Lautan manusia di pelataran Masjidil Haram bertahan hingga larut malam. Pada penghujung Ramadhan 1444 H (2023 M), Kamis (20/4) malam itu, warga seolah menyambut gembira malam takbiran. Sejak magrib disusul buka puasa, sesaknya kerumunan manusia dari berbagai mancanegara sangat terasa.
Kesibukan askar mengalihkan jalur lalu lintas manusia diwarnai suara bising, tidak mengubah keadaan kerumunan manusia yang sulit bergerak.
Terpancar dari wajah mereka gambaran suka ria. Ada sih yang sedih lantaran tubuhnya terhimpit. Bahkan ada yang pingsan kala berebut naik bus menuju Masjidil Haram. Pemandangan makin terlihat atraktif. Pasalnya, pihak otoritas masjid memasang lampu sinar leser di perangkat jam besar.
Para pengunjung mengabadikan momen indah tersebut. Sesekali terdengar orang mengucap takbir. Namun suara itu tidak lama dan tenggelam ditelan suara bising banyaknya manusia di pelataran masjid.
Pemandangan serupa juga nampak di dalam kawasan pertokoan Zamzam Tower. Anak-anak yang disertakan pada perayaan malam takbiran itu bergembira. Ya, gembira karena orang tuanya memberi perhatian dengan membelikan barang baru bagi keperluan sang anak. Pemerintah Arab Saudi menetapkan Lebaran jatuh pada Jumat, 21 April 2023. Pada malam itu tak digelar sholat terawih dan qiyamullail, tapi animo pengunjung ke masjid itu tetap besar. Jemaah dari Afrika dengan segala keterbatasannya dari sisi ekonomi ikut merayakan takbiran di Masjidil Haram.
Di Masjidil Haram Anggota jemaah umrah dari Tanah Air bersiap diri ke Masjidil Haram. Berangkat lebih awal, sekitar pukul dua malam, agar dapat tempat yang nyaman dan persis menghadap Ka’bah. Jalan raya sudah dipenuhi jemaah dari berbagai negara. Mereka berjalan kaki pada malam hari menuju Masjidil Haram. Bus tak dapat bergerak.
Ada dua kegiatan penting di masjid tersebut. Pertama ikut tawaf sunnah, lalu mengisi waktu menjelang sholat subuh sambil berzikir. Itulah sebabnya mengapa para anggota jemaah umrah mengenakan pakaian ihram. Jika tidak, maka askar melarang masuk area tawaf di lantai dasar. Hanya saja, Ihram yang dikenakan pada saat itu tidak sempurna karena memakai pakaian berjahit (celana dalam). Mengenakan pakaian ihram untuk tawaf dekat Ka’bah seperti itu dimaksudkan agar diizinkan petugas (askar) masuk areal tawaf dekat Ka’bah.
Kedua. Usai menunaikan sholat Ied atau Idul Fitri, sesama anggota umrah berlebaran. Bersalaman dan meminta maaf. Ada diantaranya menghubungi anggota keluarga di Tanah melalui telepon genggam. Sementara warga setempat, terlihat sih bersalaman. Tapi tidak seheboh orang Indonesia. Banyak bocah disertakan ke masjid. Utamanya, para gadis mungil yang didandani orangtuanya dengan pakaian baru, menarik dan “wow” menggemaskan.
Mereka berlari mengejar anggota keluarganya lalu memperoleh bingkisan berupa coklat. Penulis sempat menjumpai, petugas kebersihan memberi hadiah berupa permen kepada anak-anak. Padahal, jika dilihat secara fisik, bocah itu nampak rapi, bersih dan keren mengenakan baju baru.
Baru sekali ini bicara orang Indonesia mengalahkan teriakan suara askar yang tengah mengatur jemaah. Seusai sholat Idul Fitri, ada di antara warga Indonesia bicara bersuara keras dan lantang lewat telepon dengan anggota keluarganya. “Pasti orang itu berasal dari Medan,” kata seorang mukimin yang disambut tawa rekannya dari Tanah Air.
Menyaksikan warga Mekkah merayakan hari raya tak seperti di Indonesia. Di sini, warga tak punya kebiasaan saling kunjung ke rumah sesama rekan. Bahkan mendatangi kediaman tetangga pun tak nampak. Warga di kota tersebut lebih banyak mengunjungi orangtua. Kumpul bersama keluarga besar. Dan, memberi hadiah kepada anak-anak berupa permen dan coklat.
Ya, yang pasti tak ada halal bi halal. Jadi, libur nasional selama empat hari lebih banyak dinikmati bersama keluarga,” cerita seorang mukimin. (Edi Supriatna Syafei, wartawan senior)