“Maaf Dit, tapi gue nggak bisa menerima perasaan lo.” ucapnya ketika kami duduk bersama
di ruang makan. “Perasaan gue ke lo saat ini, hanya bisa sayang sebagai teman dan nggak
bisa lebih.” lanjutnya lagi.
Ucapannya mengingatkanku pada ucapanku sekitar setahun lalu, ketika aku menolak
perasaannya. Kali ini, aku yang harus menerima perkataan itu kembali kepadaku.
***
Tantrina. Jiwanya yang begitu ceria, energinya yang seperti tidak pernah habis, entah
mengapa membuat tenagaku habis. Seperti ada dementor yang sedang menyerap energi
kebahagiaanku, jika aku berada di dekatnya. Mulutnya yang terkadang tidak ada filter,
membuatku perasaanku terkadang tercampur aduk dan puncak kemarahanku adalah akhir
tahun kemarin ketika Tantrina melewati batas. Aku mendiamkannya, dan memarahinya
untuk memuaskan egoku.
Namun Tuhan berencana lain. Di bulan ketiga tahun ini, aku terserang penyakit yang
mengharuskanku dirawat di rumah sakit. Tantrina lah yang bergerak dengan cepat dan gesit
membantuku. Mulai dari mencari rumah sakit, merawatku, menemaniku hingga mengurusi
administrasi rumah sakit. Sebuah hal yang bisa dilakukan oleh keluargaku, namun Ibu
sedang sakit juga sehingga dia tidak bisa setotal Tantrina.
***
Dua minggu lalu
“Kenapa Dit?” ucapnya ketika lewat di depan TV dan melihatku kerepotan memegang
sendok. “Mau gue suapin?” lanjutnya lagi.
“Iya Tan, boleh.”
Tantrina mulai menyuapiku. Ada sedikit perasaan seperti kurang ajar dalam diriku,
memintanya mengurangi makanan yang sudah diambil di sendok yang ingin ia berikan
padaku, “Gue capek ngunyahnya, Tan.” Tantrina hanya tertawa mendengar ucapanku.
Tidak ada sakit hati tampak dari wajahnya. Ia kemudian mengurangi porsi di sendok
tersebut, lalu menyuapiku lagi
Mata kami bertemu, dan ia tersenyum senang. “Gue seneng lo makannya banyak Dit. Kalau
begini, lo bisa pulih dengan cepat.” Mendengar senyum dan ucapan positifnya, membuatku
sontak menyunggingkan senyuman di wajahku. Sesuatu yang mungkin sudah jarang
kuberikan untuk Tantrina.
Aku mulai menggaruk-garuk kepala dan mulai melap wajahku dengan tissue. Tantrina yang
melihatnya langsung bertanya padaku, “Mau keramas dan cuci muka nggak Dit?”
“Mau Tan.. tapi tangan gue diinfus gini, gimana?” tanyaku bingung.
“Lo berdiri sambil nunduk gitu. Nanti gue yang cuciin kepala sama muka lo. Ketombe lo
udah banyak berjatuhan gitu.” ucapnya sambil mengambil bubur dan lauk untuk menyuapiku
lagi.
“Tan, makasih ya..” ucapku lirih. Ada rasa tidak enak yang menderu hatiku. Perbuatanku
yang tidak baik terhadap Tantrina hanya karena sikapnya yang tidak bisa aku
konfrontasikan, padahal ia sudah sangat baik terhadapku. Hidupku banyak berubah
semenjak mengenal dirinya. Tantrina kembali tersenyum lagi. Kali ini aku bisa melihat
kelelahan di wajahnya. Trina, aku rasa, aku mulai menyimpan rasa.
***
Dua minggu setelah aku menyampaikan perasaanku kepada Trina, semakin ada jarak di
antara kita. Aku mencoba lebih bersahabat dan peduli dengannya, namun ia hanya
tersenyum dan kebaikanku terpental begitu saja. Ia selalu menolak kebaikanku, membuatku
bingung sehingga aku memutuskan untuk bertemu dengan Kevin dan Valen yang notabene
juga mengenal Trina. Kami bertiga pun melakukan panggilan video dengan Cecilia, sahabat
Trina yang berada di New York.
“Sil, Trina nggak ada ngomong apa-apa sama lo?” ucapku kepada Cecil. Ada kegusaran di
wajahnya. Valen dan Kevin pun begitu. Seperti ada rahasia yang disembunyikan oleh
mereka bertiga mengenai Trina.
***
“Kenapa? Soal lo nembak dia? Ngapain sih Dit, kan taun lalu lo udah nolak dia. Lo kayak orang tolol yang jilat ludah lo sendiri deh.” ucap Cecil menghujam jantungku. Yep, benar adanya. “Yah, sekarang lo pikirin aja perasaan Trina. Apa aja yang udah lo lakuin ke dia, seberapa jahatnya lo sama dia dari tahun lalu. Trina itu terlalu baik buat lo yang brengsek,
Dit.” ucap Cecil tanpa ada rasa bersalah sama sekali.
Ada keheningan di antara kami berempat, sampai Valen akhirnya angkat bicara. “Trina sayang sama lo Dit, tapi dia nggak bisa sama lo karena dia udah sama Timothy.”
“SEJAK KAPAN?” ucapku terkejut. Trina yang begitu memperhatikanku dan terlihat
menyayangiku seperti kekasihnya, ternyata sudah memiliki orang lain yang ia cintai di
tempat ia menempuh pendidikan magisternya.
“Semenjak awal Maret kemarin, Dit. Dua minggu dia pacaran sama Timmy, lo masuk rumah
sakit dan dia murni bantuin lo karena disuruh sama direktur kita.” ucap Valen sambil
menunduk.
“Trina baik selama perawatan lo, karena dia udah anggap lo seperti kakaknya
sendiri.”
“Ya, lo telat Dit.” tambah Cecil. Ada keterkejutan dan kesedihan yang tercampur aduk di
dalam perasaanku. “Timothy nggak sekedar pacarin Trina. Awal Agustus nanti, Trina
lamaran Dit.”
“Trina nggak pernah cerita soal dia sama Timothy sama lo, karena jarak yang lo buat sama
dia begitu jelas. Garis yang lo buat ketika lo marah sama dia, benar-benar membuat dia
nggak ingin cerita ataupun menganggap lo lebih dari sekedar teman kerja, Dit.”
***
“Bersamamu yang kumau namun kenyataannya tak sejalan. Tuhan bila masih ku diberi
kesempatan, izinkan aku untuk mencintanya. Namun bila waktuku telah habis dengannya,
biar cinta hidup sekali ini saja…” Glenn Fredly – Sekali Ini Saja.
Trina, maaf. Aku menyesal.***