Perginya Sang Pengelana
Cerpen: Djunaedi Tjunti Agus
Lima tahun lalu aku mengira air mataku sudah habis. Gempa dan tsunami Aceh memporak porandakan semuanya. Tidak hanya rumah, harta benda, keluarga dan semua milik lenyap seketika. Aku sebatang kara. Ibu, bapak, kakak, adik, dan seluruh famili dekat telah dipanggil menghadap Ilahi.
Tapi, penderitaan ternyata belum berakhir. Air mata ternyata masih ada. Sejak malam, sesaat setelah kejadian, hingga kini setelah beberapa hari, air mata hampir tak putus-putusnya. Berita di televisi di suatu sore, Rabu 30 September, membuat dada sesak. Gempa yang mengoyang dan melumat kota Padang, seketika membuat arwahku bagai lepas.
Hati serasa dicabik-cabik. Sejak duka Aceh, diri ini tak pernah istirahat dari kepedihan. Pergi ke Jakarta untuk mengadu peruntungan-melupakan duka akibat seluruh milik dan keluargaku direnggut tsunami pada 26 Desember 2004 di Aceh-juga tak menolong. Di Jakarta, kota harapan, nasib bukannya semakin baik.
Jakarta tak peduli terhadap diri penuh penderitaan ini. Tak pernah terbayang sebelumnya, hari ke hari harus hidup menyusuri jalan-jalan Jakarta, menarik gerobak berisi barang-barang rongsokan. Bila malam tiba, berhenti dan tidur dalam gerobak. Entah di emperan toko, di bawah jembatan, bahkan disekitar jalan-jalan tempat wanita tunasusila menjajakan diri.
Kehidupan tenang yang pernah dijalani di Aceh. Bermanja-manja kepada kedua orangtua, bercanda dengan adik dan kakak, makan minum kapan maunya, tidak lagi ku alami.
Jalan sepanjang Proyek Senen, gelapnya emperan toko di Jatinegara pada malam hari, galaknya Satpam di Blok M, telah menjadi keseharianku. Mata-mata penuh kecurigaan di berbagai komplek perumahan mewah, ancaman pentungan dari peronda di perumahan penduduk, merupakan hal biasa.
Tapi, Alhamdulillah, berkat kegigihan, Jakarta akhirnya bisa juga aku taklukkan. Jakarta yang di mata, di hati, dan dalam pikiran banyak orang lebih kejam dibanding ibu tiri, ternyata tak selamanya memusuhi. Berkat ajakan seseorang yang menaruh simpati, aku bisa memperbaiki nasib, diterima bekerja di sebuah bengkel las.
Kualitas hidup pun membaik, tak lagi tergantung gerobak, ngontrak di sebuah rumah petak 2 x 2 meter. Mandi pun teratur, setidaknya sekali sehari, tidak seperti dulu, hanya sering cuci muka.
Namun, perbaikan kualitas hidup tak berlangsung mulus. Persis 7 bulan menempati rumah petak di kawasan Ciputat, Tangerang, tiba-tiba di pagi buta, hanya beberapa saat menjelang subuh, kamar kontrakan bersama perumahan lainnya dihantam gelombang air bah, entah dari mana datangnya.
Cukup lama pingsan. Suara hiruk pikuk di sekeliling lah yang membuat aku tersadar. Pertama yang aku lakukan, memperhatikan pakaian yang melekat di badan. Celana panjang dan baju tebal yang aku kenakan masih utuh. Tak sempat dibuka orang-orang yang menyelamatkanku, meski baju dan celana itu basah. Semua orang begitu sibuk.
Aku baru tahu, ternyata tidak hanya rumah petak yang ku tempati yang hancur, rumah-rumah lain, bahkan perumahan mewah tak jauh dari tempat kami-yang berlokasi di perbatasan Jakarta Selatan dan Tangerang itu-juga rata dengan tanah. Keheranan ku, kenapa tempat yang jauh dari pantai itu bisa juga kena tsunami pun terjawab. Hantaman air ternyata berasal dari Situ Gintung yang jebol. Seratus lebih orang tewas.
* * *
Bencana Situ Gintung-pukul 05:00 Jumat pagi, 27 Maret 2009-bukan derita terkahir. Hanya 6 bulan kemudian musibah gempa Sumatera Barat kembali membuatku kehilangan harapan. Pautan hati-orang yang saya dambakan menjadi suami dan ayah dari anak-anak kami-termasuk diantara ribuan bahkan jutaaan orang yang menderita akibat gempa menguncang Ranah Minang. Aku kehilangan jejak, tak tahu keberadaannya.
