MIMBAR-RAKYAT.Com (Surabaya – Warga Tionghoa penghuni Gedung Setan merayakan Imlek dengan sederhana. Saat dikunjungi Sabtu (25/1), tak ada aksi barongsai dan pakaian cheongsam merah khas Imlek.
“Kalau Imlek disini sama seperti perayaan Idul Fitri, anak-anak unjung-unjung (datang ke rumah tetangga) kemudian mereka dapat angpau dari pemilik rumah yang dikunjungi,” ujar Paulus Djijanto, salah satu penghuni Gedung Setan Surabaya, Sabtu (25/1).
Selain acara unjung-unjung ada pula sesi makan bersama. “Ada salah satu warga yang masak khusus buat Imlek kemudian dia undang warga lainnya untuk makan bersama di tempatnya. Kalau makan bersama secara keseluruhan warga sih enggak ada,” ujar generasi kelima penghuni Gedung Setan ini.
Paulus lantas mengungkapkan jika gedung berlantai dua di kawasan Banyu Urip Wetan 1A No. 107 itu dihuni sekitar 55 KK dan mayoritas beragama Nasrani. Perayaan Imlek sendiri bagi warga Gedung Setan merupakan tradisi leluhur.
“Kita merayakan Imlek karena ingin melestarikan tradisi leluhur. Tapi perayaannya sederhana saja,” imbuh Paulus.
Sehari sebelum Imlek, lanjut Paulus, warga setempat melaksanakan kerja bakti.
Bukan tanpa alasan, tradisi bersih-bersih ini memiliki makna tersendiri. Bagi etnis Tionghoa, membersihkan rumah atau lingkungan sekitar rumahm merupakan upaya untuk membuang kesialan dan keburukan yang ada dari tahun sebelumnya. Hal ini juga diyakini dapat mendatangkan keberuntungan.
“Kalau bersih-bersih pas Imleknya justru yang enggak boleh karena bisa mengusir keberuntungan,” tukasnya.
Paulus juga mengungkapkan, Gedung Setan sudah dihuni warga keturunan Tionghoa sejak sebelum kemerdekaan
Oei giok nio (76) misalnya, perempuan kelahiran Jombang ini merupakan warga tertua yang sudah menempati Gedung Setan sejak tahun 1948. Perempuan yang oleh warga setempat biasa disapa Mak Oei ini adalah generasi ketiga dari penghuni Gedung Setan.
“Dulu yang punya gedung ini namanya Sei Tan. Tapi lidah orang Surabaya nyebutnya Setan jadilah gedung ini dikenal dengan nama Gedung Setan,” kisah Mak Oei.
Gedung Setan sebenarnya merupakan gedung bekas Kantor Gubernur Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Jawa Timur yang berdiri sejak tahun 1809. Setelah VOC bangkrut dan meninggalkan Indonesia, gedung ini dimiliki oleh Dokter Teng Sioe Hie.
Dokter Teng Sioe Hie tidak menggunakan gedung tersebut untuk tempat tinggal. Sebab, seiring kepergian VOC, lahan kosong di kanan-kiri gedung dijadikan tempat pemakaman Tionghoa.
Menurut Sutikno Djijanto, Ketua Pengurus ‘Gedung Setan’ saat ini, asal-usul penyebutan ‘Gedung Setan’ bermula dari lokasi gedung yang berada di tengah area pemakaman Tionghoa.
Setelah Indonesia merdeka, tepatnya di tahun 1948, ‘Gedung Setan’ mulai dijadikan tempat pengungsian masyarakat Tionghoa dari pelosok Jawa Timur dan Jawa Tengah. (K/d)