Tuesday, April 01, 2025
Home > Cerita > Cerita Bale-Bale > Peradaban Jawa Oleh Yudhie Haryono *)

Peradaban Jawa Oleh Yudhie Haryono *)

Prof Yudhie Haryono. (harianblora.com)

Kini, sungai hilang kedalamannya; pasar hilang suaranya; pandita hilang malunya; mantera hilang saktinya. Begitulah ujaran Jawa yang sangat berharga tentang masa kekinian.

Maka, mendialogkan Jawa adalah mendialogkan hilangnya. Mewarisi cerita dan epos besar yang tinggal tulang belulang tak bernyawa. Jawa. Ini adalah tanah tua. Merujuk pada namanya: dawa yang bermakna panjang.

Dipimpin pertama oleh raja Saka (Soko) yg bermakna penyangga utama. Tentu ini peradaban sempurna karena mampu menciptakan tanggalan sendiri, angka sendiri, aksara sendiri, agama sendiri, tata nilai sendiri dan kepribadian sendiri.

Raja Saka adalah maharaja yg cerdas dan jenius. Raja inilah yg menciptakan penanggalan, huruf, aksara, filsafat dan adat-istiadat Jawa. Hurufnya penuh makna dan lambang bahkan metafora. Hana caraka (ada dua utusan), data sawala (mereka saling berselisih), padha jayanya (mereka sama2 berjaya–dalam perkelahian), maga bathanga (mereka sama2 jadi mayat).

Di masa purba (atlantis), pulau ini merupakan bagian dari gugusan kepulauan Sunda Besar dan paparan Sunda, yang pada masa sebelum es mencair merupakan ujung tenggara benua Asia. Sisa-sisa fosil homo erectus, yang populer dijuluki “Si Manusia Jawa” ditemukan di sepanjang daerah tepian Sungai Bengawan Solo. Peninggalan tersebut berasal dari masa 6 ribu tahun yang lampau.

Umur pulau jawa diperkirakan dua juta tahun. Situs Sangiran adalah situs prasejarah yang penting di Jawa. Beberapa struktur megalitik telah ditemukan, misalnya menhir, dolmen, meja batu dan piramida berundak. Punden berundak dan menhir ditemukan di situs megalitik di Paguyangan, Cisolok, dan Gunung Padang, Jawa Barat. Situs megalitik Cipari juga ditemukan di Jawa Barat menunjukkan struktur monolit, teras batu dan sarkofagus.

Punden berundak ini dianggap sebagai strukstur asli Nusantara dan merupakan rancangan dasar bangunan candi pada zaman Nusantara setelah penduduk lokal melakukan hibridasi peradaban. Pada abad ke-4 SM hingga abad ke-1 atau ke-5 M, kebudayaan Buni yaitu kebudayaan tembikar tanah liat berkembang di pesisir utara Jawa Barat. Kebudayaan protosejarah ini merupakan pendahulu kerajaan2 setelahnya.

Jawa sangat maju filsafatnya. Dalam budayanya banyak diketahui pepatah dan petuah yang memberikan kearifan dalam upaya kita bisa mencapai “paran dumadi“ demi ”manunggaling kawulo Gusti.” Sebagai contoh:

1)“Urip iku Urup”: hidup itu seharusnya menyala, menerangi, yang berarti hidup itu hendaknya memberi manfaat kepada orang lain di sekitar kita”.

2)“Hamemayu Hayuning Bawono, Ambrasta Dur Hangkoro”: Harus mengusahakan keselamatan, kebaikan dan kesejahteraan serta memberantas sifat angkara murka, serakah, iri hati, dan kikir serta aniaya.

3)“Datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan”: Jangan mudah tertekan terkena tekanan batin (“distressed”) manakala musibah menimpa, jangan sedih manakala kehilangan.

4)“Ojo ketungkul marang kalungguhan, kadonyan lan kemareman”: Jangan terpaku atau terkungkung dengan kedudukan, kekayaan materi dan kepuasan duniawi.

5)“Ojo keminter mundak keblinger, ojo cidra mundak cilaka”: jangan merasa paling pandda agar tidak salah paran, jangan suka berbuat curang agar tidak celaka.

6)“Ojo milik barang kang melok, ojo mangro mundak kendho”: Janga tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah, dan jangan berfikir gamang atau plin-plan agar tidak kendor niat dan semangat kerja.

7)“Alang-alang dudu lalin aling, marganing kautaman”: Persoalan kehidupan bukan penghambat jalan menuju kesempurnaan.

8)“Sopo weruh ing panuju sasat sugih pager wesi”: Dalam kehidupan, siapa punya cita-cita luhur jalannya seakan tertuntun.

9)“Ngeli namung ora keli”: Hidup itu harus menyesuaikan diri dengan jaman, namun tidak hanyut oleh arus kemajuan jaman semata. Ini erat kaitannya dengan pepatah “jamane jaman edan, sing ora edan ora keduman. Namung sing paling becik tetep wong waras”. Budaya Jawa mengajarkan kita agar tetap mempunyai pola pemikiran “kang eneng, ening, awas, lan eling.”

10)“Becik tithik, ala ketoro”: kebaikan akan pasti tercatat sedangkan keburukan pasti akan terbuka, membimbing agar kita selalu berbuat baik dan menjauhi yang bersifat aniaya.

Hebat bukan filsafatnya?

Theoantroeco centris jika disimpulkan. Keselarasan tuhan-manusia-alam raya yang seimbang.

Singkatnya, Jawa sangat subur dan bercurah hujan tinggi memungkinkan berkembangnya budidaya padi dan semua buah-buahan. Pulau ini terkaya SDA, terpadat, terindah, tereksotis dan sangat mempesona.

Jutaan manusia (jahat dan baik) datang untuk menjajah dan pariwisata. Di  Jawa ini pula ditemukan Pancasila: puncak hibridasi nilai-nilai dunia yang kini selalu dikhianati para pemimpinnya.  (*)

(Profesor M Yudhie Haryono adalah guru besar Universitas Muhammadiyah Purwokerto dan Direktur Eksekutif Nusantara Centre)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru