“Sejak ada Korona ia tidak mau menciumku,” kata Sahri.
Kami yang duduk di pos jaga itu diam dan saling pandang. Mata kini selalu menjadi juru bicara, karena mulut sudah tertutup pelindung alias masker. Walau kata dan kalimat masih dapat jelas didengar, tetapi tatapan mata kini semakin memiliki nuansa dan makna tersendiri.
“Siapa yang tidak mau mencium,” kata Budin di sela semilir angin malam. Dalam beberapa bulan ini, ada jadwal jaga di wilayah kediaman kami. Waktunya dari habis Isya hingga menjelang pergantian waktu, tengah malam.
Sahri tak langsung menjawab. Ia memperbaiki letak maskernya. Sesekali penutup hidung dan mulut itu diturunkannya, bila ia ingin menghisap benda racun yang menyala di antara jari telunjuk dan jari tengahnya.
“Emang siapa yang tidak mau mencium kamu,” Ikin mengulang pertanyaan Budin, setelah meletakkan pantat gelas berisi kopi yang baru dihirupnya.
“Istri aku lah,” sergah Sahri. Kami kembali saling lempar pandang. Tak lama kemudian tawa pun pecah. Tawa Miskun amat khas, paling panjang di antara tawa kami, dan selalu diakhiri dengan suara “hehehe”.
“Emang dulu ia mau menciummu?,” kugoda dia, tapi ia pasti tidak melihat mulutku yang tersenyum.
“Aku serius nih. Perubahan tidak drastis. Ini terjadi dalam beberapa minggu ini. Ia bahkan di rumah pun pakai masker. Terkadang tidur pun pakai masker.”
“Ah, kurasa itu bagus. Lagi ngapain sih cium-ciuman jaman sekarang ini,” komentar Budin. Sebenarnya tadi kami bicara ngalor-ngidul. Sudah hampir satu jam kami duduk di pos itu. Ketika jedah suara, alias lengang tidak ada yang ngomong, Sahri tiba-tiba berujar “Sejak ada Korona ia tidak mau menciumku.”
Kalimat pernyataan ini tentu mengagetkan, setidaknya bagiku. Ada perubahan tindakan. Ada perubahan tingkah laku dan sikap. Ada kekhawatiran, ada kecemasan, ada ketakutan. Ada tekanan. Kok istri Sahri yang baru sekitar setahun dinikahinya – bahkan belum punya anak – tidak berani mencium dan dicium suaminya.
“Aku hanya merasa aneh,” jawab Sahri, “Sebelumnya ia selalu menciumku bila aku pulang kerja dan bila akan berangkat ke kantor.”
Kami semua kini terdiam.
“Kalau istrimu tidak mau menciummu, ya kamu lah yang mencium dia,” kilah Nuri alias Abau, yang wajahnya agak sipit kendati ia asli asli putera Tasik. Angin mulai menderu menembus pepohonan, seakan menerobos celah pecahan tembok pos, membuat buyar asap yang keluar dari mulut Nuri. Sesekali suara binatang malam terdengar, di antaranya jangkrik dan kodok, bersahutan.
“Aku terbiasa mendapatkan kecupan dari dia. Aku menginginkan dan mendambakannya. Ia melakukan itu sejak kami nikah. Kini, parahnya, ia pun tidak mau lagi kucium,” kata Sahri sembari manarik nafas dalam sementara pandangannya seolah menembus malam.
Masri yang sedari tadi lebih banyak mendengar pembicaraan teman-temannya akhirnya angkat bicara, setelah lebih dahulu menggeser pantatnya sehingga lebih rileks.
“Wabah ini kini semakin menjadi-jadi. Dalam beberapa hari ini di Jakarta, lebih dari seribu orang yang terjangkit virus itu. Ngeri kali. Baru saja ada berita yang menyatakan ketua KPU positif terjangkit. Ada pula berita menyebutkan 11 staf Anies terpapar,” kata Masri.
