Jejeran pohon bambu bergerak-gerak
Menari dengan gemulai menawan
Dedaunannya melambai-lambai
Suaranya, aduhai , berdesah-desah basah
Pasti ada yang memetik simfoni itu
Kalau tidak tak mungkin senarnya bergetar
Punggungku nyaman menempel di tembok
Mataku nanar menatap ke kejauhan
Kurasa-rasa, entah kapan menyaksikan keindahan pandang
Kemerduan suara dan irama yang mengalun dari buluh perindu
Baru kali ini aku mengamati khusus
Kulitku terkesiap seperti ikut merasakan
Secangkir kopi mengepul menemani
Harumnya menyeruak di sekitar hidung
Angin semilir terkadang berhembus kencang
Lihat, daunnya bersatu bergerak seperti kipas
Terkadang bergelombang seakan laut pasang
“untung ada pohon bambu,
Kalau tidak tak ada penahan angin
Yang terkadang seolah ingin menerjang ke sini,” kata kawan.
“kalau pagi, hingga jelang siang, selalu angin lembut yang menyapa
Tapi tengah malam, ia tak lagi menyapa, melainkan menyapu
Meriap-riapkan rambut kita
Terkadang seolah ingin membuka kancing baju dada kita.”
Angin itu hidup
Ada yang menguasainya
Aku masih menyaksikan dedaunan bergoyang melambai
Sesaat kemudian diam, entah kemana perginya angin
Tak lama, kipas itu kembali bergerak, entah dari mana datangnya angin.
Lama aku terlena, terbuai
Ya Robbi
Tak terasa pagi ini aku menemuiMu
Ditemani secangkir kopi yang masih menyebar aroma
Siap diteguk di tengah semilir desah daun bambu
Yang sesaat meraba-raba ujung rohaniku.
oOo
Ciampea, 14062020