Wednesday, April 02, 2025
Home > Cerita > Satu Hari Dalam Kehidupan Reporter Rudy

Satu Hari Dalam Kehidupan Reporter Rudy

Rudy masih merasakan pegal dan ngantuk ketika bangun pagi itu. Setelah mandi dia menuju meja makan kecil yang menyatu dengan dapur. Rita istrinya baru selesai mencuci baju, menggendong putri  mereka yang baru berusia 3 tahun, Siska.

“Sarapan dulu, Pa. Nanti masuk angin lho,” kata istrinya.
“Iya, aku pakai sepatu dulu,” balas Rudy.
Setelah menyiapkan tas, helm, meletakkan di bangku dekat pintu, Rudy berjalan ke arah dapur, tempat istrinya  berdiri sambil sedikit mengayun-ayun badannya. Mungkin agar Siska dapat tidur.

“Acaranya di mana?”
“Wah, jauh. Dekat Harmoni, mana pasti macet deh. Mudah-mudahan  aku tidak terlambat..” kata Rudy melirik jamnya. Sudah hampir pukul 08.00 padahal  seminar itu diadakan 09.00. Mana cukup setengah jam, pikir Rudy. Mereka tinggal di sebuah perumahan sederhana di Pamulang.

“Siska bagaimana, Ma. Sudah agak baikan, kan?”
“Rewelnya sudah berkurang, tapi demamnya masih..”
“Jangan lupa ke Puskesmas ya. Kalau di sana, pemeriksaan dan obat paling kena Rp 50.000. Kalau rumah sakit Sehat Medika bisa sampai Rp100.000, bisa bangkrut kita,” pesan Rudy. “Mama masih pegang uang kan?”
“Ada sih, tapi uang belanja sudah terpakai..”
“Apa boleh buat. Nanti kita berhemat. Gajian masih dua minggu lagi..:

Setelah mengecup kening istrinya, mencium pipi putrinya yang tidur, Rudy segera bergerak ke pintu untuk menstarter sepeda motornya. Dia harus memacu agak cepat agar tidak terlambat. Rudy berdoa agar tidak mendapat halangan di jalan, karena kadang ketika terburu-buru, justra ada saja hambatan yang muncul tiba-tiba. Seb ab di kepalanya masih terngiang betul pesan Pimpinan Redaksinya, Pak Tardjo, yang mengatakan,”Wartawan harus datang minimal lima menit sebelum acara dimulai.” Hal yang benar adanya dan selama ini terbukti membantu dia bekerja dengan baik.

Sewaktu tiba di gedung berlantai tujuh itu acara belum dimulai, meski peserta umumnya sudah datang. Setelah mengisi daftar hadir, dia mempelajari buku acara. Dia bertanya narasumber yang telah hadir. Panitia lalu menunjuk  pembicara yang kelihatan sedang berbincang dengan peserta sambil menikmati secangkir teh dan makanan kecil.

Rudy mendatangi, memperkenalkan diri. Dia menyerahkan kartu nama, dan meminta kartu nama si nara sumber. Lalu dia permisi dan mendatangi pembicara lainnya dan bertukar kartu nama. Tak lama kemudian Rudy duduk di bangku khusus wartawan yang sudah disediakan. Dia membaca makalah yang ada dalam map plastik yang dia peroleh dari panitia. Rudy merasa ada hal yang menarik dari makalah DR Gayus Barus tentang solusi transportasi kota yang aman, murah, dan berwawasan lingkungan. Begitu pula makalah Putri Ayu MSc yang menyoroti peran wanita dalam menanamkan disiplin berlalu lintas.

Ketika seminar berlangsung, Rudy memberi catatan, menandai pendapat yang mungkin bisa dikutip untuk menjadi berita. Dan hal yang dianggap penting, dia tanya lebih lanjut seiring berakhirnya seminar sehabis makan siang. Akhirnya Rudy merasa puas, karena dia mendapatkan perspektif yang menarik untuk ditulis di korannya terbitan besok pagi.  

“Pak Rudy, maaf ini ada transport dari kami,” ujar seorang panitia yang mengejarnya ketika Rudy berjalan ke luar pintu ruang auditorium.
“Wah, maaf mbak.. Terima kasih atas kebaikannya. Peraturan kantor melarang saya menerima apapun dalam peliputan,” kata Rudy sambil menolak sodoran amplop putih.
“Lho ini kan sekedar transpor, Pak,” kata wanita itu bingung karena yang lain tadi bersedia menerima.
“Terima kasih. Kalau mbak ingin kita tetap berhubungan baik, nanti-nanti mbak harus paham bahwa wartawan tidak boleh diberi imbalan dalam meliput. Ini kewajiban kami. Kami digaji untuk mencari dan membuat berita. Maaf ya,” katanya sambil bergegas.  