“Amat memprihatinkan. Satu demi satu orang berjatuhan. Dalam WA ku infonya belakangan ini banyak tentang orang meninggal. Terpapar. Ambulans antre ke Wisma Atlet. Ruangan penuh. ICU penuh. Tapi untunglah banyak pula yang sehat dan keluar dari penampungan isolasi itu,” Masri membuat suasana semakin sepi, mencekam. Masing-masing melayang dengan pikirannya sendiri.
Ah, kembali saja ke masalah Sahri tadi. Ia masih termasuk pengantin baru. Tapi istrinya sepertinya mengalami stress bahkan traumatis. Kalau dicium dan mencium saja ia sudah tidak mau, maaf, apalagi perbuatan yang lain. Sahri pun tak menjelaskan – tak ada pula yang bertanya – ciuman di bagian mana yang tidak dimaui istrinya itu.
Ini pertanyaan wajar, apalagi mereka masih muda. Serangan wabah ini ternyata tidak saja melalui mulut, mata dan hidung, kemudian menembus ke paru-paru. Tetapi juga sudah masuk ke jaringan hati, emosi, karakter, tingkat laku, melalui media sosial, media arus utama, serta informasi dari mulut ke mulut.
Ah, Sahri, jangan-jangan bukan hanya kau seorang yang begitu. Semua orang takut mati. Semua orang takut kepada pandemi itu. Semua orang khawatir bertemu, jangankan dengan teman, bahkan dengan saudara sendiri pun. Bahkan ada yang menjadi frigid. Ada pula temanku, bila anak cucunya berkunjung ke rumahnya, hanya melambai-lambai saja di luar pagar, sembari bicara jarak jauh.
Aduhai zaman normal baru. Ini sebenarnya zaman edan. Kalau pengantin baru saja sudah enggan berciuman dan mengenakan masker hingga ke ranjang, berarti mereka pun tidur dengan punggung bertolak belakang. Hilang kemesraan, entah kemana perginya dekapan hangat di malam hari. Kasihan betul si Sahri.
Lamunanku pecah, karena Masri menyambung bicaranya.
“Kukira ini semua terjadi akibat orang-orang tidak disiplin. Tidak mau pake masker. Kalau pun pake ditaruh di bawah mulut atau di leher. Dimana-mana tempat cuci tangan sudah berkurang dan kalau pun ada sudah jarang orang cuci tangan,” kata pedagang keliling dari pulau seberang itu.
“Ya entah kenapa orang malas pakai masker, padahal tinggal dicantolkan ke telinga. Cuci tangan pun bisa dikantongi sekarang. Banyak cairan cuci tangan dijual di toko. Ngeri bangat sekarang ini,” timpal Abaw. Suaranya seperti mendesah. Pembicaraan kami semakin serius. Seorang ibu datang mengantar beberapa gelas kopi dan sepiring singkong rebus, masih mengepul panas. Kelihatannya kami akan tambah meriah.
Tapi ternyata tidak. Ikin meminta agar kami tidak berlama-lama di pos itu. “Kita tidak usah lama-lama di sini, sesuai waktu jadwal aja,” kata Ikin, ”Berlama-lama di sini pun tak bagus, apalagi maskernya buka tutup kayak jalan ke puncak. Sama aja bohong, tanpa masker.”
“Tapi yang lebih ngeri lagi, wabah ini dipolitisasi. Untuk menyerang lawan. Ada juga yang untuk mencari keuntungan, alias berdagang,” Miskun masih sempat mengeluarkan pendapatnya. Dari tadi dia diam, lebih banyak mengangguk-anggukkan kepala. Sesekali tangannya mengibas nyamuk, yang mulai datang mengincar darah manusia.
Sahri beberapa kali menarik nafas panjang. Pernyataannya tentang istrinya yang tak mau menciumnya – dan tidak mau menerima ciumannya-, sepertinya bukan untuk didiskusikan. Karena tidak ada solusi dan tidak mungkin dibuat alternatifnya.
Kami berpisah meninggalkan pos jaga itu, yang menjadi saksi bisu betapa gemuruhnya perasaan kami di tengah wabah yang berkeliaran ini.
Untunglah tadi tidak ada yang mengatakan ia pun mengalami hal sama dengan Sahri. Berarti anak istri kami masih mau menerima ciuman dari kami.
oOo
Ciampea, 17092020