Jakarta, Mimbar-Rakyat. Com – Akhirnya turun juga perintah tertinggi.Pilkada jalan terus. Presiden Jokowi menyatakan Pilkada serentak tidak bisa ditunda. Tetap akan berlangsung tanggal 9 Desember 2020. Ironinya, pro dan kontra tentang pelaksanaan Pilkada serentak masih juga berkecamuk.
Masih ada riak-riak kecil di banyak forum dan group medsos yang berasal dari kelompok yang memihak dan menghendaki Pilkada ditunda.Padahal semua peserta pilkada di hampir semua wilayah tanah air saat ini sudah memperoleh nomor urut. Segera kegiatan kampanye masing- masing kandidat sudah akan mulai.
Yang jadi persoalan kini adalah aturan dan model kampanye macam apa yang akan diterapkan di era pandemi ini?
Karena dari sanalah awal permasalahan kenapa Pilkada harus ditunda. Banyak elemen masyarakat termasuk organisasi umat Islam terbesar, NU dan Muhamadiyah, ikut serta menyuarakan agar Pilkada serentak ditunda.
Khawatir pandemi corona makin berkembang.
Bila ditunda, konsekwensinya, 270 bupati/walikota dan 9 gubernur akan di plt kan.
Sedangkan pelaksana tugas kepala daerah memiliki keterbatasan wewenang dalam membuat kebijakan di tengah pandemi.
Kalau pemilu ini ditunda, maka akan juga menciptakan risiko-risiko politik yang serius.
Mengingat, dalam menghadapi krisis diperlukan legalitas yang kuat dari pemimpin yang berjenjang dari nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota.
Kampanye, dulu identik dengan dang- dutan. Kini tak mungkin lagi kelas kampanye semacam itu. Kecuali “ndableg” seperti yang dilakukan wakil ketua dprd Tegal.
Meski itu bukan kampanye politis,tapi kegiatan mengumpulkan massa ditengah pandemi adalah dilarang keras. Mentalitas pejabat yang memandang enteng protokol pandemi ini, bukan monopoli pejabat di Tegal.
Berdasarkan catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), tercatat 316 bakal paslon dari 243 daerah melakukan pelanggaran protokol Covid pada pendaftaran pasangan calon 4-6 September lalu.
Mulai titik inilah petugas JPU maupun satgas covid-19 harus menegaskan sikap untuk menegakkan protokol kesehatan pada setiap bentuk kampanye, maupun pelaksanan Pilkada.
Dalam perspektif politik praktis , peserta pilkada pasti ingin meraup suara semaksimal mungkin.
Logisnya dengan aturan baru mereka harus memeras otak untuk menemukan bentuk kampanye yang baru.
Tidak terpaku pada ndang-dutan, atau pengumpulan massa belaka.
Kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini sedang berjalan jauh dari normal.
Sementara proses demokrasi harus terus jalan. Guna menghindari situasi yang lebih tidak normal lagi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam kaitan ini, proses Pilkada saat ini memang perlu dilakukan, tetapi tentu melalui cara-cara baru yang berbeda dari sebelumnya.
Pilkada saat ini bisa berbahaya menjadi cluster baru bagi pandemi. Tetapi juga bisa sebaliknya. Yakni mendorong terlaksananya demokrasi Pilkada yang jauh lebih berkualitas dari sebelumnya.
Termasuk memaksimalkan tekhnologi digital dalam berkampanye.
Pilkada saat ini sekaligus juga menjadi momentum untuk membangun peradaban baru dalam berpolitik praktis.
Ada tiga hal yang bisa menjadi simbol pelaksanaan demokrasi sesuai protokol covid.
Pertama, masker. Semua orang wajib memakai masker. Terutama saat berkampanye nanti. Itu adalah simbol menjaga mulutnya agar mulut tidak “bau” dan tak banyak ngumbar janji saat kampanye.Menghindari bicara yang tak perlu, menjelek-jelekkan lawan politik, menyebar kebencian. .
Memakai masker juga pertanda supaya para politisi konstestan politik terhindar dari kecenderungan membicarakan orang lain dengan cara -cara yang tak perlu.
Kedua, menjaga jarak. Bukan hanya dalam arti fisik. Tidak boleh berkerumun, berkumpul di lapangan dan menyelenggarakan rapat akbar.
Tetapi lebih dari itu, orang perlu memiliki kesadaran diri secara substansial. Bahwa demokrasi itu adalah tentang kemerdekaan pribadi seseorang. Bebas dari tekanan untuk menentukan pilihan sendiri. Tidak didesak (disuap) atau ditekan (intimidasi). Dus perlu jaga jarak. Sehingga merdeka dalam memilih calon pemimpin sesuai hati dan pikiran bebasnya.
Karena setiap orang itu mempunyai daya nalar dan kemampuan seleksi sendiri saat jiwanya sudah merdeka.
Ketiga, mencuci tangan. Apa simbol mencuci tangan itu dalam konteks pilkada? Tangan adalah simbol cara kerja dan hasil kerja seseorang. Artinya, calon yang ingin terpilih dalam pilkada, prestasi dan kinerjanya harus bersih.
Rekam jejak dan program kerjanya yang bersih membuat seorang kandidat mampu merencanakan konsep rencana kerja tentang pembangunan kota dan daerahnya.
Inilah momentum politik peradaban baru yang kita dambakan. Bila 3 simbol ini bisa diterapkan, maka Pilkada justru bisa menaklukkan pandemi covid-19. Sekaligus menjadi pil covid-19. (Ahmad Istiqom/ds)