Wednesday, April 02, 2025
Home > Berita > Putu Wijaya mencari harmoni dalam Peace

Putu Wijaya mencari harmoni dalam Peace

Pementasan Peace karya dan sutradara Putu Wijaya di TIM, Rabu malam. Pentas ini dilakukan Teater Mandiri. (arl)

MIMBAR-RAKYAT.com (Jakarta) – Pementasan Peace karya dan sutradara Putu Wijaya di Graha Bhakti Budaya, TIM, Rabu malam, berlangsung mulus disaksikan penonton yang nyaris memenuhi gedung, sedangkan alur cerita tentang situasi kekinian menyebabkan suasana mencekam dan sesekali pecah tepuk tangan.

Sastrawan kondang yang lahir di Bali 11 April 1944 itu, masih ikut bermain dengan duduk di kursi roda, dan setelah pertunjukan hampir dua jam itu usai, para penonton menyerbu ke atas panggung, untuk bertanya dan foto bersama dengan para pemain dan tentu saja dengan Putu Wijaya.

Masyarakat kelihatannya mendambakan tontonan yang “menuntun nurani” sosial, sehingga tiket seharaga Rp100.000,- dan Rp75.000,- nyaris habis dan hanya beberapa baris tempat duduk yang terlihat kosong.

Penampilan para pemain Teater Mandiri intens sejak awal hingga akhir. Monolog pada awal dan di ujung pertunjukan dengan nada sosial kekinian terasa menggugah, penuh dengan ucapan dan kalimat yang bersumber dari konflik internal dan eksternal, menyinggung suasa yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat sehari-hari.

“Banyak sekali masalah yang muncul di tengah kehidupan masyarakat sekarang ini.  Intensitasnya amat mengkhawatirkan,” kata Putu Wijaya kepada mimbar-rakyat.com saat ditanya apa pesan pertunjukan itu.

“Kita tentu tidak mencari siapa salah dan siapa yang benar.  Dinamika ini ada dimana-mana dan dalam bentuk apa saja. Tapi seharusnya ada harmoni dan ini perlu diusahakan. Karena harmoni menuntun ke arah persatuan dan  perdamaian,” kata Putu Wijaya, yang sudah berusia 75 tahun, tetapi suaranya masih jelas dan lantang.

Peace merupakan tontonan tiga bagian yang merefleksikan  kondisi sosial di negara ini saat ini. Pertama menunjukkan adanya perlakuan tak adil terhadap kaum perempuan di masyarakat luas, sehingga amat diperlukan adanya keseimbangan.

“Keseimbangan diperlukan agar kehidupan berjalan harmonis, dengan cara memberikan ruang dan kesempatan yang lebih pantas para perempuan sesuai kemampuannya, bukan berdasarkan jenis kelaminnya,” demikian dijelaskan dalam buku panduan.

Pada bagian kedua, ada masalah dilematis antara upaya menegakkan keadilan jangka panjang dan berliku, dengan berbagai trik dan taktik strategi terlalu nylimet yang mungkin bisa mendatangkan salah faham.

Ada tuntunan praktis masyarakat yang tak sabar lagi menuntut keadilan konkret dengan segera, meski apa pun risikonya. “Ini disebabkan karena mereka sudah terlalu sering ditipu, dibohongi dan dikorbankan,” tertulis pada sinopsis Peace.

Pada bagian ketiga, pementasan bercerita tentang betapa bahayanya kalau berbagai persoalan atau konflik yang kompleks diselesaikan secara kekerasan.

“Perang dengan dalih untuk menjaga atau mengejar perdamaian tidak akan membawa perdamaian. Dalama tidak bisa dicapai dengan perang. Damai hanya bisa dicapai dengan kompak bersatu dalam dan dengan damai,” tertera dalam sinopsis.

Tema pertunjukan Peace dengan “kemelut sosial” mencari harmoni, terejawentahkan lewat kekuatan watak beberapa pemain yang diberi kepercayaan untuk menampilkan dialog panjang (Jais dan Taksu), serta permainan tata cahayanya.

Peace oleh Teater Mandiri karya dan sutradara Putu Wijaya. (arl)

Inkonsistensi pemikian manusia secara massal, ditunjukkan menjelang akhir cerita, dengan menyuguhkan teaterikal naskah Aduh karya Putu Wijaya, dimana sekelompok orang saling berbicara dan berkomentar satu sama lain, ketika menyaksikan ada orang sakit tergeletak di hadapan mereka.

Tontonan menarik yang disuguhkan Teater Mandiri, berlangsung hanya satu malam (Rabu, 25/9-2019) di TIM,  padahal banyak anggota masyarakat yang ingin menyaksikan tapi belum kebagian tiket.  “Saya ingin menonton sekali lagi kalau masih berlangsung,” kata seorang penonton.

Putu Wijaya dan A.R. Loebis dari mimbar-rakyat.com. (arl)

Penampilan anggota teater pimpinan Putu Wijaya itu, diperkuat Jais Darga dan Taksu Wijaya – yang bermonolog amat bagus pada bagian tertentu cerita – didukung juga oleh Putu Wijaya, Dewi Pramunawati, Ari Sumitro, Uliel El Nama, Chan Rukoyah, Enriko Imron, Penny Moehaji, Agung, Acong, Cahya, Cok Ryan Hutagaol dan Elvis Tiqoalu.

Sedangkan Ramdhan Gelge dan Julung dengan bagus memainkan pernah mereka di bidang tata suara (music) dan tata pencahayaan (lighting) dan Gandung Bondowoso sebagai manajer panggung.  (arl)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru