Mimbar-Rakyat.com (Jakarta) – Awalnya, Sean Gelael mengaku masih belum menyadari apa yang terjadi sehari setelah kecelakaan yang menimpa dirinya dan Ketua IMI Bambang Soesatyo (Bamsoet) pada SS2 Kejurnas Sprint Rally di Meikarta, Bekasi, Sabtu (27/11).
Namun setelah membongkar habis mobilnya, lalu membuka data telemetri, plus memutar ulang semua video yang ada, dia baru bisa mengambil kesimpulan apa yang sebenarnya terjadi.
Pertama soal mobil. Setelah diperiksa memang ada beberapa bagian yang rusak, tapi rollbar di kabin mobil sama sekali tidak rusak, bahkan tak satu pun yang patah. Mesin juga masih bagus. Bagian-bagian dari kendaraan ini sudah dipereteli dan kelihatan hampir semuanya dalam keadaan utuh, seperti disaksikan beberapa media, Minggu malam, di kediaman Sean Gelael.
“Tapi kerusakan yang ada adalah karena dampak dari tabrakan, bukan sebelum tabrakan. Artinya, sebelum insiden mobil dalam kondisi fine, baik-baik saja,” ujar Ricardo Gelael, ayah Sean.
Kedua, soal telemetri. “Jujur, sebelum buka telemetri saya menyangka saya melaju lebih cepat dari sebelumnya, tapi ternyata tidak. Pada saat shakedown hari Jumat yang kering saya melaju 110 km/jam di tempat kecelakaan. Lalu pada SS1 karena becek setelah semalaman hujan saya mengurangi kecepatan dengan melaju 107 km/j. Dan pada SS2 yang mulai mengering kecepatan saya 109 km/j. Kesimpulannya, kecepatan saya kurang lebih sama,” kata Sean.
Kemudian video dibedah dan didapatlah fakta bahwa ada satu kondisi berbeda di area gravel (tanah liat). Ada gundukan yang memang sama sebelumnya, tapi setelah itu ada gundukan tanah tambahan yang menjadi penyebab mobil Citroen C3 R5 itu terbang, terguling, dan terdampar secara spektakuler. Jarak antara dua gundukan tanah itu sangat dekat, sehingga mobil bisa terlempar dan crash dengan hebat.
“Nah, gundukan tambahan itulah yang saya tidak mendapat laporan keberadaannya. Karena selama SS1 dari video yang kami buka ulang terlihat tidak ada,” ujar Sean.
Gundukan tanah tambahan itu bisa jadi karena proses alamiah, misalnya karena tanah yang mengering. “Tapi semestinya ada yang memberitahu ke semua peserta bahwa lintasan telah berubah,” ujar Sean, sambil menjelaskan dia sama sekali tak mendapat pemberitahuan dimaksud.
Kalau di reli, semua terkait kondisi lintasan itu adalah tugas “00” atau “0” Car, alias mobil pengaman dan pemantau lintasan dan lokasi lomba, yang keluar sebelum peserta peserta pertama melaju. Kalau di F1 dan MotoGP itu tugasnya Safety Car. Pengendara mobil-mobil tersebut lalu melaporkan kepada Clerk of The Course (pimpinan lomba) dan Race Director.
Ricardo juga menjelaskan bahwa apa yang dia dan Team Jagonya Ayam lakukan adalah apa yang biasanya dilakukan oleh FIA setelah kecelakaan terjadi. Dalam skala dan ruang lingkup kecil, mereka melakukan tiga hal: mengecek data mobil, mengecek apakah ada driver error, dan mengecek lintasan.
“Kami dibantu engineer dari Citroen Eropa yang memang kami hadirkan untuk Reli Meikarta. Makanya, kami bisa dengan cepat mengetahui penyebab kecelakaan,” ujar Ricardo.
Nuno Pinto, driving coach Sean, yang juga mantan pebalap reli dan ikut Reli Meikarta, menjelaskan bahwa dari sisi mobil semua tidak ada yang salah.
“Di Meikarta panjang lintasan 5,3 km di mana 5 km adalah tarmac (aspal) dan sisanya gravel. Jadi wajar kalau setelan mobilnya adalah untuk tarmac. Dan dengan setelan seperti itu jika ada perubahan lintasan di area gravel tentu bisa memengaruhi apa pun, termasuk kecelakaan. Dan pada pagi hari sebelum SS1 kami keliling naik motor melihat lintasan dan semua normal,” ujarnya.
Daniel Silva, engineer Citroen, menyatakan bahwa mobil yang dikendarai Sean sudah memenuhi standard reli dunia. “Sean sebenarnya tidak melaju terlalu kencang, dalam taraf wajar karena statusnya ekshibisi. Pembelajarannya adalah, lintasan memang harus dipastikan aman dan layak,” ujarnya.
Di ajang reli dunia, unsur safety memang jadi prioritas FIA menyusul kecelakaan hebat Robert Kubica saat mengendarai Skoda pada Reli Andora 2011. Mobil, pebalap, dan lintasan harus benar-benar dipastikan layak.
“Menjadi pebalap itu besar risikonya. Saya berkali-kali mengalami tabrakan dan saya bahkan kehilangan teman baik akibat sebuah insiden di trek. Semoga dengan kejadian ini kita di Indonesia bisa belajar banyak tentang bagaimana menciptakan kondisi yang aman, apakah saat balapan atau berkendara biasa di jalan raya,” ungkap Sean. (arl)