Wednesday, April 02, 2025
Home > Cerita > Tolong Ralat Cerpenmu Itu

Tolong Ralat Cerpenmu Itu

Cerpen: Hendry Ch Bangun

Sore hampir jatuh. Udara awal Desember yang sejuk diwarnai  langit berawan tebal, petanda hujan bisa jatuh kapan saja. Hendra duduk di teras tingkat dua rumahnya. Memandang ke kejauhan, deretan atap rumah, pucuk-pucuk pohon di komplek perumahan yang sudah ditinggalinya puluhan tahun.

“Hen, tolong ralat cerpenmu itu. Biar hatiku puas,” dia teringat ucapan Yuli beberapa waktu lalu.

Secara tidak sengaja Hendra bertemu Yuli di café kecil di bekas kantornya. Waktu itu dia baru saja keluar dari kantor perkumpulan pensiunan untuk registrasi  agar tidak tercoret dari daftar untuk pengiriman buletin bulanan. Sedangkan Yuli baru saja keluar dari toko buku yang persis di seberangnya. Sebagai teman lama, mereka lalu duduk ngobrol sebentar sekadar untuk berbincang tidak jelas, menyapa sebagai bekas kawan sekelas semasa kuliah di kampus Rawangun di tahun 1970an.

“Lho, mana mungkin cerpen diralat.  Apalagi dibuatnya sudah lama, dibukukan pula. Paling akan bikin cerpen baru. Tapi apa orang akan tahu itu perbaikan atas cerpen sebelumnya?” kata Hendra.

“Gara-gara cerpenmu itu orang kira aku benar-benar jatuh cinta sama kamu. Padahal kan sama sekali nggak. Itu kata Irma saja.  Aku nggak pernah ngomong,  dia main perasaan saja,” kata Yuli.

“Itu kan fiksi, masa sih kamu nggak bisa jelaskan?”

“Kalau aku ya ngerti, kan kita ada mata kuliah Telaah Sastra. Cuma semuanya mengira itu sungguhan biar sudah dijelaskan.”

“Tapi kamu memang nggak pernah suka sama aku ya?” tanya Hendra nekad. Yuli terdiam, entah apa yang ada di pikirannya. Pembicaraan macet. Keduanya lalu menghirup minuman masing-masing.  Terdiam. Masa-masa kuliah yang indah mungkin menyeruak lagi ke kepala mereka.

Hendra menulis cerpen itu 20 tahun setelah mereka selesai kuliah. Iseng saja. Meneruskan bakat semasa muda yang sudah lama tidak dilakukannya karena kesibukan menjadi wartawan. Menulis berbagai berita setiap hari, semuanya fakta, membuat Hendra malas menulis cerpen, puisi, yang semasa mahasiswa begitu mudah dilakukan. Apalagi kalau sedang naksir seseorang.

Cerpen berjudul Cinta Setelah 20 Tahun itu separuh berisi fakta dan separuh khayalan sebagaimana sebuah fiksi. Faktanya adalah gambaran suasana kampus, beberapa kejadian semasa kuliah, hubungan pertemanannya dengan Yuli, dia sudah menikah, punya anak, suka kepada beberapa orang rekan kuliah meskipun tidak ada yang akhirnya menjadi istrinya. Fiksinya, kedalaman hubungan di antara tokoh, dan kejadian yang sengaja dibuat agar alur cerita berjalan lancar, dan tentu saja bumbu melodramatis. Di situ Hendra sebagai tokoh dituliskan lebih suka pada mahasiswa jurulan yang lebih pintar meskipun Yuli lebih cantik dan memberi perhatian kepadanya.

“Ih, kamu kok menulisnya begitu sih,” kata Yuli setelah cerpen itu dia muat di Facebook-nya. Kebetulan mereka memang berteman di media sosial itu.

“Namanya juga fiksi, gak usah dipikirin,” jawab Hendra waktu itu sambil ketawa senang karena Yuli yang banyak ditaksir mahasiswa dari fakultas lain semasa kuliah, merasa tersenggol oleh cerpennya. ***

Hendra betul-betul bingung. Kalau berita dianggap salah, orang yang merasa dirugikan memang boleh meminta hak jawab dan wartawan serta medianya diwajibkan untuk memuat hak jawab. Tapi cerpen?

Di usia yang sudah masuk di kepala 60, dia sudah mulai arif dan kerap refleksi atas peristiwa-peristwa yang dijalani di masa lalu. Sejauh dapat, dia tidak ingin menyakiti hati siapapun. Kalau perlu dia akan minta maaf.

Hendra lalu mengingat-ingat apa yang terjadi 40 tahun lalu. Di koridor panjang kampus, di ruang kuliah, di kantor Senat, di teras teater yang menjadi tempat mahasiswa bermain pingpong, di jalanan belakang kampus yang dipagari cemara berjejer. “Irma waktu itu serius nggak ya,” tiba-tiba Hendra mencoba ingat lagi.

“Kamu ini gimana sih Hen. Yuli itu suka lho sama kamu, eh kamu malah cuek saja. Beri perhatian dong,” katanya suatu saat.

“Masak sih,” katanya waktu itu. Karena dia betul-betul tidak tahu bahwa teman sekelasnya itu  menyukainya, mungkin karena rutinitas kuliah, mungkin karena mereka memang teman dan segala gerak dan percakapan walaupun intim tidak berarti ada sesuatu di dalamnya. Hendra tidak mau geer, apalagi dia tidak menangkap gejala itu secara verbal dari Yuli (ya nggak mungkinlah perempuan menyatakan secara terbuka) atau gerak-gerik.

Begitulah yang ditulisnya di cerpen dan begitu pulalah yang dirasakannya saat ini. Hatinya senang, tetapi tidak diungkapkan, baik di cerpen maupun di kehidupan yang nyata. Sebab saat kuliah Hendra walaupun aktivis di berbagai kegiatan, termasuk introvert, lebih banyak menuangkan perasaannya dalam bentuk cerpen atau puisi.

Kalau boleh berkata jujur, kalaupun waktu dapat diputar kembali ke masa-masa kuliah, Hendra akan merasa rendah diri untuk dapat menjadi pacar Yuli,  karena merasa kurang pantas. Yuli menarik, pernah jadi gadis sampul majalah remaja, dari keluarga yang lebih mampu, tidak sebanding dengan dirinya. Soal Yuli disebut naksir dia oleh teman lain, itu sekadar pernyataan saja, dan dijadikannya cerpen sebagai bentuk menghibur diri. Benar tidaknya, dia tidak tahu, dan tidak juga kepingin tahu bagaimana faktanya.

Tetapi seandainya waktu Hendra tahu sejak awal, kebahagian pastilah membuncah dalam dadanya, dia akan menyambutnya, memelihara cintanya,  dan membutakan matanya pada teman sekampus yang lain. Dia akan setia sebagaimana cinta yang dijalaninya ketika memasuki masa perkawinan.

Itu semua tinggal sejarah karena dalam kenyataannya menikah dengan anak seorang jenderal, dari keluarga yang terpandang, dan Hendra ikut senang sebab itulah takdir yang diberikan Sang Pencipta. ***

Menghela nafas panjang Hendra mengingat kembali berbagai peristiwa sejak dia remaja, sekolah di sebuah SMA di Jakarta Pusat, lalu kuliah di kampus Rawamangun yag rindang. Semuanya menyenangkan, entah yang pahit atau yang manis. Ada jarak waktu yang sama, tidak lagi ada yang perlu disesali. Semua menjadi sejarah yang tak bisa lagi diubah, dosen, rekan kampus, teman asrama, teman di semua kegiatan telah mewarnai hidup yang harus disyukuri.

Tentang cerpen itu sendiri menurutnya Yuli lebih mungkin benar dan Hendra merasa kalau perlu dia minta maaf biar tidak ada lagi ganjalan. Tapi apakah lalu jalan ceritanya berubah? Mungkin ada sedikit. Kalau sebelumnya disebutkan sang tokoh mahasiswa disukai seorang mahasiswi tapi dia malah menyukai mahasiswi lainnya,  mungkin jadinya, si mahasiswa menyukai dua mahasiswi yang  akhirnya meninggalkannya. Mahasiswa itu sebenarnya pengkhayal yang suka mengubah kenyataan sesuai dengan khayalannya dalam cerpen-cerpen yang dibuat agar dia seolah-olah menjadi tokoh mahasiswa yang hebat, yang pintar kuliah dan disukai cewek-cewek kampusnya. Beres kan.

Hendra lalu tersenyum. kalau nanti Yuli membaca cerpen ini, mudah-mudahan dia  puas dan bisa menunjukkan ke suaminya, anak-anak atau bahkan cucunya, dan bisa menyatakan Yuli tidak pernah naksir Hendra sebagaimana dimuat di cerpen sebelumnya.

Bagaimana dengan tokoh lain di cerpen lamanya itu. Hendra tidak mau memikirkan tokh dia tidak protes. Mungkin dia merasa tokh itu hanyalah fiksi yang campuran fakta dan khayalan. Atau dia suka dengan peran yang diberikan Hendra.  Hhmmmmm. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru