Tikus Got
Cerpen:Djunaedi Tjunti Agus
Matanya masih terpaku ke layar kaca. Nanar, bingung bercampur marah. Namun pikiran entah sudah di mana, menerawang dari satu wajah ke wajah lainnya, dari rumah yang satu ke rumah lainnya, dan dari gedung yang satu ke gedung lain. Bahkan dari satu kota berpindah ke kota lain.
“Aaaahhh!” Dia menggumam, tak jelas apa maksudnya.
Kecuali suara yang ke luar dari pesawat televisi di ruang keluarga, tak ada suara lain di rumah itu. Suara keceriaan dari anak-anak yang dulu pernah meramaikan rumah itu, sudah lama tak terdengar. Anak-anak yang dulu tinggal di rumah ini, telah lama pergi dibawa peruntungan masing-masing. Kini mereka memang bukan anak-anak lagi, tapi telah beranjak dewasa, bahkan ada yang sudah berkeluarga.
Anak tertua, perempuan, berada di kota tersibuk di dunia, New York . Dia mengikuti suaminya yang bekerja di sana . Dua anak lainnya juga tak berada di dalam negeri. Satu, anak kedua lelaki, berada di Tokyo , dan si bungsu, perempuan, sekolah di Sydney.
Rumah besar itu kini lebih banyak hanya dipenuhi benda-benda mati, ketimbang suara-suara canda, percakapan. Kecuali 2 pembantu, yang lebih sering menghindar dari sang majikan karena alasan tak ingin mengganggu dan satu sopir keluarga yang lebih sering ikut berjaga-jaga di pos Satpam, karena sang juragan memang jarang pergi.
Hari-hari sang majikan akhir-akhir lebih banyak di depan televisi, ketimbang pergi ke kantor, ke tempat-tempat pertemuan, seperti dulu selalu terjadi. Terlebih sepekan, bahkan hampir dua pekan terakhir, dia benar-benar betah di rumah. Hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
“Sial. Kenapa saya jadi kambing hitam. Sementara dia enak-enaknya bebas, bahkan memimpin organisasi publik. Selalu bicara bagai tanpa dosa.”
Entah apa dan siapa yang dia maksud. Tangannya terkepal, kemudian tinju tangan kanannya berulang kali dipukul-pukulkan ke telapak tangan kirinya.
“Ah, sial. Benar benar sial. Manusia suci, dermawan…..” Dia kembali menyeracau tak jelas juntrungan.
Bawahannya di kantor, beberapa hari terakhir silih berganti datang. Semua menyatakan keprihatinannya. Meski dia tak sakit, tapi banyak diantara anak buahnya memperlakukannya seolah-olah sedang sakit. Itu tergambar dari apa yang mereka bawa, buah-buahan.
“Saya berterimakasih atas simpati kalian. Tapi…..” Suara deringan telepon memutus kalimat yang hendak meluncur dari mulutnya.
“Ya.., ya. Saya akan lihat,” ujarnya. Lalu gagang telepon ditaruh. Dia bergegas mengambil remote control televisi. Klik, saluran televisi pun berubah. Lalu di layar kaca terlihat salah seorang penegak hukum yang dikerubuti banyak wartawan sedang bicara lantang.
“Ya.., mungkin satu dua hari ini dia akan kita tahan. Bukti-bukti sudah lengkap, dia adalah tersangka utama,” tuturnya di depan sederetan alat perekam yang diacungkan para wartawan.
“Bajigur.., jahanan. Semua sudah keblinger. Yang salah, para koruptor, jusru jadi pahlawan. Yang bekerja jujur justru dijadikan tumbal, dituding sebagai koruptor,” katanya, entah ditujukan kepada siapa.
“Saya ini ternyata koruptor besar. Maling uang negara puluhan triliun. Tapi mana uangnya. Rumah yang saya tempati ini saja adalah rumah dinas. Lalu di mana kekayaan saya, dimana hasil koruptor itu. Kenapa saya dikatakan sebagai tersangka utama.”
Tak hentinya dia bicara. Bawahannya yang berkunjung, lebih banyak diam. Mereka prihatin, karena memang tahu persis bahwa atasannya itu adalah pimpinan yang jujur. Pimpinan yang sangat patuh menjalankan tugas atau tanggung-jawab dari atasannya. Karena kepatuhannya itu pulalah dia kini dikatakan sebagai koruptor besar. Padahal dia tak pernah mengantongi atau menikmati uang triliunan rupiah yang dikatakan telah dimilikinya secara tidak sah.
Memang dia yang menandatangi seluruh pengeluaran dana untuk proyek. Tapi itu atas tugas orang nomor satu di perusahaan pemerintah tempat dia bekerja itu. Dia tak tahu, ternyata biaya suatu proyek itu sudah di mark-up berlipat-lipat, karena setahunya, semua proyek itu sudah melalui berbagai saringan.
“Sulit mencari orang jujur di negeri ini,” katanya.
Suasana kembali sunyi. Anak buahnya yang tadi datang, satu demi satu sudah pamit, pulang.
* * *
“Allahu Akbar, Allahu Akbar..,” adzan maghrib berkumandang dari televisi yang terus nyala sejak pagi. Dia tak berniat mandi. Setelah mengelap tubuh, paha dan kaki, tubuh dan punggung dengan handuk basah, dia langsung mengambil air wudhu. Dan baru saja dia mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, sebagai penutup shalat di senjat itu, sayup-sayup dia mendengar pertengkaran di pintu pagar.
Baru saja hendak berdiri, ingin memastikan apa yang terjadi, tiba-tiba pintu utama rumah yang didiaminya seperti didobrak.
“Angkat tangan! Kami aparat. Kami ditugasi menjemput bapak…,”
Kaget, takut, bercampur aduk jadi satu. Dia tak menyangka akan dijemput secepat ini.
“Mau dibawa ke mana saya?,” katanya.
“Nggak usah tanya-tanya. Pakai celana Anda, kemudian ikut kami,” kata seorang petugas lainnya dengan kasar.
Dia baru terdasar ternyata masih pakai sarung seusai shalat maghrib. Tapi baru hendak beranjak menuju kamar, dia kembali dihardik.
“Anda mau ke mana?,” kata petugas tadi.
Jadilah kemudian dia selalu dikawal. Masuk kamar, ambil celana, kemudian memakainya, itu selalu di bawah tatapan mata galak sang aparat. Saat mengambil tas, tas itu langsung direbut sang petugas.
“Mau apa, mau ngumpetin barang bukti ya!?”
“Masya Allah. Ampunilah hamba Mu ini,” dia berguman.
“Tak usah bawa pakaian ganti. Nanti biar kami minta keluarga Anda yang ngantar.
Ayo, langsung jalan,” kata petugas yang seorang lagi. Dia digiring, bahkan didorong kasar menuju pintu.
“Silakan naik ke mobil tahanan itu,” seorang petugas menunjuk mobil yang semua jendelanya berkerangkeng. Baru saja dia hendak mendekati mobil tahanan, tiba-tiba lampu menyala terang di arahkan padanya. Matanya silau, kemudian beberapa orang maju.
“Jadi, benar bapak yang melakukan mark-up terhadap semua proyek itu!?,” seseorang bertanya.
“Lalu bagaimana dengan bos bapak. Apa benar dia tidak terlibat. Apa benar bapak yang selalu memanfaatkan nama besarnya agar upaya bapak korupsi jadi lancar?”
Rupanya beberapa wartawan sudah menunggu di pintu pagar, entah sejak kapan. Dia tak habis pikir dari mana mereka mengetahui bahwa dirinya akan ditangkap dan ditahan.
Tak satu pun jawaban ke luar dari mulutnya, karena dia memang tidak tahu harus berkata apa.
Kendaraan tahanan mulai beringsut. Wartawan yang terus coba memburunya tampak masih berkerubung. Dalam pikirannya terbayang, beberapa saat lagi tampangnya yang sedang digiring aparat akan muncul di berbagai stasiun televisi. Dia yakin, besok berbagai koran akan menceritakan peristiwa penangkapannya, lengkap dengan tuduhan yang diarahkan pada dirinya.
* * *
Otaknya sepertinya benar-benar sudah kosong. Tapi perasaannya kini benar-benar plong, setelah shalat Jumat tadi dia diperbolehkan aparat menemui anak tertuanya yang sengaja pulang dari New York .
“Kamu tahu Bapak kan? Yakinlah, bapak tidak seperti digambarkan mereka. Tidak seperti diberitakan di berbagai media…,” kemudian dia terdiam beberapa saat. Sunyi. Sesekali dia melirik petugas jaga yang sepertinya mencuri-curi pandang.
“Ya, kalian kan tahu. Kalian bisa sekolah ke luar negeri, itu karena kemampuan otak kalian. Karena kepintaran kalian, semua anak-anak bapak dapat bea siswa. Jadi tak mungkin bapak korupsi. Buat apa?”
Sang anak sepertinya tak ingin menyela. Dia diam, menanti apa lagi gerangan yang hendak dikatakan bapak. Sang petugas jaga tahanan mendehem beberapa kali. Lalu dia larut dengan bacaan yang ada di tangannya.
“Jadi, katakanlah pada adik-adikmu. Bapak tak mungkin mengkhianati ibumu almarhum. Ibumu dulu selalu mengingatkan bapak, hidup itu harus jujur. Tak ada gunanya kaya, mewah, kalau semua itu nantinya akan jadi petaka. Mengantar kita ke neraka….,”
Lama juga bapak dan anak ini bercengkerama. si Bapak heran juga, kenapa dia diberi keleluasaan waktu. Padahal setahu dia, tahanan lain tak diberi waktu selama itu.
“Mungkin karena saya baru kali ini kedatangan tamu,” pikirnya. Padahal, tanpa setahu dia, kelonggaran yang dia dapatkan adalah karena sang petugas jaga sudah “disalami” oleh putrinya. Hal seperti itu sudah dianggap biasa oleh petugas jaga. Dia berprinsip, semua itu uang yang mengatur. Lha kencing saja bayar, kata penjaga itu dalam hati.
Sepeninggal putrinya, dia terlihat makin plong. Wajahnya terlihat cerah, meski hari-hari berikutnya tetap dia lalui dengan berat. Tak jarang dia dibangunkan di pagi buta, ditanya ini itu. Bahkan pernah beberapa kali dia kedatangan tamu misterius, sopan, dan ada pula yang dengan tekanan, mereka membawa tawaran.
“Bapak cukup bayar sekian, bapak bisa menjadi tahanan kota ,” kata seseorang.
Pada lain kesempatan ada pula yang membujuknya untuk memberitahukan nomor rekeningnya tempat menyimpan uang koruptor yang dikatakan triliunan rupiah itu. Tapi semua itu dianggapnya sepi, karena memang dia bukan seorang koruptor.
“Biarkanlah bapak lalui semua ini. Tidak usah ditakutkan,” katanya, ketika putri tertuanya datang lagi, kali ini mohon pamit karena harus kembali ke New York .
Meski akhir-akhir ini tak banyak lagi yang membezuk. Walau tak ada lagi diantara pembantu, satpam rumahnya yang datang, karena mereka sudah kembali ke kampung masing-masing, karena rumah dinas sudah lama kosong, dia tetap tak merisaukan.
“Toh di sini saya juga makan. Di sini saya juga bisa berdoa, bisa shalat,” katanya suatu ketika, ketika bekas sopir pribadinya menanyakan apakah dia tak berupaya mencari pengacara terbaik, agar hukumannya bisa ringan.
Dalam otaknya hanya ada satu yang sering datang, sosok sang bos-yang terkadang dimatanya berubah wujud jadi tikus got-, pejabat publik, yang paling tidak sekali sepekan muncul di televisi, bicara soal pemberantasan korupsi, soal membantu daerah dalam membangun, dan sebagainya.
“Benar-benar pemain sandiwara ulung,” bathinnya selalu bicara setiap mendengar sang tokoh muncul dalam pemberitaan. Sementara dia sendiri, tak habis-habisnya dicecar oleh pertanyaan. Ditanya berbagai masalah, mulai soal dana renovasi kantor sampai pada urusan tender, sumbangan ini itu, sumbangan bencana, bahkan sampai pada urusan yang selama ini benar-benar tak pernah terpikir dalam kepalanya.
Banyak lagi pertanyaan yang dia hadapi hampir setiap hari, yang dia sendiri tak mengerti kenapa semua pertanyaan itu diarahkan padanya. Meski dia pernah menjadi orang sangat dihormati di kantornya, kini dia sudah terbiasa menghadapi dampratan, bentakan.
“Ya.., ternyata Allah memang menyayangi hambanya. Allah ternyata melindungi saya,” katanya ketika mantan sopir pribadinya datang lagi. Mantan sopirnya itu datang mengabarkan bahwa rumah dinas yang selama ini ditempatinya telah luluh lantak diguncang gempa, kemudian ditelan banjir.
“Untung rumah itu kosong. Untung bapak, saya, juga yang lainnya tak di rumah itu. Jika tidak, mungkin kita semua sudah tiada,” kata sang sopir mengabarkan bagaimana porak porandanya rumah dinas itu akibat gempa. Rumah beton yang kokoh itu hancur lebur, tak satupun yang utuh.
“Ternyata Allah bermaksud lain. Dia mengirim saya ke penjara ternyata bermaksud melindungi saya,” katanya.
Dia tak peduli apa yang akan dia lalui selanjutnya. Dia tak berharap suatu waktu mantan bosnya datang dan minta maaf, meski bukan rahasia umum bahwa bosnya itulah sebenarnya yang koruptor besar. Dia puas dengan selembar tikar dan selembar selimut, dengan bantal butut.
“Biarlah Allah yang menentukan. Semoga mantan bos saya itu tak dimakan oleh kekejaman alam….,”
Dia memang tak menginginkan macam-macam. Bahkan dia tak berharap banyak terhadap sidang pengadilan yang akan memutuskan nasibnya. Harapannya hanya satu, semoga anak-anaknya tak pernah dizalimi oleh siapa pun, terlebih oleh orang yang justru pernah dibantu dan dihormatinya.
“Mudah-mudahan koruptor-koruptor itu tak jadi tikus-tikus got benaran,” katanya berguman. Matanya tampak mulai berat, lalu pulas, tidur nyenyak meski hanya beralas tikar.***
Bekasi, Januari 2007
*Diambil dari Buku Kumpulan Cerpen 11 Wartawan atas persetujuan penulis…