Suasana sepi membuat pikiran menerawang, ingat apa yang pernah dilakukan. Ingat usia, terbayang hari akhir. Sudah tibakah saatnya?
Langkah-langkah kaki di lorong terdengar jelas, tiba-tiba pintu terbuka. Seorang dokter dengan pakaian anticovid, memakai masker dan tameng wajah, pun masuk bersama beberapa orang pendampingnya.
Setelah memastikan nama saya sebagai pasien, dokter spesialis itu pun bertanya: “Apakah masih terasa nyeri? Batuk? Badan merasa panas?”
Saya menjawab apa adanya. Sayapun lancar bercerita riwayat penyakit seperti diminta sang dokter, dimana pernah dirawat, apa menurut saya penyebab penyakit, dan banyak lainnya.
Sesaat dokter melakukan pemeriksaan dengan stetoskop. Itu merupakan kelanjutan pemeriksaan pagi ini, setelah sebelumnya seorang perawat melakukan pengecekan tekanan darah, tensi, suhu, kadar oksigen, dan lainnya, kemudian kehadiran seorang dokter muda yang melakukan pemeriksaan.
Ini bukan kali pertama saya dirawat di rumah sakit. Sudah tak terhitung. Kali ini terasa lebih sulit. Bukan karena penyakitnya, tetapi karena aturannya. Karena banyaknya pasien yang datang harus antre, bahkan banyak yang ditolak.
Dokter piket atau dokter jaga pun terkesan judes. “Ruangan penuh. Kalau masih mau silakan tunggu di kursi itu. Belum bisa diperiksa.” Dalam waktu hampir bersamaan dia menolak beberapa pasien.
Saya termasuk beruntung, karena sekitar satu jam kemudian mendapat tempat tidur di ruang UGD itu. Disebut beruntung, karena sebelum dipersilakan menempati tempat tidur pasien, saya oleh seorang perawat sudah dilakukan rekam jantung, numpang di sebuah kamar praktik dokter. Pemeriksaan lain dilakukan saat duduk di kursi.
Sehat itu ternyata memang mahal. Perlu perjuangan, dana, dan kesabaran. Saya menyesal kenapa dulu merokok, ngebut naik sepeda motor tanpa helm dan jacket, begadang, hidup tak karuan.
Saat ini seorang diri di ruangan rawat inap yang dingin ber-AC. Kadang ditemani seorang anak, karena aturan protokol kesehatan hanya membolehkan pasien hanya ditunggui satu orang, itupun harus lolos antigen. Pasien nggak boleh dibesuk siapapun. Namun saya masih kerap dihubungi atau menghubungi istri dan anak-anak yang tak bisa menemani saya di rumah sakit.
Namun bukan berarti saya kesepian. Tiap sebentar pintu diketuk. Dokter, perawat, tenaga kebersihan, pengantar makan, masuk silih berganti. Bahkan sampai larut malam, mengambil sample darah, pemeriksaan. Bertolak belakang dengan pasien Covid-19 yang ditolak, dirawat ditenda, yang umumnya serta kesulitan.
Tapi ingat, sakit itu tidak enak. Sakit apapun. Sehat itu mahal, ini saya sadari sejak kerap keluar masuk rumah sakit beberapa tahun terakhir. Menyesal, kenapa dulu merokok, kenapa dulu slebor tak menjaga tubuh.
Sudah dekatkah saatnya? Ketika teman, kenalan satu persatu pergi di era pandemi sekarang. Saya mengingat-ingat dosa apa yang pernah dilakukan. Ambulans yang tiap sebentar lalu-lalang membawa mayat atau orang sakit dengan sirine meraung-raung makin membuat nyali ciut. Apalagi masjid-masjid silih berganti mengabarkan kematian.
Ingin rasanya menghubungi semua teman, kenalan, sahabat, siapapun, untuk minta maaf jika pernah disakiti, tersinggung, dikecewakan. Maafkan saya. Bukakan pintu maaf bagi saya, semoga perjalanan saya lancar dan aman.
Saya masih takut mati, meski hal itu akan datang pada waktunya. Saya merasa belum siap. Sholat, puasa, membayar zakat, naik haji, yang telah saya lakukan rasanya belum cukup. Saya ingin Allah memberi kesempatan, menyempurnakan amal ibadah, menerima taubat saya.
Apalagi mati sangat menyakitkan. Rasulullah pun konon merasakan sakit saat sakratul maut. Bagaimana dengan saya yang bukan siapa-siapa. Saya selalu berdoa semoga Allah menerima taubat hamba, menunjukkan jalan yang lurus. Tidak lagi turun naik seperti hasil tes gula darah yang baru saja saya jalani.
Allahu Akbar. Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Semoga saya merupakan salah satu umatNya yang dikasihi dan disayangi.
Bila tiba saatnya saya berharap sebagai orang yang beriman. Aaamiiin ya Allah.
***
14 Juli 2021