Laki-laki sahabat pemilik usaha las tempat ku berkerja, entah kenapa, menaruh simpati. Pria yang 4 tahun lebih tua dari ku itu tak menganggap aku hanya pekerja bengkel, tapi juga sebagai teman. Dia sangat perhatian, juga menceritakan segala uneg-uneg, termasuk upayanya mencari pasangan hidup.
“Saya sudah lama ingin menikah, tapi hingga kini belum ada yang cocok. Ada yang mau, tapi saya nggak suka. Sebaliknya ada yang saya senangi, namun dia tidak tertarik pada saya,” katanya suatu ketika.
Tidak tahu kenapa dia begitu terbuka. Dia juga sering menasehati ku.
“Shalat berjamaah itu sangat dianjurkan kepada laki-laki,” katanya. Tetapi aku tak pernah mengikuti ajakannya.
Suatu waktu aku tak bisa lagi menolak, ketika diajak shalat Jumat. Aku memilih saf paling belakang, walau di depan masih banyak yang kosong. Dia rupanya tak senang. Usai shalat, dalam perjalanan pulang dia menegurku.
“Apa sih mau mu. Kamu itu sudah saya anggap teman, malah adik. Eh diajak untuk kebaikan ada saja alasan mu. Kalau nggak suka diajak untuk kebaikan ya sudah. Mulai hari ini kamu tak usah anggap saya lagi.”
Mukanya tegang, dia sepertinya sangat kecewa.
Aku hanya bisa menangis. Tapi mendengar ancamannya, aku takut. Takut kehilangan dia, karena diam-diam aku memang tertarik pada laki-laki itu. Mungkin kini saatnya berterus terang.
“Kak. Mas…. Maafkan aku. Aku ingin terus terang. Sebenarnya saya perempuan. Perempuan normal, tak mungkin ikut shalat Jumat dan shalat berjamaah bersama laki-laki.”
Dia kaget, matanya terbelalak.
“Kamu serius!,” katanya setengah berteriak.
“Serius Mas. Aku ini perempuan.”
Entah sengaja, entah karena reflek, dia tiba-tiba menjauh dari ku.
“Itu alasannya kenapa kamu tidak mau saya ajak tinggal di rumah kontrakan saya,” katanya.
Namun belum sempat dijawab, dia kembali berkata…
“Ya, saya mengerti. Saya menyesal telah bercerita banyak tentang pribadi saya. Saya malu. Kenapa saya tak curiga sedikit pun, padahal suaru mu lebih mirip perempuan ketimbang laki-laki.”
“Aku mohon maaf Mas. Aku bahkan tidak ingin pisah dengan Mas. Jika Allah mengizinkan, aku menginginkan Mas jadi suami saya.”
Aku memang sudah lama tertarik pada laki-laki ini. Tapi tak pernah ada keberanian mengutarakannya. Lagi pula dia mengenal ku sebagai laki-laki, pekerja bengkel las. Tapi kini, aku tak mau ditinggalkan.
“Lalu kenapa kamu menyamar jadi laki-laki?”
Usai shalat Jumat itu aku tak langsung kembali ke kontrakan, juga tidak ke bengkel las. Aku dan Mas Agip-laki-laki yang menganggap ku sebagai adik itu-sepakat pergi ke salah satu tempat di Blok M.
Di sepanjang perjalanan, aku kerap merapatkan diri ke bahunya. Juga ketika berada di restoran cepat saji. Beberapa mata mencuri pandang, memandang jijik pada kami. Mungkin mereka menganggap kami pasangan lelaki homoseksual. Aku memang masih berdandan bak laki-laki.
Di restoran itulah kesempatan ku bercerita tentang diriku kenapa mengubah diri menjadi laki-laki.
* * *
Aku datang ke Jakarta atas undangan lelaki yang ku kenal di Aceh. Dia begitu simpati, dan mengaku sangat prihatin terhadap nasibku yang sebatang kara.
“Jika anda mau, datanglah ke Jakarta. Ini alamat saya, nanti saya bantu mencarikan pekerjaan. Anda kan tamat SMA, mungkin bisa diterima kerja di pusat perbelanjaan,” katanya.
