Thursday, December 12, 2024
Home > Berita > Serangan Balik Anwar Usman, Deret Perkara MK Konflik Bernuansa Kepentingan

Serangan Balik Anwar Usman, Deret Perkara MK Konflik Bernuansa Kepentingan

Anwar Usman.

Mimbar-Rakyat.com (Jakarta) – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman melancarkan ‘serangan balik’ setelah Majelis Kehormatan MK (MKMK) memutuskan dirinya melanggar etik berat konflik kepentingan terkait putusan syarat usia capres-cawapres.

Atas pelanggaran etik berat itu, MKMK mencopot Anwar dari jabatan Ketua MK. Dalam jumpa pers di Gedung MK pada Rabu (8/11) atau sehari setelah putusan MKMK dibacakan, Anwar menegaskan tetap mematuhi asas dan norma yang berlaku di dalam memutus Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai batas usia cawapres itu.

Dalam kesempatan itu, Anwar juga menjelaskan soal isu konflik kepentingan atau conflict of interest yang dia sebut telah ada sejak kepemimpinan Jimly Asshiddiqie atau Ketua pertama MK pada dekade 2000an silam hingga kini.

“Jadi sejak zaman Prof Jimly mulai tahun 2003 sudah ada pengertian dan penjelasan mengenai conflict of interest,” ujar Anwar dalam konferensi pers tersebut.

Berikut rincian perkara-perkara ada unsur konflik kepentingan yang diungkap Anwar Usman.

Era Jimly Asshiddiqie

– Putusan MK Nomor 004/PUU-I/2003
Perkara ini adalah permohonan uji materiil terkait syarat menjadi Hakim Agung yang diatur pada Pasal 7 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

MK menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima. Hakim Konstitusi Laica Marzuki, Hakim Konstitusi Achmad Roestandi, dan Hakim Konstitusi HAS Natabaya menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) terhadap putusan tersebut.

– Putusan MK Nomor 066/PUU-II/2004
Perkara ini diajukan untuk menguji Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri. Permohonan ini terkait pembatasan UU yang dapat diuji MK serta pembentukan kamar dagang dan industri untuk usaha kecil menengah.

MK mengabulkan permohonan tersebut untuk sebagian. MK menyatakan Pasal 50 UU 24/2003 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, MK menolak permohonan pemohon terkait Pasal 4 UU 1/1987.

– Putusan MK Nomor 5/PUU-IV/2006
Perkara ini diajukan oleh 31 Hakim Agung pada Mahkamah Agung (MA). Permohonan ini merupakan permohonan uji materiil terkait pengawasan dan usul penjatuhan sanksi oleh Komisi Yudisial (KY) sebagaimana diatur pada sejumlah pasal pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

MK menyatakan permohonan dikabulkan untuk sebagian.

Era Mahfud MD

– Putusan MK Nomor 48/PUU-IX/2011
Perkara ini adalah permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.

Permohonan ini terkait penyalah guna narkotika pada UU Narkotika, dan pembatasan pada putusan MK atas UU MK.

MK menyatakan mengabulkan sebagian permohonan tersebut, yakni dengan menyatakan Pasal 45A dan Pasal 57 ayat (2a) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

– Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011
Perkara ini diajukan delapan pemohon, dua di antaranya adalah Saldi Isra dan Arief Hidayat yang saat itu masih berprofesi sebagai dosen. Permohonan ini merupakan permohonan uji materiil terkait pembatasan tugas dan kewenangan MK dari hasil revisi UU MK, tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK, hingga mengenai MKMK.

Perkara ini meminta MK untuk menguji sejumlah pasal pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.

MK mengabulkan permohonan untuk sebagian. Hakim Konstitusi Harjono menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) terhadap putusan tersebut.

Era Hamdan Zoelva

– Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013
Perkara ini adalah permohonan uji materiil terkait MK bertugas menangani sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepada daerah sebagaimana diatur pada UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

MK menyatakan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya, yakni dengan menyatakan Pasal 236C UU 12/2008 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Selain itu, amar putusan juga menyatakan MK berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah selama belum ada UU yang mengatur hal tersebut.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, dan Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) terhadap putusan tersebut.

– Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014
Perkara ini adalah permohonan uji Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK Menjadi Undang-undang.

MK mengabulkan permohonan tersebut untuk seluruhnya, yakni dengan menyatakan UU 4/2014 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, UU 24/2003 dinyatakan berlaku kembali sebagaimana sebelum diubah dengan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013.

Era Arief Hidayat

– Putusan MK Nomor 53/PUU-XIV/2016
Perkara ini merupakan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Pemohonan ini terkait syarat menjadi Hakim Agung, masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK, hingga masa jabatan Hakim Konstitusi.
MK mengabulkan permohonan untuk sebagian, yakni permohonan yang terkait dengan UU MA.

Selain itu, MK menyatakan tidak dapat menerima permohonan terkait UU MK karena pemohon dinilai tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan.

Era Anwar Usman

– Putusan Nomor 96/PUU-XVIII/2020
Perkara ini adalah permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Pemohonan ini terkait jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK dan masa tugas Hakim MK.

MK menyatakan mengabulkan permohonan untuk sebagian, yakni dengan menyatakan Pasal 87 huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Terhadap putusan tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Manahan MP Sitompul menyatakan alasan berbeda (concurring opinion) dan pendapat berbeda (dissenting opinion), Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyatakan dissenting opinion, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyatakan concurring opinion, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyatakan concurring opinion dan dissenting opinion, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh menyatakan concurring opinion, dan Hakim Konstitusi Anwar Usman menyatakan dissenting opinion.

“Selanjutnya Putusan Perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Dalam putusan tersebut, terhadap pengujian Pasal 87 a karena norma tersebut menyangkut jabatan Ketua dan Wakil Ketua, dan ketika itu saya adalah Ketua MK, meskipun menyangkut persoalan diri saya langsung, namun saya tetap melakukan dissenting opinion, termasuk kepentingan langsung Prof Saldi Isra dalam Pasal 87 b terkait dengan usia yang belum memenuhi syarat,” kata Anwar saat konferensi pers pada Rabu (8/11) lalu.

– Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023
Putusan ini menjadi kontroversial jelang Pilpres 2024. Permohonan uji materi UU Pemilu terkait syarat minimal usia capres-cawapres ini diajukan seorang mahasiswa di Solo, Almas Tsaqibirru.

MK mengabulkan sebagian putusan itu dengan menyatakan syarat capres-cawapres minimal berusia 40 tahun atau sedang/sudah menjabat kepala daerah hasil pemilu.

Putusan itu kemudian menjadi pemulus jalan bagi putra sulung Presiden RI Joko Widodo, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi peserta Pilpres 2024. Gibran yang masih berusia 36 itu menjadi bakal cawapres mendampingi bakal capres Prabowo Subianto.

Putusan itu kemudian dianggap kontroversial dan penuh konflik kepentingan, karena Gibran adalah keponakan dari Anwar setelah menikahi adik dari Presiden Jokowi.

Atas hal tersebut setidaknya ada 21 laporan etik dilayangkan ke MK yang kemudian putusannya dibacakan MKMK pada 7 November lalu.

Meskipun Anwar dinyatakan langgar etik berat, MKMK tak dapat mengubah putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut. Sejumlah pihak pun, termasuk dua pakar hukum tata negara yakni Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, melayangkan gugatan untuk mengoreksi putusan tersebut ke MK. (ds/sumber CNNIndonesia.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru