Monday, March 31, 2025
Home > Cerita > Penguasa Jalan, Cerpen Djunaedi Tjunti Agus

Penguasa Jalan, Cerpen Djunaedi Tjunti Agus

Foto ilustrasi mimbar-rakyat.com.

Penguasa Jalan

Cerpen: Djunaedi Tjunti Agus

Dalam setahun ini sudah lima kali jalan di depan rumah Diomira ditutup. Padahal baru memasuki bulan Agustus. Masih ada 4 bulan lagi sebelum ganti tahun. Entah berapa kali lagi jalan utama di depan rumah perempuan itu ditutup untuk umum. Setiap terjadi penutupan jalan, para pemakai jalan pada ngedumel, karena harus berbelok ke jalan yang lebih kecil di perumahan itu, bahkan terpaksa lewat gang berliku-liku hingga perjalanan menjadi lebih jauh.

Pertama, tahun ini, jalan utama di lingkungan itu, ditutup pertengahan Januari ketika suami Diomira meninggal dunia. Ujung jalan menuju rumah itu ditutup dengan bangku panjang dan dua kursi makan. Di ujung lainnya, agar pengguna jalan berbelok masuk gang, ditutup dengan tiang bekas cor-coran yang dibelintangkan. Jalan itu ditutup selama tiga hari.

Kemudian bulan Maret jalan sama ditutup lagi, ketika anak bungsu perempuan itu merayakan ulang tahun. Tenda terpasang sepenuh jalan di depan rumah, kursi berderet, sehingga tak mungkin bagi orang lewat, meski hanya naik sepeda.

Juni, hampir sepekan jalan di depan rumah itu ditutup. Kali ini lebih parah, jalan ditutup habis hingga ke pagar rumahnya, dan metok di pagar umah tetangga di depanya. Kemudian ditutup terpal, hingga jangankan bisa lewat, meski jalan kaki, pandangan saja tertutup habis. Tidak bisa melihat apa yang sedang terjadi di balik terpal pembatas itu. Orang yang mau liwat silakan memutar balik, cari jalan lain.

Tenda hanya meghadap ke satu arah, ke arah perapatan jalan utama, dan telah didirikan dua hari sebelum acara dan baru dibongkar tiga hari setelah acara usai. Menurut Diomira penutupan jalan itu wajar-wajar saja, apalagi kali ini digunakan untuk pesta pernikahannya kedua kalinya, setelah suami pertamanya meninggal. Protes, rasa tidak puas, yang beredar, diangapnya tidak beralasan. Malah dikatakannya protes mucul karena rasa iri dan dengki.

Ketua rukun tetangga (RT) pernah menegur Diomira atas penutupan jalan tersebut. Namun jangankan mita maaf, sang penutup jalan malah menuding Ketua RT usil, tidak megayomi warga. Anehya lagi, si Ketua RT mendapat teguran dari Ketua Rukum Warga (RW).

Di kalangan masyarakat sekitar akhirnya dia dikenal sebagai Diomira si pengguasa jalan. Dia berbuat sesuka hati terhadap jalan di depan rumahnya. Mau ditutup seminggu, sehari, atau berhari-hari, dia merasa punya kuasa. Tetangga kiri kanan, depan dan belakang rumahnya pun akhirnya ikut-ikutan. Jika ada hajatan, meski kecil-kecilan, sekadar ulang tahun anggota keluarga, mereka mendirikan tenda yang menutup jalan dan menjadikan Diomora sebagai backing.

Akhirnya jalan utama di perumahan itu terkenal ke mana-mana. Masyarakat di perumahan itu, bahkan sampai pada mereka yang bermukim di luar komplek jadi tahu  bahwa jalan yang satu itu sering ditutup. Jika tidak terpaksa, umumnya masyarakat sekitar berusaha menghindari jalan tersebut. Biar agak jauh dikit asal tidak mentok pada penutupan jalan.

Nama Diomira, entah dan bahasa mana, konon berarti wanita penting di sebuah desa. Kebetulan atau tidak, dia memang merasa penting di lingkungan domisilinya. Jika tak berkenan, dia bahkan tak segan-segan melabrak seseorang. Dia tak sungkan mendatangi Ketua RW di sekretariat RW, meski hanya berpakaian seadanya, bercelana pendek seksi dan berbaju you can see, sehingga pingul dan dada besarya makin terlihat. Paha dan betis wanita semampai itu mengundang perhatian.

***

Telah dua pekan ini Diomira tidak terlihat wira-wiri. Biasanya dia selalu saja kelihatan modar-mandir. Kalau tidak ke warung, ya ke rumah tetangga, atau menggantar anaknya yang masih SD ke sekolah, atau ke tempat-tempat lainnya. Sepertinya dia tidak pernah lelah. Super aktif dan agresif. Ada apa dengan wanita periang dan mudah bergaul itu.

Tetangganya pun bertanya-tanya. Namun tak satupun yang berani mendatangi rumahnya untuk megetahui kodisinya. Anak terkecilnya hanya diantar tukang ojek langganan. Sedang anak pertama kuliah dan tinggal di Malang. Suaminya tidak pernah kelihatan, mobilnya juga tak terdengar ke luar masuk garasi.

Apakah Diomira sakit? Tak seorang pun tahu. Maimunah, wanita satu lingkungan RT dengannya juga tak tahu. Biasanya kedua wanita itu kerap berdua-duaan. Kalo tidak pergi senam, ya ke pusat perbelajaan. Bahkan Maimunah kerap diminta menemaninya ke rumah sakit.

“Saya tidak tahu. Apakah dia sakit atau gimana. Soalnya kalo ada perlu biasanya di hubungi saya lewat telepon atau WA,” kata Maimunah ketika ditanya ketua RT yang berpapasan dengannya.

“Saya gak berani datang langsung ke rumahnya. Soalnya saya pernah dimarahi karena datang hendak menemuinya. Dia bilang, kalau mau ketemu kabari dulu. Telpon atau WA gitu.”

Tukang ojek yang mengantar dan menjemput anak Diomira ke sekolah juga menyatakan tidak tahu.

“Saya gak pernah ketemu dia beberapa hari ini. Anaknya saja yang keluar saat saya jemput,” katanya.

Jadilah Diomira bagai ditelan bumi. Lampu rumahnya yang meyala setiap saat senja tiba dan mati ketika pagi muncul menjadi pertanda dia masih ada. Masih hidup. Selebihnya  tanda tanya. Suaranya yang bisanya sesekali terdengar ke luar rumah, kini senyap. Ada apa dengan Diomira.

Suara Diomira baru terdengar lagi di suatu pagi, setelah sekitar tiga pekan tidak pernah ketahuan sosok dan kegiatannya. Bahkan lebih keras dari biasanya, karena dia bicara sambil berteriak-teriak. Di antara tangisnya terdengar suara seorang laki-laki yang sepertinya berusaha menenangkannya.

“Ceraikan saja saya. Saya masih laku. Banyak laki-laki yang menginginkan saya,” teriaknya.

“Pergi kamu dari sini. Ini rumah saya. Angkat semua pakaian dan barang-barangmu. Jangan tiggalkan satu pun. Pergiiiii.”

Beberapa tetangga mulai ke luar dari rumah masing-masing. Beberapa diantaranya bisik-bisik dan meminta seseorang diantaranya lapor ke Ketua RT, minta membantu menenangkan keributan yang terjadi di pagi itu.

Ketua RT merasa keberatan. Alasannya dia telah berkali-kali kena semprot oleh Diomira.

“Saya tidak berani. Kecuali ada yang menemani,” katanya.

Akhirnya disepakati, RT didamping tokoh masyarakat di lingkungan itu, Pak Didi, serta seksi keamaan lingkungan, Pak Jabir. Ketiganya dengan mengucapkan Bismillah menuju ke rumah itu. Ketua RT ketika mendekati rumah yang dituju kelihatan ragu-ragu. Namun entah apa yang dibisikkan Pak Didi, langkah Ketua RT mantap lagi.

“Selamat pagi. Bu, Pak. Selamat pagi,” teriak Pak Jabir.

Sesaat pertengkaran mereda. Namun tidak ada jawaban.

“Pak, Buuuu. Pagiiii.”

Sesaat pintu terbuka. Muncul Diomira dengan rambut acak-acakan. Pakaian seadanya. Dia terlihat kurus dari biasanya, mata cekung seperti kekurangan gizi. Mungkin kurang tidur.

“Ada apa!,” suara Diomira tinggi, terkesan tidak suka.

“Saya tidak perlu bantuan. Pergi saja sana,” katanya lagi, ketika Pak Jabir akan bicara.

“Bu…, bu. Tenang dulu buu,” kata Pak Didi.

Diomira tertegun. Dia sepertinya sungkan terhadap Pak Didi yang merupakan satu diantara beberapa orang yang dihormati atau diseganinya di lingkungan itu.

“Iya Pak Didi. Maaf, ada apa ya?”

“Warga merasa ada yang tidak pada tempatnya. Kami bertiga ke sini merupakan utusan warga, diminta membantu persoalan ibu dan bapak,” kata Pak Didi.

Wanita itu diam sesaat. Dia minta izin masuk dulu. Beberapa saat kemudian keluar lagi, dan mempersilakan ketiga orang itu masuk ke ruang tamu. Dia minta izin lagi, untuk merapikan diri.

***

Lama ketiga tamu itu menungu. Lima belas menit  berlalu, seseorang muncul dari dalam. Ternyata suami Diomira, Pak Bastian. Menyalami ketiga tamu, kemudian duduk di salah satu kursi. Dia tampak tenang, namun terkesan canggung. Mungkin bingung mau membicarakan apa. Seseorang membuka pagar, lalu masuk tanpa memberi salam. Dia sempat rikuh ketika menyadari ada tamu di pagi itu.

“Maaf. Ternyata ada tamu, saya pikir gak ada orang,” kata wanita paruh baya itu.

Wanita itu adalah Bu Sutinah, yang datang sekali tiga hari ke rumah itu untuk bersih-bersih, mencuci dan mestrika pakaian. Kadang-kadang memasak. Setelah basa basi dia masuk ke ruang tengah. Sesaat kemudian diikuti Bastian. Meski bicara pelan dia terdengar mita disuguhi minuman untuk tamu.

Telah hampir satu jam berlalu, Diomira belum juga keluar.

“Maaf bapak-bapak. Saya selama ini di sini belum pernah ikut kumpul-kumpul. Maklum ada kesibukan terus,” tiba-tiba Bastian bicara.

“Ya, sudah satu tahun lebih bapak menikah dengan Bu Diomira. Mungkin sudah dua tahun. Seinggat saya memang belum pernah ikut rapat atau kumpul-kumpul warga,” kata Ketua RT.

“Ya. Maafkan saya. Mungkin suatu waktu saya bisa hadir,” balasnya.

Secara bersamaan mucul Diomira. Dia membawa nampan minuman, di belakangnya Sutinah membawa makanan ringan.

“Wah. Gak usah repot-repot,” kata Pak Didi.

Diomira hanya tersenyum. Penampilannya telah berubah 180 derajat. Bila tadinya terlihat kusut masai, kini tampil beda dan wangi. Juga jauh dari penampilan hari-hari biasanya dengan bercelana pendek dan you can see. Dia mengenakan rok dalam menyetuh lantai, berkerudung. Penampilannya wah, terlihat cantik. Jauh lebih cantik dan terlihat sopan dibanding ketika berpakaian mewah saat menghadiri acara pesta pernikahan atau lainya.

“Jadi pangling. Kalo Bu Diomira ke luar saat ini, pasti banyak yang pangling. Tetangga akan bertanya-tanya tamu siapa tuh,” kata Pak Didi, sambil melirik ke Pak Bastian yang terlihat tegang.

“Ya… Bu Diomira sudah ada. Pak Bastian juga ada. Kami langsung saja pada tujuan kami datang,” kata Pak Didi.

“Gak usah buru-buru pak. Minum dulu, cicipi dulu makanan kecilnya. Mba Sutinah juga lagi pesan ketupat sayur,” balas Diomira.

“Tapi sambil menunggu kita mulai saja pembicaraan,” tutur Ketua RT menimpali.

***

Suasana telah mencair. Terdengar tertawa berulang-ulang. Pembicaraan antara tuan rumah dan tamu sepertinya begitu akrab. Tak ada bentakan, tangis, teriakan, seperti pagi buta tadi antara Diomira dan suaminya.

Hal itu di luar dugaan orang-orang yan mengikuti pertemuan itu, yang semula memperediksi akan terjadi bentakan, teriakan, tangis, bahkan bantingan benda-benda. Namun kenyataan, prakiraan mereka bertolak belakang.

Diam-diam beberapa ibu-ibu, warga lingkungan itu, berkumpul di ruang tamu rumah Bu Darjo, tetangga persis sebelah rumah Diomira. Mereka ingin tau apa yang bakal terjadi. Apa hasil kujungan wakil warga tersebut dengan Diomira dan suami. Bahkan ada yang menempelkan telinga ke dinding pembatas.

“Maaf. Kalo boleh tahu agama Ibu Diomira apa sih?,” tanya Pak Didi.

“Agama saya Islam Pak. Tapi saya belum tahu cara sholat. Belum bisa mengaji. Belum tahu apa-apa soal ibadah Pak,” balas Diomira jujur.

“Nah. Kalo ibu mau, ke depan mulailah belajar mengaji. Datangkan guru, bahkan belajar ngaji onlie juga banyak sekarang. Sekali-sekali menghadiri ceramah agama, tabligh akbar. Sholat itu tiang agama bu,” kata Pak Didi.

“Maaf. Tanpa bermaksud menyalahkan Bu Diomira. Apa yang dituntut  Pak Bastian tadi benar. Dia ingin punya istri sholeh, yang mengerti agama, tidak mengumbar aurat. Itu artinya dia cinta kepada ibu, ingin bahagia berdampingan di dunia dan akhirat.

Pembicaraan sempat diawali suasana tegang. Diomira menuding suaminya akan kawin lagi, mengancam akan menceraikannya, dan mengatakan Bastian selalu mecari-cari kesalahanya agar bisa pisah, akhirnya bisa diredam.

Pak Didi yang banyak bicara. Sekali dua ditambakan  Ketua RT. Sementara Jabir lebih memilih jadi pendengar.

Wibawa Pak Didi membuat Diomira dan suaminya Bastian sepakat menempuh jalan damai. Diomira berjanji tidak akan bercelana pedek dan you can see lagi bila ke luar rumah. Akan belajar mengaji, mengikuti ceramah agama, seperti diminta suaminya. Suaminya juga janji tidak akan kawin lagi. Menurut dia itu hanya ancaman, agar istrinya mau mengikuti keiginannya.

Yang mengejutkaan. Diomira berjanji tidak akan pernah menutup jalan di depan rumahnya. Apapun acaranya.

“Meski saya mati sekalipun. Jangan ada lagi penutupan jalan di depan rumah ini. Saya tahu dijuliki sebagai wanita penguasa jalan. Mudah-mudahan saja gelar itu dilupakan orang,” kata Diomira.***

@Desember 2021.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru