Setelah sekitar tujuh tahun lalu saya dan tiga puteri saya bertamasya ke Paris, saya berkunjung lagi ke negara Menara Eiffel itu pada awal November 2017.
Pada kunjungan pertama 2010, saya dan anak-anak berkunjung ke kota itu dengan tujuan utama wisata sembari untuk mengamati peradaban Perancis.
Kami menginap di hotel kelas melati di kawasan Gare du Nord, dekat stasiun kereta api, dengan tujuan melancong ke berbagai negara Eropa. Kami tinggal di losmen dengan fasilitas seadanya, tidak dapat sarapan karena tarifnya hanya 40 Euro.
Karena dekat stasiun ya jalan-jalan ke berbagai tujuan selalu naik kereta. Cepat dan murah, meski harus hati-hati karena sering ada kejahatan baik di kawasan stasiun yang menjadi tempat shooting Jason Bourne itu.
Tahun ini karena pergi terkait pekerjaan, rombongan menginap di kawasan Cambronne, tidak begitu jauh dari menara Eiffel. Hotel bintang, dapat sarapan, lorong terang, kamar hotel bersih dan terjaga. Harganya di atas 100 Euro.
Yang menjadi persamaan, hotel yang juga menjadi penginapan delegasi berbagai negara ini, hanya sepelemparan batu ke stasiun, jalan kaki tidak sampai lima menit. Kalau ke tempat sidang jalan kaki sekitar 10 menit, maka jalan ke beberapa DTW (daerah tujuan wisata), saya pilih naik kereta juga.
Nah, beda tahun 2010 dengan 2017, begitu disambut di airport kami sudah diperingati untuk ekstra hati-hati. Copet dan jambret makin ganas. Jangan pernah lepas tas atau barang. Hati-hati dompet. Awas terhadap sekeliling. Disebutkan, dalam sebulan sekitar 100 turis Asia, mayoritas penduduk RRC, jadi korban kejahatan.
Jangan kaget, karena wisatawan negeri tirai bambu itu sekitar 100.000 orang per bulan datang ke Paris. Meskipun saya pernah hampir kecopetan di Eiffel, saya deg-degan juga memikirkan keamanan diri. Ya, waspada sambil berdoa, dan Alhamdulillah sampai kembai ke Jakarta, saya tidak mengalami kejahatan meski pergi kesana-kemari dengan berjalan kaki dan naik kereta.
Stasiun commuter line di Paris semua bersih, tidak beda dengan Jakarta. Yang membedakan mungkin stasiun di sini sudah lama, tua sehingga ada saja yang sedang diperbaiki. Juga tentu, stasiun dipenuh poster: jadwal teater, film baru, aneka iklan, yang enak dipandang mata.
Kalau dulu banyak, kali ini saya tidak menemukan pengemis bermusik atau pemusik yang menyediakan tempat khalayak melemparkan koin sumbangan. Karena juga sudah lama jaringan keretanya, stasiun transit seperti Montparnasse Bienvenue , rumitnya bukan main. Untuk pindah dari satu jalur ke jalur lain, naik turun, dengan panjang bisa mencapai ratusan meter. Mata mesti jeli agar tidak salah arah.
Karena semua umumnya buru-buru, maka langkah kaki juga harus disesuaikan agar tidak dapat mengikuti arus manusia. Atau pilih jalur kanan, jalur lambat, agar orang yang ingin mendahului, bisa menyalip.
Penduduk lokal tampaknya maklum kalau ada turis yang jalan pelahan sehingga mereka “mengalah” dan tidak menggunggu ritme mereka yang tidak tahu soal jalur cepat dan jalur lambat ini.
Tahu diri
Di sini, penduduk “tahu diri” dan begitu pun turis pada umumnya. Saat menunggu kereta, calon penumpang semuanya ambil sikap memberi jalan bagi yang ingin keluar. Garis batas yang dibuat, ditaati, tidak ada yang berdiri di atas garis kuning sehingga proses keluar-masuk penumpang lancar.
Di Jakarta disiplin penumpang KRL sudah hampir menyerupai, meski ada saja yang karena berebut masuk, membuat orang yang ingin ke luar gerbong jadi terhambat.
Di dalam kereta sikap tahu diri juga tampak jelas. Dua bangku lipat di dekat pintu kereta, hampir tidak pernah diduduki jika kereta penuh. Mereka tahu, duduk berarti mengurangi ruang di gerbong, membuat orang yang ingin naik kereta, jadi urung, atau minimal orang lain jadi sulit bergerak.
Sikap mengalah terhadap yang lebih membutuhkan (orang tua), tampak. Di KRL Jakarta meski secara umum sudah ada kesadaran, kadang ada saja yang pura-pura tidur meski duduk di kursi prioritas bagi penumpang disabilitas, lansia, wanita hamil, atau orangtua bersama balita. Mengambil hak orang lain, rupa-rupanya masih menjadi gaya hidup, entah itu berupa ruang atau kesempatan.
Seorang staf kedutaan KBRI Paris mengakana, setiap hari dia berjalan minimal 10.000 langkah alias tiga kilometer sehingga merasa lebih sehat dibanding ketika berada di Tanah Air.
Mungkin kalau trotoar dan udara di Jakarta sama dengan Paris, warga Jabodetabek pun begitu, tapi apa boleh buat ya memang berbeda. Kecuali di beberapa potong jalan, trotoar Jakarta amat sangat tidak ramah bagi pejalan kaki karena diokupasi pedagang atau tempat parkir motor, bahkan tempat meletakkan barang.
Selain nyaman, berjalan kaki menjadi gaya hidup di kota ini karena suasana menyenangkan. Orang tidak pernah salah jalur, umumnya taat pada rambu lalu lintas, dan tahu diri untuk “mengalah” kalau ada yang menyimpang dari aturan tertulis ataupun tidak tertulis.
Tengah malam pun keadaan di sekitar kafe dan restoran sepertinya aman. Bisa jadi di daerah kumuh (slump) tidak senyaman itu, tapi saya pun tidak berani blusukan ke sana.
Hidup bersama orang-orang tahu diri membuat rumitnya persoalan hidup sedikit ringan. Pikiran juga bisa fokus ke hal-hal yang penting. Produktif, karena kita selalu berada dalam kondiri berpikir positif. Di Jakarta, hal kecil saja kadang membuat kita sakit kepala. Di jalan raya kita merasa terteror. Jalan kaki, takut disambar motor, takut pula masuk selokan karena ruangnya sudah dijajah PKL.
Di dalam kereta ada saja yang tidak toleran, mau menang sendiri. Ada banyak alasan untuk sakit kepala, padahal semestinya tidak perlu. Akhirnya, perasaan dan pikiran kita tersandera hal negatif.
Ada yang bilang hilangnya pelajaran budi pekerti, yang mengajarkan sopan-santun, tahu bagaimana bersikap sebagai mahluk sosial di lingkungannya, menjadi penyebab keadaan yang terjadi sekarang.
Orangtua yang sibuk untuk kebutuhan materi, tidak lagi sempat memberi nasehat dan cara hidup yang baik. Apalagi kalau di dalam keluarga tidak ada teladan, maka anak-anak akan menafsirkan sendiri tindakannya, yang amat bergantung pada di mana dan bagaimana dia bergaul, di sekolah atau masyarakat.
Kita merasa taat beragama, punya ideologi Pancasila, tetapi pada kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari sering tidak tahu diri.
Merasa lebih baik, merasa lebih pantas, merasa lebih saleh, merasa lebih pintar, meskipun tidak. Mungkin kita perlu berefleksi. Kalau ingin masyarakat berubah, mari mulai dari diri sendiri.***