mimbar-rakyat.com (Dili, Timor Leste) – Pada hari Sabtu pagi lalu di pusat kota Dili, kota pelabuhan yang ramai dan ibu kota salah satu negara termuda di dunia, Timor Timur ramai anak-anak muda bercengkerama.
Di sana, kini dikebal dengan nama Timor Leste, di sebuah taman pusat, katalog buku yang luas dipajang, termasuk teks-teks sosialis, biografi tentang Marx dan Lenin, buku-buku kunci tentang Timor Timur dan novel. Itu adalah bagian dari perpustakaan komunitas umum yang tersedia untuk dipinjamkan.
Ini adalah perpustakaan luar ruangan Sabtu pagi mingguan, sebuah proyek lokal yang didirikan oleh sekelompok progresif muda yang menyebut diri mereka Movimentu Letras. Didirikan pada tahun 2017, Movimentu Letras bertujuan untuk tidak hanya meningkatkan keterampilan membaca kaum muda, tetapi juga melek politik dan sosial.
Namanya adalah singkatan dari kata-kata Tetun lokal “Lee ba Transformasaun Sosial”, yang berarti, “Gerakan Literasi untuk Transformasi Sosial”. Mereka tidak hanya memegang perpustakaan taman mingguan, tetapi juga menghasilkan pamflet dan mengadakan lokakarya, dan bahkan membangun festival literasi tahunan.
Samu, 33, adalah salah satu koordinator kelompok. Dia mengatakan kepada Al Jazeera: “Movimentu Letras “adalah gerakan untuk mempromosikan literasi dalam masyarakat kita (khususnya} orang muda. Kami berharap mereka dapat memperoleh pengetahuan dan menjadi generasi muda yang kritis {untuk} menganalisis situasi di negara kita.”
30 Agustus menandai 20 tahun sejak referendum tengara, yang melihat Timor Lorosa’e mulai mendapatkan kemerdekaan dari Indonesia, yang menginvasi pulau itu pada tahun 1975.
Pada tahun 1999, setelah berjuang 24 tahun dan dengan dukungan internasional, referendum diadakan untuk memutuskan apakah akan tetap menjadi provinsi Indonesia yang otonom atau menjadi negara yang merdeka. Hasilnya 78,5 persen memilih kemerdekaan.
Samu mengenang masa pergolakan dan kekerasan terkait hasil referendum. Saat itu dia dan keluarganya tinggal di Lospalos di ujung timur pulau.
“Tembakan terjadi di mana-mana siang dan malam.” Dikatakan, banyak orang Timor mencari perlindungan di gunung-gunung, sementara 230.000 orang Indonesia melarikan diri meninggalkan wilayah Timor. Banyak pendukung pro-kemerdekaan dilaporkan tewas.
Kini, 20 tahun setelah Timor Leste merdeka hampir setengah dari 1,3 juta penduduk negara itu hidup di bawah tingkat kemiskinan sementara lebih dari 40 persen masih buta huruf. Menjalani hari-hari antara harapan dan kegelisahan.
Cerca, 35, anggota lain dari Movimentu Letras dari Lospalos menyatakan; “Kami menyebut situasi pada waktu itu sebagai ‘hal kavasala’, secara harfiah berarti ‘perang singkat’, karena itu berlangsung singkat dan terjadi pada saat terakhir pendudukan Indonesia. [Pada waktu itu] hanya ada dua pilihan, untuk menjadi pengungsi atau melarikan diri ke hutan. ”
Setelah kekacauan, Samu dan Cerca merasa beruntung mengalami kemerdekaan yang akhirnya diraih pada tahun 2002.
Anggota lain dari Movimentu Letras adalah Macy, 24. Dia tumbuh atau dibesarkan di kota Bandung, Indonesia, di mana keluarganya akhirnya menetap setelah melarikan diri dari Timor Timur usai referendum diumumkan.
Dia uga berasal dari Lospalos, Macy mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang polisi untuk Indonesia; karena itu ada kekhawatiran akan ada pembalasan.
“Ayah saya berasal dari keluarga miskin, jadi dia (ingin) menjadi sedikit lebih sukses. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengiuti tes polisi yang dibuka pada waktu itu (dan) dia menjadi seorang petugas polisi.”***sumber Al Jazeera, Google. (ambo)