Wednesday, April 02, 2025
Home > Cerita > Runtuhnya Harapan, Cerpen Djunaedi Tjunti Agus

Runtuhnya Harapan, Cerpen Djunaedi Tjunti Agus

Ilustrasi: Foto Reuters/Al Jazeera

Ilustrasi: Foto Reuters/Al Jazeera

Runtuhnya Harapan

Cerpen: Djunaedi Tjunti Agus

“Saya sekarang tidak memiliki pemasukan sama sekali. Gak ada gaji, uang pensiunpun mandeg.”
Entah untuk keberapa kalinya saya menerima keluhan senada. Cerita sedih, mengenaskan, silih berganti datang, masuk ke WhatsApp di telpon genggam saya.

“Bang, sejak kantor kita tutup saya betul-betul kelabakan. Untuk makan kami, biaya sekolah anak-anak, saya mengais-ngais ke sana ke mari. Kalo ada pekerjaan, apa saja, ajak saya Bang. Tolong kami….”
Saya benar-benar merasa sedih, miris, membaca pesa-pesan yang masuk ke handphone akhir-akhir ini.

“Jangan lupakan saya pak. Meski bukan tanggungjawab bapak, tetapi saya sangat berharap bapak memikirkan nasib saya.
Nasib kami sepeninggal bapak amburadul,” tulis seorang rekan lainnya lewat pesan singkat.

Sejak kantor kami, persisnya bekas kantor tempat saya bekerja, tutup atau berhenti beroperasi, banyak mantan karyawan yang mendadak kehilangan pemasukan. Gaji tak lagi dibayar, bahkan setahun terakhir menjelang berhenti beroperasi, gaji karyawan tak lagi lancar. Hanya dibayar Rp500 ribu tiap bulan dari Rp2,5 juta – Rp12 juta seharusnya dibayarkan kepada masing-masing karyawan.

Siapa yang bertanggung jawab juga tidak jelas. Sebuah partai politik yang merupakan pemegang saham terbesar terkesan tak peduli. Tokoh-tokoh politik partai itu acuh bebek, tak ada yang berusaha menjelaskan apakah hak karyawan atau mantan karyawan akan dibayar atau tidak.

Perusahaan jasa itu sejak November tahun lalu berhenti beroperasi. Semua macet total. Utang kepada mantan karyawan yang sebelumnya dicicil sejak itu tidak lagi dibayar, nasib karyawan tidak lagi jelas. Beberapa orang karyawan bidang usaha–yang masih kena jatah piket, masuk kantor bergiliran, menanti mana tahu ada klien yang bayar tunggakan—juga tanpa bayaran.

Saya coba bertanya kepada salah satu petinggi di perusahaan itu. Jawabannnya tak tuntas, dia hanya bilang masih menunggu kabar. Seorang sahabat yang sebelumnya sering bertukar kabar dengan saya, tiba-tiba tidak bisa dihubungi. Sejumlah teman menyebutkan, kawan tersebut akhir-akhir ini memang tidak mau menjawab telpon. Mungkin bosan ditanya terus soal nasib kantor.

Beberapa hari terakhir ada kabar kantor akan beroperasi lagi. Pemimpin akan diganti, baik kepala bagian, manejer, hingga direktur bidang usaha dan operasional. Seorang tokoh partai dikabarkan akan mengucurkan dana cukup besar. Karyawan akan diciutkan, kena rasionalisasi. Tapi setelah berjalan terhitung pekan, bahkan bulan, rumor itu tak kunjung jadi kenyataan.

Grup di WhatsApp, dimana sejumlah karyawan bergabung, tak pernah sepi. Ungkapan kesedihan, kekecewaan, pertanyaan, dan harapan, silih berganti muncul. Ada satu dua yang coba sok tegar, menyatakan apa yang terjadi adalah hukum alam. Tapi ketika ketemu langsung, dia menumpahkan kekecewaan dan kekesalan. Bahkan memaki-maki pihak yang dinilainya tidak bertanggungjawab.

“Bung. Saya tak menyangka musibah ini akan menimpa diri saya. Mendekati pensiun mendadak kehilangan pekerjaan. Belanja dapur kami sekarang tergantung anak-anak,” tulis seorang rekan senior lewat layanan pesan singkat atau sms.

“Saya sekarang merasakan bagaimana pahitnya gak punya duit. Untung anak-anak membantu kami dengan mengirim uang pada istri saya. Tapi ketika saya coba minta uang kepada istri saya lansung diceramahi. Benar-benar pahit,” tulisnya lagi.

Saya hanya bisa membalas sms dengan ucapan sabar dan sabar.
“Itu cobaan. Sering-seringlah berdoa, minta pada Allah, mana tahu kesulitan cepat teratasi,” balas saya sok bijak.
***
Belasan tahun sudah berlalu. Kematian perusahaan jasa yang sebelumnya didukung sebuah partai hanya tinggal kenangan. Gedung bekas tempat berkantornya perusahaan itu pun juga sudah runtuh. Seperti runtuhnya harapan banyak mantan karyawan.

Partai yang merupakan pemegang saham terbesar pun terancam bubar, dalam kondisi megap-megap, ditinggalkan banyak kadernya. Orang-orang partai itu yang tadinya berkantong tebal kini pun sudah pada bangkrut.

Tapi tak ada lagi yang merengek-rengek. Eks karyawan yang sempat kesulitan, sebagian besar telah berhasil mengatasi masalah masing-masing. Ada juga diantara mereka telah berpulang ke alam baqa, disaat mengalami kesulitan, sengsara karena tidak bertanggung jawabnya perusahaan tempat mereka bekerja.

Seorang anggota partai yang juga mantan anggota Dewan membuka jalan bagi sejumlah teman-teman, membantu dan memodali perusahaan baru, untuk memperkerjakan mereka. Hasilnya di luar dugaan, perusahaan itu maju pesat. Para mantan karyawan dari perusahaan yang telah bangkrut itu kini bangkit.

“Tumbangnya perusahaan jasa tempat kita bekerja dulu benar-benar menjadi pelajaran berharga bagi saya. Saya tak menyangka para politikus hanya bisa mengumbar janji, tapi tak mau berbuat saat perusahaan yang dimodali parpol tempat mereka berkiprah bangkrut,” ujar seorang kawan.

“Orang politik itu ternyata hanya mementingkan diri sendiri. Benar kata orang, politikus hanya bicara kepentingan. Mereka hanya berteman dengan orang yang memiliki kepentingan sama. Tapi menjadi musuh bila kepentingannya berbeda,” katanya lagi.

“Lalu bagaimana dengan bos sekaligus pemodal perusahaan kita ini. Dia kan dulunya juga orang partai, mantan anggota Dewan?,” kata saya.

“Nah, yang ini lain. Dia tidak mencari kekayaan di politik dan di DPR. Dia paham agama. Nyatanya ketika bos-bos partai tak tergerak membantu perusahaan yang bangkrut dulu, dia justru mendirikan perusahaan baru untuk menampung kita-kita semua,” jawabnya.

“Karena itu jangan percayai orang partai,” katanya lagi.
***
Kehadiran perusahaan baru, untuk menampung karyawan dari perusahaan milik salah satu parpol yang kehilangan pekerjaan, ternyata ikut menguntungkan saya. Saya sudah pensiun dari perusahaan sebelumnya, namun ikut ditarik ke perusahaan yang baru didirikan. Bahkan saya dipercaya menempati posisi strategis, salah satu manejer.

Sebelumnya saya telah beberapa kali diajak bergabung oleh teman atau kenalan, namun saya nggak srek. Seorang teman yang punya modal berkeinginan mendirikan portal berita ekonomi. Saya sempat ikut-ikutan dalam beberapa pertemuan, tapi karena saya lihat dalam rencana pendirian perusahaan itu terjadi kelompok-kelompokan, grup-grupan, akhirnya saya mundur. Dari pada nanti terlibat dalam persaingan tidak sehat lebih baik tidak ikut-ikutan sama sekali.

Di masa tua, seperti sekarang, saya ingin enjoy-enjoy saja. Bekerja boleh, tetapi jangan stress. Itulah yang saya lakukan sekarang. Bahkan pergi pulang dari rumah ke kantor saya tak mau menggunakan kendaraan pribadi, seperti dulu saya lakukan. Saya menggunakan kendaraan umum, commuter line, transjakarta, atau bus umum lainnya. Sekali-sekali naik ojek, mobil sewa, atau taksi.

Banyak pengalaman baru saya alami saat naik transportasi publik. Penumpangnya banyak yang sibuk dengan handphone masing-masing, ber-WhatsApp ria, Twitter, facebook-an, dan medsos lainnya, atau mengisi teka-teki atau kotak-kotak di buku TTS dengan angka-angka atau huruf di tengah sempitnya commuter line. Tak sedikit pula yang pura-pura tidur, karena di depannya berdiri orang tua (manula) atau ibu-ibu hamil.

