MIMBAR-RAKYAT.Com (Surabaya) – Lebih dari 50 pekerja media massa di Surabaya, Jawa Timur, dinyatakan positif mengidap Covid-19, akhir pekan lalu. Dua karyawan TVRI juga meninggal dunia setelah mengalami gejala klinis terpapar virus corona.
Pejabat pemerintahan dan perusahaan media dituding bertanggung jawab atas kluster di kalangan jurnalis. Tapi bisakah fenomena ini dihentikan?
Walau tidak seluruh pekerja media yang positif Covid-19 di Surabaya merupakan jurnalis, perhelatan jumlah pers oleh pejabat pemerintahan dituding turut memicu penularan virus corona.
Menurut Miftah Faridl, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, konferensi pers tatap muka antara pejabat negara dan komunitas wartawan kerap melanggar protokol kesehatan.
Miftah berpendapat, ketidakpatuhan pejabat pemerintahan saat mengumpulkan banyak orang dalam satu lokasi dan waktu yang sama, apalagi tanpa prinsip jaga jarak, merupakan ironi.
Apalagi, kata dia, acara jumpa wartawan itu disiarkan ke masyarakat.
“Kami beberapa kali menyurati pemerintah Surabaya dan Jawa Timur soal ketidakpatuhan mereka pada protokol saat peliputan,” kata Miftah saat dihubungi via telepon.
“Setiap hari banyak sekali acara seremonial yang dilakukan pejabat, mengundang banyak orang. Ini tidak adil.”
“Mereka merazia orang-orang di warung, memberi hukuman untuk mempermalukan pelanggar di depan umum, tapi setiap hari mereka mempertontonkan hal memalukan, yaitu mengundang kerumunan, termasuk wartawan,” ujar Miftah.
TVRI menutup kantor mereka di Surabaya setelah dua pekerjanya meninggal dan dimakamkan dalam protokol Covid-19.
Sebanyak 54 karyawan Radio Republik Indonesia (RRI) di Surabaya, menurut hasil tes usap yang keluar 11 Juli lalu, dinyatakan positif Covid-19.
Di kota yang sama, tiga karyawan Metro TV juga dipastikan mengidap penyakit tersebut.
Adapun, dua karyawan TVRI di Surabaya meninggal berturut-turut pada 11 dan 12 Juli lalu. Dua orang yang bekerja sebagai staf administrasi dan penyunting video itu dimakamkan dalam protokol Covid-19.
RRI dan TVRI, dua lembaga penyiaran milik negara, menutup kantor mereka di Surabaya selama dua hingga tiga pekan ke depan setelah kasus tersebut.
Akbar Sahidi, Kepala Stasiun TVRI Jawa Timur, menyebut pihaknya sebenarnya sudah menerapkan pencegahan penularan virus corona di antara pekerja mereka.
Prinsip jaga jarak antara jurnalis yang bekerja di lapangan dan yang bertugas di kantor pun, kata Akbar, sudah mereka terapkan.
“Di pos satpam ada penyemprotan disinfektan kendaraan. Tempat cuci tangan tersedia di pintu masuk kantor. Ada juga pemeriksaan suhu dan fasilitas cairan pembersih tangan,” ujar Akbar kepada wartawan di Surabaya, Roni Fauzan, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
“Yang bekerja di lapangan kami beri bekal masker dan vitamin,” imbuhnya.
Penghentian operasional juga dilakukan RRI di Surabaya setelah puluhan pekerja mereka positif Covid-19.
Jumpa pers berisiko sebarkan virus corona
Febriaditya Prajatara, Humas Pemerintah Kota Surabaya, menyebut aktivitas dengan keramaian seperti jumpa pers memang berisiko menjadi momen penyebaran virus corona.
Seremoni itu, kata dia, bakal mereka hindari usai kluster pekerja media muncul.
“Kami berusaha sebisa mungkin mengurangi konferensi pers dan hanya akan mengeluarkan rilis tertulis mengenai suatu informasi,” ujar Febriaditya.
“Kami juga sudah bekali wartawan yang meliput di kantor kami dengan hand sanitizer. Kami imbau mereka agar menjaga protokol kesehatan. Tapi sebagus apapun protokol yang ditetapkan pemerintah, tergantung ke masing-masing orang, seberapa disiplin mereka,” tuturnya.
Saat berita ini disusun, berbagai instansi di banyak kota masih menggelar jumpa wartawan untuk mengumumkan informasi tertentu.
Di Bandung, Jawa Barat, pekan lalu, kelompok wartawan menolak menghadiri konferensi pers di lingkungan Secapa TNI AD, pusat pendidikan calon perwira dengan lebih dari seribu kasus positif Covid-19.
Di Jakarta, kepolisian salah satu institusi yang kerap mengundang jurnalis untuk merilis kasus tertentu. Namun Kombes Yusri Yunus, Juru Bicara Polda Metro Jaya, membantah melakukan pencitraan melalui beragam konferensi pers saat pandemi ini.
Yusri berkata, justru media massa yang mendorong polisi mempublikasikan perkara melalui seremoni konferensi pers.
“Banyak media tetap minta dilayani wawancara tatap muka. Jadi seharusnya tanyakan ke teman-teman media. Saya sih berharap jumpa pers lewat aplikasi Zoom saja,” ujar Yusri saat dihubungi.
Instansi negara mengklaim mengontrol protokol kesehatan pada konferensi pers maupun seremoni yang dihadiri banyak orang.
Bagaimana protokol kesehatan diterapkan di perusahaan media?
Bagaimanapun, potensi penularan virus corona di kalangan pekerja media dianggap tidak hanya bisa terjadi akibat liputan lapangan.
Setiap orang yang datang ke kantor media massa juga berpeluang membawa virus corona, kata Alex Wibisono, Deputy General Manager of News and Current Affairs Kompas TV.
Alex berkata, April lalu seorang dokter dinyatakan positif Covid-19, dua hari setelah menjadi pembicara dalam program televisinya.
Manajemen Kompas TV disebutnya lantas meminta setiap pekerja yang bersentuhan dengan dokter itu untuk menjalani uji usap dan mengisolasi diri selama 14 hari.
Walau hingga kini tak ada karyawan Kompas TV yang positif Covid-19, Alex menyebut mitigasi ketat terus dilakukan untuk mencegah penularan. Salah satunya, kata Alex, mengurangi intensitas peliputan ke lapangan, dari 40 menjadi maksimal 17 tim dalam sehari.
“Mau kondisi seperti apapun, reporter ingin tetap turun ke lapangan. Tapi saya ngerem. Saya pastikan mereka sehat dan dapat istirahat cukup,” ujarnya.
“Mereka harus memastikan diri sehat sebelum ke kantor. Kami berpikir lebih besar, jika mereka ke kantor, mereka akan menulari teman yang lain.”
“Tidak semua peristiwa kami datangi, kami mengukur risikonya. Kalau besar, kami lebih baik menunda atau tidak meliput,” kata Alex.
Jurnalis diminta tidak menghadiri acara yang didatangi banyak orang, terutama jika perhelatan itu tidak berkaitan dengan kepentingan publik.
Belum ada kajian yang mencatat data pekerja media di seluruh Indonesia yang terpapar Covid-19. Berbagai kalangan menilai peran pers krusial selama pandemi ini, terutama soal edukasi publik dan pencari fakta.
Namun Persatuan Wartawan Indonesia mengingatkan agar jurnalis terus menerapkan protokol kesehatan, terutama menghindari seremoni yang tak vital bagi kepentingan masyarakat. (B/d)