Wanita itu masih terkesima karena amat jarang menemukan wartawan seperti itu ketika mengadakan acara. Malah kadang ada yang belum mau pulang bila belum menerima uang transportasi.

“Saya yang minta maaf, Pak. Sekali lagi mohon dimaafkan atas ketidak-pahaman saya,” katanya dengan terbata-bata.

Dari acara itu, Rudy masih harus pergi ke kantor walikota untuk mengecek kegiatan hari itu, karena itu termasuk tanggungjawab dia meski tidak harus muncul tiap hari. Di ruang humas tidak ada orang. Dia lalu bertanya ke petugas yang berjaga di sana.

“Pak Walikota hari ini menemani Gubernur jadi acara rapat kordinasi dengan Suku Dinas Perhubungan tidak jadi dihadirinya,” kata Pak Ujang yang mengatur acara Walikota.
“Nanti kalau ada apa-apa SMS saya ya, Pak Ujang,” ujar Rudy.
“Beres boss,” kata Pak Ujang. “Tapi belum merokok nih dari pagi..”
“Nih, ada recehan,” kata Rudy sambil menyelipkan uang Rp5.000 ke tangan Pak Ujang yang kerapkali member informasi mengenai kegiatan di kantor itu dan juga inside story tentang hal-hal yang bersifat rahasia dan gossip perkantoran. “Nanti sore saya telpon ya.”

Sampai di kantor Rudy segera menemui Mas Robert, wakil redakturnya. Dia menceritakan hasil seminar dan angle berita yang hendak dia buat.
“Kira-kira sudah cukup seperti itu, Mas Robert?”
“Angle-nya sudah bagus. Tapi kamu tambahkan wawancara dengan Ir Situmorang, dosen transportasi yang disertasinya juga menyinggung hal ini. Mungkin dia dapat memberi gambaran bagaimana ibukota negara tetangga memecahkan persoalan untuk masalah yang sama,” kata Mas Robert.
“Baik, Mas Robert.”
“Oh iya, kalau bisa juga tambahkan tabel laju pertumbuhan kendaraan dibandingkan dengan tambahan jalan yang dibangun dalam lima tahun terakhir. Kayaknya saya pernah baca di Majalah DKI, coba deh cari di perpustakaan.”
“Iya, saya kerjakan.”
“Jangan lebih dari pukul 17.00 sudah selesai ya. Saya ada tugas untuk kamu..”
Rudy tahu dia harus segera ke perpustakaan sekaligus mencari bahan tambahan melalui internet agar beritanya bisa lengkap. Hanya dengan berita yang jelas duduk persoalannya, lengkap datanya, luas perspektifnya, yang bisa memuaskan pembaca.
Setelah membaca, membuat catatan, membolak-balik notes, melihat coretan di makalah, akhirnya Rudy bisa menyelesaikan beritanya dalam waktu sekitar satu jam. Dia baru sadar sejak datang ke kantor, perutnya sama sekali belum terisi. Hanya air putih yang ada di meja..
“Saya sudah kirim ke basket Editor, Mas Robert,” kata Rudy. “Saya permisi mau makan sebentar..”
“Belum makan kamu?” Rudy mengangguk mendengar pertanyaan atasannya.
“Wah, bisa kena sakit maag kamu. Nih, ada satu kotak nasi KFC yang tadi saya pesan karena melihat kamu terburu-buru,” kata Mas Robert sambil menyodorkan kotak makanan. Ketika dipegang, kotak itu masih terasa hangat.
“Terima kasih,” katanya lalu kembali ke meja.
Saat membuka kotak, yang di dalamnya terdapat satu potong ayam goreng, kentang, sambal, yang sungguh menggiurkan, tiba-tiba Rudy ingat anaknya tersayang.

“Bagaimana Siska, Ma. Tadi sudah ke dokter?”
“Dia sedang tidur. Demamnya sudah hilang, tadi makan siang dia juga nggak rewel. Bagaimana tadi, terlambat?”

“Nggak sih. Lalu lintas tidak begitu ramai. Ok deh aku makan dulu ya. Nanti mungkin sekitar jam 21.00 baru pulang.”

Rudy senang karena beritanya praktis mulus. Mas Robert memuji kelengkapan beritanya dan juga sudut pandang yang dia ambil dari seminar itu.

Sebelum pulang dia mengambil tugas yang harus dilakukannya besok. Rudy merasa lega karena dia telah melalui satu hari yang menyenangkan meski melelahkan: membuat berita bagus, menjaga martabat dan etika profesionalnya, dan mendapat makan siang gratis dari atasannya yang meski cerewet memberi tugas, tapi bisa membuatnya mendapat pengetahuan baru, kemampuan yang terus meningkat. Betapa menyenangkan kalau setiap hari begini.
(Hendry Ch Bangun)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru