“Berapa usiamu?”
“15 tahun Pak”
“Kok gak puasa?”
“Gak sahur Pak.”
“Tidak puasa sejak hari pertama?”
“Ya Pak”
Anak muda itu menunduk, rokok masih mengepul di sela jemarinya. Sesaat kemudian ia berbalik arah dan membuang rokoknya di area terbuka itu.
Jawaban “tidak sahur” itu amat lazim diucapkan orang yang tidak melaksanakan Ibadah shaum Ramadan, padahal perintah puasa itu merupakan rukun Islam ketiga dari lima rukun yang diwajibkan bagi orang Islam.
Puasa yang diperintahkan dan wajib dilaksanakan, puasa Ramadhan, adalah menahan hawa nafsu mulai terbit fajar sampai terbenam matahari.
Allah berfirman dalam Surat Al Baqarah ayat 183 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Perintah wajib puasa itu difirmankan bagi orang-orang “beriman”. Kalau begitu, apakah anak remaja tadi – serta semua orang Islam yang makan siang di warung-warung dan restoran – tidak atau belum”beriman”?
Kita lihat dulu ketentuannya, karena ada kelompok yang dibolehkan tidak harus menjalankan ibadah puasa. Mereka adalah anak kecil, orang gila, orang sakit atau sudah uzur, wanita haid atau nifas dan para musafir.
Para kelompok itu bahkan tidak harus mengganti puasanya dengan puasa, melainkan boleh diganti dengan fidiyah berupa pemberian beras kepada fakir miskin dan orangtua.
Karena anak remaja tadi – bersama kelompok yang mampir makan di warung dan restoran pada siang hari tidak termasuk dalam kategori yang boleh tidak berpuasa – maka mereka adalah manusia yang belum “beriman”.
Iman, menurut ahli sunnah wal jamaah, adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam al-Qur’an:
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Orang-orang Arab badui berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah, “Kalian belum beriman, tapi katakanlah, ‘Kami telah berislam (tunduk)’, karena iman itu belum masuk ke dalam hati kalian, dan jika kalian taat kepada Allâh dan Rasul-Nya, dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu. Sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al-Hujurat/49:14]
Apakah ada beda antara iman dan Islam? Syaikh Shalih Fauzan Hafizhahullâh mengatakan, agama Islam mempunyai tiga tingkatan. Pertama, islam, kemudian (kedua) yang lebih tinggi dari islam yaitu iman dan tingkatan ketiga yang paling tinggi yaitu ihsan.
Masuknya manusia ke dalam jenjang iman – atau masuknya iman ke dalam diri manusia – barulah ia akan berbicara dan melaksanakan puasa wajib. Karena ya itu tadi ..hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa..
Si remaja tadi – bersama banyak orang Islam yang makan siang di warung dan restoran – belum mendapat hidayah berupa “iman” dari Allah SWT. Mengapa tidak atau belum dikasi hidayah? Tentu banyak sebabnya – baik akibat kekinian mau pun masa lalu – dan semua itu merupakan rahasia Allah SWT.
Dalam kitab dikisahkan, ada orang rajin puasa, shalat, berzikir, baca Al-Quran dan banyak amalan lainnya, tapi ibadahnya tidak dicatat malaikat. Ini hanya akibat ia tidak memperhatikan tetangganya yang kesusahan dan kelaparan.
Manusia jenis itu menganggap dirinya sudah beriman, padahal di mata Allah SWT berbeda dengan pandangan manusia.
Jadi puasa merupakan “rahasia” Allah SWT. Ia mengatakan, “Puasa manusia adalah antara Aku dan dia. Aku yang menerimanya langsung dan Aku langsung yang memberikan hadiahnya.”
Wollohu aklam bissowab.
(***)
ciampea, 19042022