan ketua Siwo Sam Lantang, ketika diminta memberikan kata sambutan, bercerita hal yang lucu-lucu tentang masa lalu.
“Kalau cerita-cerita ini ditulis dalam buku berikutnya, tentu penulis dan pelakon cerita harus anonim. Kalau tidak, wah bisa berabe nanti,” kata Nigara, mantan wartawan Kompas dan Bola, yang kini sebagai staf khusus Menpora dan juga sebagai komentator tinju di TVOne.
Omongan para senior itu amat menarik, selalu juga dikisahkan dalam tiap pertemuan nostalgia anggota Siwo, dan cerita ini berupa “untold story” – bisa-bisa lebih seru dari isi buku yang sudah dicetak.
Tapi ya itu tadi, cerita itu hanya berupa pengalaman yang layak diungkapkan dalam bahasa lisan di antara sesama anggota Siwo, walau kisahnya terjadi baik di dalam mau pun di luar negeri.
Namun cerita-cerita di balik layar ini pula lah yang mewarnai perjalanan hidup selama ini, sehingga menjadi pengikat hubungan baik dan sebagai pencetus kenangan lama setiap bertemu dalam beberapa kesempatan.
Acara peluncuran buku Siwo itu praktis tidak diisi dengan membahas konten, selain cerita liar yang terjadi di seputar Siwo DKI dan mantan ketua Siwo legendaris Sam Lantang tengah malam memberikan komentarnya melalui wa grup Siwo.
“Saya senang sekali acara siang tadi, terasa semakin menyatukan kita tanpa bicara soal usia. Selain ada yang sudah sepuh, generasi muda menyatu dalam acara itu, Ada Ariwangsa, Buchari dan Agus. Semoga kita kompak terus dan menunjukkan Siwo PWI Jaya tidak ada kesenjangan. Mari bersenang-senang dan bersuka cita bersama. Lupakan dulu semua persoalan pribadi. Jayalah Siwo PWI Jaya,” kata Bang Sam.
Ya, kita semua bersuka cita dan gembira, apalagi pada penutupan peluncuran buku diakhiri dengan acara door-prize dan bagi-bagi hadiah. (**)