Ia baru saja turun dari masjid. Binar mukanya menyiratkan keteduhan di pagi dhuha itu. Peci putih belum ia tanggalkan diatas baju dinasnya.
Sekelebat Avanza liar menyambar membuat pak Auzar terkapar. Segerombol
teroris melakukan penyerangan ke Mapolda Riau Rabu (16/5) pukul 09.00 WIB hingga menyebabkan satu anggota polisi meninggal, serta dua personel lainnya dan seorang jurnalis terluka.
Pak Auzar selalu memakai jubah putih, diluar dinasnya Senyumnya lepas, orangnya ramah. Ia memang guru ngaji. Dilingkungan Polda Riau suaranya dikenal sebagai muadzin.
Semoga Allah membalas segala amalnya.
Terorisme adalah sejarah panjang dari kekuatan jahat yang anti kemanusiaan.
Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut,melalui kantor berira Amaq.
Fenomena terorisme ada di semua bangsa, agama dan ideologi. Bahkan kini, masih ada fenomena abad Kolonial di Timur Tengah sana, berupa penjajahan zionis Israel terhadap Palestina yang telah memakan korban ratusan ribu rakyat Palestina dan pengungsi permanen sebesar hampir 2 juta orang.
Pernah dunia mengenal Hannibal Lecter, sosok kanibal jeji ciptaan Thomas Harris dalam seri novelnya yang mengerikan itu. Dunia juga mencatat Adolf Hitler, seorang orator ulung pembunuh tanpa ampun, atau Stalin seorang fanatik keji, Pol Pot Si Tukang jagal dari Kamboja.
Banyak figur sejarah penyebar teror yang kejam dan beringas.
Terakhir kita mengenal Abu Bakar Al Baghdadi, pemimpin ISIS, yang membantai sesama Muslim di Irak dan Suriah.
Terorisme tidak mengenal batasan medan dan area damai. Juga tak mengenal aturan perang apalgi syariat agama. Musuh adalah setiap orang yang tidak sealiran.
Ekstremisme sebagai akar terorisne ada di setiap bentuk ideologi, aliran pemikiran, maupun agama.
Banyak ilmuwan masih yakin bahwa terorisme adalah “a legitimate form of resistance against an occupaying powers”. Kaum teroris membalas secara acak terhadap anak-anak yang menjadi korban atas keganasan occupaying powers (negara-negara penjajah) seperti Amerika, Syiah dan Israel.
Mereka menggunakan legitimasi agama dengan mencomot ayat-ayat Al Quran dan hadist secara lepas konteks yang menyuruh membalas secara setimpal atas anak-anak yang jadi korban di Suriah, Irak, Palestina dan negeri-negeri muslim lainnya.
Masuk akalkah jika untuk membalas pembunuhan terhadap anak-anak di Palestina, Suriah, Irak atau Afghanistan dengan cara membunuh anak kandung sendiri dalam aksi “jihad” dalam kancah perang?
Indonesia adalah termasuk kancah perang yang tak terdeklarasikan.
Pesan kematiannya pun tak pernah tersampaikan secara jelas.
Adakah yang mampu menjawab teologi kematian melalui aksi bunuh diri ini?Dengan membawa anak kandung sendiri.
Ledakan dahsyat di tiga gereja di Surabaya 13/5 yang menewaskan 12 jemaat. Ledakan bom bunuh diri keluarga ini menyertakan anak-anak mereka dalam aksi serangan berdarah. Di Sidoarjo satu keluarga juga meledakkan diri di sebuah rusun yang mereka tinggali.
Berikutnya serangan terjadi di Poltabes Surabaya pada tanggal 14/5 oleh satu keluarga dan satu anaknya dengan menggunakan motor. Serangan fatalisme ini didorong oleh faham teologis: jihad untuk menyongsong kehidupan akhirat di surga.
Serangan yang mengajak serta keluarga ini sangat mengherankan semua ulama, ilmuwan, aparat dan orang awam.
Mengapa untuk menuju surga harus dengan menghadirkan neraka bagi anak-anak ?
Kesadaran eskatologis macam apa yang sedang terjadi? Akankah ini bisa berakhir di bumi Indonesia yang diberkahi ini?
Pemerintah terlihat tidak punya jawaban bagaimana harus melawan ajaran kaum Takfiri yang sudah sangat brutal ini.
RUU sudah disiapkan. Sumberdaya sudah dihabiskan untuk program pencegahan dan perlawanan terhadap teror.
Akankah ada jaminan sementara korban terus berjatuhan?
Tidak! Seperti juga tidak ada jaminan korupsi bisa hilang ,meski ada UU Tipikor dan KPK.
Yang perlu dilakukan adalah terus bersitegak (istiqomah) melakukan pencegahan dan perlawanan terhadap terorisme. Baik melalui pengajaran pemahaman yang benar terhadap ajaran agama, maupun penegakan hukum.
Pemerintah dan masyarakat.
Karena bukan kaum takfiri saja pelakunya, tetapi juga pihak pihak yang “menggunakan” dan “memanfaatkan” gerakan takfiri untuk kepentingan politiknya. Siapa mereka?
Pada era Gus Dur, tokoh itu hobi mengungkap yang gelap gelap semacam ini.
Pemerintah musti punya imajinasi dan langkah apapun untuk mengakhiri “operasi ” di bulan yang penuh berkah dan maghfirah ini.
Kalau tidak, sholat dhuha terakhir Iptu Fauzar bukan kejadian terakhir.