Ucapan laki-laki itu sangat meyakinkan. Entah kenapa, mungkin karena terbiasa hidup di tengah lingkungan orang-orang baik, aku menerima tawaran laki-laki yang baru ku kenal. Namun kenyataaan tak selalu sesuai harapan. Laki-laki yang ketika berada di Aceh berpembawaan sopan, ternyata buaya darat. Malam pertama berada di kediamannya-setahun setelah bencana Aceh- dia coba memperkosaku. Untung aku berhasil melarikan diri, luput dari nafsu setan.
Dengan tas jinjing lusuh yang dibawa dari Aceh, berisi beberapa lembar pakaian dan selembar ijazah SMA, aku menyusuri jalan Jakarta yang sama sekali baru bagi ku. Di deretan pertokoan, yang akhirnya ku kenal sebagai Jatinegara, aku bersandar, duduk di sebuah kotak.
Di tengah ketakutan, beberapa orang melintas. Agar tak ketahuan aku ini seorang perempuan, aku duduk meringkuk dibungkus sarung. Dan adalah bapak-bapak tua yang akhirnya mengubah diri ku menjadi sosok seorang laki-laki.
“Jika tak memiliki famili atau orang yang bisa ditumpangi di Jakarta, anak jangan pernah percaya kepada siapa pun. Tapi kalau tetap mau tinggal di Jakarta harus siap menghadapi kerasnya Ibu Kota,” katanya.
Entah kenapa, akhirnya saya mengikuti saran bapak tersebut. Dia mengajak ku ke pondok beratap dan berdinding kardus di salah satu pojok dekat stasiun kereta api Jatinegara. Dia pula yang mengubah ku menjadi laki-laki, membelikan gerobak dan mengajari memilih barang-barang bekas yang laku dijual.
Dengan penampilan baru, aku aman dari gangguan. Bahkan tiga bulan kemudian, aku tak canggung lagi ketika harus jalan sendiri, karena bapak angkat, sang penolong telah tiada.
Namun, ketika sudah beralih menjadi pegawai bengkel las, godaan sepertinya tak ingin menjauh. Seorang bapak-bapak mengajak tinggal bersamanya, menjadi pasangan hidupnya. Aku curiga, jangan-jangan dia tahu aku ini perempuan.
Tapi apa yang ku terima? Ketika mengatakan aku ini laki-laki tulen, dia dengan entengnya berkata; “Justru karena anda laki-laki saya tertarik. Kalau anda mau, besok tinggalkan bengkel ini, hidup bersama saya. Semua kebutuhan saya tanggung,” katanya sambil mengamati seluruh tubuhku.
“Masya Allah. Astagfirullah. Lindungilah hamba Mu ini ya Allah,” saya tak henti-hentinya meminta perlidungan pada Allah. Sejak itu, bapak yang pernah datang berkali-kali ke bengkel las tak muncul lagi.
Mas Agip termanggu-magu.
“Jadi kamu ini benar-benar perempuan,” katanya tanpa melihat pada ku. Dia mungkin tak ingin dinilai tak sopan, bila coba meneliti tubuhku, meski hanya lirikan mata.
Perkenalan kami sebagai laki-laki dan perempuan rasanya baru terjadi kemarin. Tapi dalam waktu sesingkat itu, dia sudah mampu mengubah jalan hidupku. Dia lah yang membantu ku hingga diterima bekerja disebuah hypermarket. Ijazah yang dengan susah payah ku pertahankan, termasuk ketika jadi gelandangan, akhirnya berguna juga. Petualangan ku berakhir. Laki-laki pengelana dengan sebuah gerobak tua sudah pergi. Aku kini kembali menjadi perempuan sejati.
Tapi, disaat menanti waktu yang diidamkan, pernikahan kami, Mas Agip bagai ditelan bumi. Bencana gempa 7,6 sekala Richter yang melumat Padang membuat aku kehilangan jejak. Masih hidupkah dia? Aku selalu berusaha mengikuti pemberitaan di televisi, berharap perjalanan Mas Agip ke Padang, mewakili perusahaan garmen tempatnya berkerja, bukan akhir segalanya.
Dengan air mata hampir tak pernah berhenti mengalir, aku sering bergumam; “Jangan tinggalkan aku Mas Agip.”
Aku tak ingin pahlawan ku pergi, setelah dia mengangkat derajat hidupku.
“Selamatkan dia ya Allah. Jangan pisahkan kami….”***
*Cerpen ini pernah dimuat di Harian Umum Suara Karya Sabtu, 10 Oktober 2009