Mimbar-Rakyat.com (Jakarta) – Tahapan demi tahapan Pemilihan Umum 2024 telah berlangsung. Suguhan aksi-aksi dari elite politik masih dipenuhi kejutan. Debat kandidasi tak luput dari suguhan para penggembira yang gemar adu yel-yel, joget ria, dan kadang masih beradu drama.
Kontestasi musiman ini tidak akan berarti apa-apa jika tidak membawa gagasan yang mampu meneguhkan perbaikan kualitas demokrasi. Darimana memulainya, tentu dari gagasan para kandidasi untuk meyakinkan kemana etika kehidupan berbangsa akan dibawanya.
Wacana soal etik dalam prosesi pemilu akhir-akhir ini menjadi isu yang hangat meski masih tampak menjadi isu pinggiran yang tak laku. Membahas etik dianggap hanya mempertebal isu-isu murahan yang datang musiman.
Harusnya momentum Pemilu 2024 menjadi diskursus untuk mendorong munculnya lagi kesadaran publik akan perlunya etik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mengutip Catatan Politik dan Hukum Kompas, 23 Desember 2023 tentang “Mencari Etik dalam Dokumen Kenegaraan”, jika mau ditelusuri lebih dalam masalah etik telah menjadi dokumen kenegaraan. Gerakan Reformasi 1998 yang menggulingkan kekuasaan Orde Baru telah ikut mendorong lahirnya dokumen bersejarah soal etika kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Ketetapan MPR No VI/MPR/2001 diberi judul “Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”.
Terbitnya Ketetapan MPR RI tersebut berawal dari keprihatinan bahwa sejak terjadinya krisis multidimensional, muncul ancaman serius terhadap persatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa.
Gagasan Pancasila Sebagai sistem etika, Pancasila setidaknya mampu menjadi konsensus norma dan prinsip etik, baik bagi penyelenggara negara, partai politik, elite politik, dan masyarakat sebagai subjek politik. Tentu juga berlaku bagi para pendengung dan penggembira musiman.
Secara umum, sebagai subjek politik, masing-masing memiliki kewajiban moral dan kontribusi yang sama demi terciptanya kualitas demokrasi yang bermartabat, demokratis, dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Notonegoro (1975) melalui “Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila” menegaskan bahwa di dalam hubungan sebab akibat ini terdapat unsur keharusan (tidak dapat tidak) seperti hubungan yang mutlak, antara bangsa Indonesia dengan Pancasila terdapat hubungan yang berasaskan sebab akibat yang mengandung unsur keharusan.
Dengan demikian, antara bangsa Indonesia dengan Pancasila itu hubungannya tidak dapat ditiadakan, di satu pihak landasan Pancasila sebagai sebabnya dan bangsa Indonesia sebagai akibatnya. Oleh sebab itu, Pancasila juga tidak dapat dipisahkan dari politik karena ia merupakan panduan bagi para elite dan masyarakat dalam berpolitik dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Sebagai panduan dalam berpolitik, para insan politik harus mampu mengejawantahkan etika-etika politik yang terkandung di dalam Pancasila.
Bagaimana caranya? Salah satunya adalah mengoptimalkan sistem hukum yang adil dan keadilan berkemanusiaan, merupakan salah satu pilar utama dalam penerapan etika politik. Penegakan hukum yang baik akan menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap individu, setiap warga, serta mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berwenang.
Dalam konteks ini, Pancasila menekankan pentingnya hukum yang adil dan berkeadilan sebagai bagian integral dari sistem pemerintahan yang etis. Eksistensi Demokrasi Etika merupakan basis fundamental dalam proses terbentuknya suatu bangsa, sekaligus fondasi bagi kelangsungan hidup suatu bangsa, sehingga manakala runtuhnya etika berbangsa, maka akan membawa akibat pada runtuhnya bangsa tersebut.
Demokrasi dan etika politik adalah dua aspek yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan rakyat telah menjadi salah satu prinsip utama dalam sistem politik. Di sisi lain, etika politik merupakan landasan moral yang mengatur perilaku para pemimpin dan warga negara dalam bermusyawarah dan mengambil keputusan yang berkaitan dengan kepentingan bersama. Bukan kepentingan orang per orang atau sekelompok orang. Demokrasi dalam konsep Pancasila menekankan pada partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan, serta menghormati hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi.
Di sisi lain, etika politik dalam konsep Pancasila menitikberatkan pada perilaku dan moral para pemimpin dan warga negara dalam berpolitik, dengan mengedepankan keadilan, kejujuran, dan persatuan. Kenyataan objektif nilai-nilai etis filosofis Pancasila sebagai paradigma kehidupan kebangsaan dan kenegaraan bukanlah hanya pada tingkatan legitimasi yuridis dan politis saja, melainkan juga pada tingkatan sosio-kultural. Bagaimanapun perubahan yang akan terjadi, bangsa Indonesia akan senantiasa hidup dalam kehidupan dengan dasar filosofi dan etika Pancasila.
Dalam upaya untuk merealisasikan cita-citanya dalam negara, bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan secara kodrati dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Negara dan bangsa akan eksis dan berkembang dengan baik manakala dikembangkan etika berbangsa dan bernegara dengan sebaik-baiknya. Semoga eksistensi demokrasi tetap terjaga meski harus tergopoh-gopoh untuk mempertahankan kembalinya panduan etik dan moralitas berbangsa dan bernegara dalam naungan Dasar Negara, Pancasila. (ds/sumber Kompas.com)