Herannya lagi banyak diantara penumpang angkutan khusus itu tidak tau aturan di dalam transportasi umum. Ada suami istri yang seenaknya makan (roti, makanan ringan) saat duduk di bus atau dalam commuter line, di tengah ramainya penumpang yang gelayutan di hadapannya. Ada pula yang minum sambil berdiri. Duh, apa mereka tidak membaca ada pengumuman di kaca bus transjkarta atau di dalam gerbong commuter line yang melarang siapapun makan minum dalam kereta, bus, dan larangan-larangsan lainnya.

Yang lebih parah adalah bila naik bus regular, baik ber-AC maupun non-AC. Selain kegiatan penumpang juga beragam, ternyata gangguan di angkutan tipe ini sangat banyak. Tidak hanya pedagang asongan yang naik turun silih berganti menjajakan dagangan, tetapi ada juga pengamen yang kadang meminta dengan setengah mengancam, menggertak penumpang, satu dua ada juga peminta sumbangan, peminta-minta. Benar-benar tidak nyaman. Kesalnya lagi ada penumpang yang merokok seenaknya, bahkan juga sang sopir.

Kenapa angkutan tersebut tidak bisa dibersihkan dari pengganggu, sepertinya banyak orang mempertanyakan hal sama. Kenapa kesemrawutan yang pernah terjadi di kereta api (KA) Jabodetabek bisa diatasi, pada angkutan umum regular tidak? Sepertinya gubernur, walikota, dan pejabat lainnya, termasuk menteri hingga kepala dinas perhubungan/angkutan perlu memprioritaskan kenyamanan transportasi tersebut.

Turun dari angkutan gangguan lain juga harus dialui, deretan pedagang di jembatan penyeberangan. Jika satu dua gak masalah, kadang pedagang kaki lima memenuhi jembatan penyeberangan, dan ditambah dengan para pengemis yang menadahkan tangan atau menyodorkan kaleng atau alat penampung lainnya.
***
Berbeda dengan hari-hari biasanya, pagi ini perjalanan saya benar-benar nyaman, taka da gangguan. Kereta commuter line yang saya naiki tak seperti biasanya tidak disesaki penumpang. Tak ada yang berdiri, penumpang pas bangku. Perjalanan pun lancar, tidak terjadi hambatan sama sekali. Kereta yang biasa sering tertahan menjelang memasuki stasiun karena menunggu kereta lain melintas, kali ini tak terjadi, termasuk menjelang masuk Stasiun Manggarai.

Penumpang di gerbong tempat saya berada, semuanya juga terlihat segar. Seorang gadis yang duduk persis berseberangan dengan saya terlihat senyum-senyum. Tak satupun penumpang yang sibuk dengan handphone. Beberapa membaca buku. Saya ingat ketika naik kereta di Jepang, dimana penumpangnya sibuk membaca. Pantas mereka pintar-pintar.

Setiba di kantor suasana juga berubah seratus delapan puluh derajat. Meja kerja saya tertata rapi, dua gelas minuman—kopi dan air putih—sudah tersedia. Karyawan lainnya sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Yang mengejutkan, kasir perusahaan menemui saya dan menyodorkan amplop, setelah saya menandatangani tanda terima Rp18.200.000.

“Ini bonus pertama sejak perusahaan kita berdiri pak,” katanya. Saya hanya tersenyum.
Masa sulit telah berlalu. Teman-teman yang sebelumnya sering menghubungi saya, minta bantuan, perhatian, kini sudah mampu mengatasi kesulitan masing-masing, termasuk yang bergabung dengan perusahaan tempat saya bekerja.

Paceklik telah berlalu, tak ada lagi yang mengalami kesulitan untuk memenuhi keperluan dapur keluarga, uang sekolah anak-anak, atau kebutuhan-kebutuhan lainnya. Semua sudah teratasi. Senyum selalu menghiasi wajah mereka.

Pintu kamar kerja saya ada yang mengetuk. Setelah saya persilakan masuk pintu lalu terkuak. Tiba-tiba muncul seraut wajah, wajah yang tadi saya lihat di kereta api yang selalu dihiasi senyum.
“Anda siapa?,” tanya saya.

“Saya sekretaris bapak. Mulai sekarang saya akan melayani semua kebutuhan bapak,” katanya sambil tersenyum. Senyum yang membuat saya berdegub, seperti tadi di kereta api.

Dia menjulurkan tangan, tiba-tiba tangannya menyentuh gelas. Air pun tumpah, saya kaget, dan terbangun.
Oh, rupanya saya sedang bermimpi. Mimpi indah, yang jauh dari kenyataan.***

Bekasi, Februari 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru