Naluri orang umumnya ingin bebas, sehingga berdiam di rumah sebagai karantina diri di zaman Korona ini dianggap amat membosankan. Orang curi-curi sejenak membebaskan diri, baik naik mobil, atau kendaraan roda dua, atau hanya berjalan kaki.
“Gak tahan gue di rumah saja. Sudah dua bulan tak kemana-mana. Makanya siang ini gue keluar rumah ama istri. Yang penting jaga jarak dan pake masker,” kata teman lewat telepon, “Padahal di rumah gue gak pernah jaga jarak ama anak istri”.
Teman lainnya bercerita, ia paling suka kalau istrinya minta tolong membeli kebutuhan dapur ke super market. Atau bahkan hanya ke warung, yang tak jauh dari rumah.
“Pokoknya aku ingin keluar rumah, pegal rasanya badan gak bergerak,” kata teman itu. Padahal di rumahnya ada beberapa alat olahraga untuk kebugaran jasmani. Bahkan pekarangan rumahnya pun cukup luas, bisa lari-lari.
Ada pula teman yang tak tahan lagi bila tidak shalat jamaah ke masjid. Istrinya tidak bisa melarang, karena dekat rumah mereka ada masjid yang tidak tutup.
“Asalkan pake masker dan jarak jangan dekat-dekat. Itu aturan pemerinah dan ulama,” ujar istri setiap ia akan melangkah ke luar rumah untuk ikut tarawih berjamaah seusai buka puasa.
Tapi pulangnya – lanjut kawan tadi – istrinya menyemprotnya pakai air disinfektan, disuruh menanggalkan pakaian dan menggantungnya di garasi mobil, atau memasukkan ke dalam mesin cuci. “Paling parah setiap pulang dari sholat jamaah, atau dari mana pun, aku disuruh istri langsung ke kamar mandi. Mau ngapain lagi, yaa mandi lah. Mandi malam..mandi…mandi lagi,” katanya.
Apa yang ingin saya ungkapkan dari berbagai cerita teman-teman itu?
Ternyata orang tidak selamanya menganggap rumah sebagai “home sweet home”. Sebagai istana. Ada yang merasa rumah sebagai “penjara” . Padahal dalam rumah itu ada istri dan anaknya. Tapi ia tetap saja ingin keluar rumah.
Orang umumnya menganggap rumah sebagai “istana”nya, baik rumah itu besar dan bertingkat, mau pun rumah kecil dan sederhana. Pulang kerja, alangkah nikmatnya duduk di ruang depan atau berbaring telentang, setelah seharian menguras tenaga dan pikiran di kantor. Apalagi bila pulang harus berjejalan dalam KRL.
Orang malas keluar rumah, hanya santai bersama keluarga dari hari ke hari. Mungkin ada juga orang yang malas di rumah karena istrinya cerewet – tapi itu cerita lain, karena yang saya amati ini khusus di zaman Korona. Terlebih setelah diterapkan aturan PSBB, yang cukup ketat itu.
Korona itu luar biasa. Benar-benar musuh berbentuk siluman, tak terlihat dengan mata. Gimana mau perang dengan musuh yang tak bisa dilihat?
Akibat takutnya, pulang dari pasar, belanjaan digelar dulu di luar rumah. Uang kembalian pun diletakkan di luar rumah. Semprot-semprot, cuci tangan, bahkan mandi lagi. “Makanya saya mandi setelah pulang dari pasar. Dulu kan mandi dulu, baru ke pasar. Sekarang Jadi jarang mandi pagi,” kata seorang ibu.
Korona itu terkadang membuka pikiran kita juga. Aku melihat beda dan persentuhan instink antara manusia sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial. Ada yang ingin menyendiri atau menikmati kumpul bersama keluarga, tapi ada juga yang ingin bersosialisasi keluar rumah, untuk menutupi rasa bosan berkepanjangan.
Orang yang memelihara burung dalam sangkar, selayaknya memikirkan betapa bosannya burung yang terkurung dari hari ke hari, walau pun diberi makan dan minum. Instink atau naluri burung yang hidup bebas di pepohonan, diberangus manusia yang mengurungnya.
Manusia pun sebenarnya sudah “terberangus” oleh manusia juga, yang terejawentahkan melalui aturan-aturan, hukum, adat istiadat, ideologi, politik, sosial, budaya, agama, bahkan oleh masker yang sekarang kita bawa kemana-mana itu.
Tapi si Korona membuat manusia “memenjarakan” diri sendiri, penjara yang terbangun dalam pikiran sendiri, bukan bangunan penjara yang sudah ditinggalkan para penghuniny, yang dilepas pemerintah untuk berkeliaran kemana-mana.
Kita kembali ke inti cerita, yaitu rumah sebagai “istana” yang dapat berubah menjadi “penjara”.
Manusia yang memiliki sifat ingin bebas, tidak terbelenggu, tidak terikat, tidak terpenjara, terbukti menunjukkan jati diri sebagai makhluk sosial dan individu yang “tumpang-tindih” – yang pembosan, bahkan terkesan tidak tahan berlama-lama di rumah, bahkan dengan keluarga sendiri pun.
Korona membangun “penjara” bagi semua manusia, masuk ke penjara masing-masing, mengunci diri dari dalam dan masing-masing pula saling mencari dan mencuri jalan untuk dapat sesekali keluar dari penjaranya.
Akhirnya, semua kita merasakan, betapa sakitnya berada dalam penjara. Baik penjara bangunan, mau pun penjara pikiran. Wolluhu a’lam bissowab. (arloebis.com)