Sunday, September 08, 2024
Home > Cerita > Cerita Khas > Tulang Belakangku dan Pajak,   Catatan Lubna Zahra Kalyani 

Tulang Belakangku dan Pajak,   Catatan Lubna Zahra Kalyani 

Lubna sedang mendapatkan perawatan terapi di salah satu rumah sakit di Jakarta. (LL)

“Sehat dulu, baru cerdas”. Pernyataan tersebut sering disampaikan ibuku sejak dulu. Memang ada benarnya juga. Mana bisa cerdas kalau badan sakit. Namun, tetap saja ada kalanya manusia sesekali sakit dan butuh berobat ke dokter.

Banyak orang takut berobat karena khawatir keluar banyak biaya. Nyatanya, pemerintah saat ini sudah menyediakan produk asuransi kesehatan dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Produk tersebut terkenal dengan nama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dalam pembayaran preminya dikenai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21/26. Dengan pajak tersebut, pembiayaan kesehatanku lebih terjamin. Terlebih lagi saat ini dimana aku sedang berusaha mengobati skoliosis yang aku derita.

Namaku Lubna, usiaku belum genap 15 tahun. Aku sadar setiap orang memiliki kisahnya masing-masing. Mulai dari saat dilahirkan, bertumbuh besar, hingga berakhir pada ajalnya masing-masing. Di antara 8 miliar manusia yang menempati bumi ini, aku salah satu penduduknya. Oleh karena itu, aku pun memiliki kisahku sendiri.

Seiring berjalannya waktu, manusia bertumbuh kembang, baik secara fisik, pengetahuan, dan mental. Secara fisik, setiap kawasan di dunia ini memiliki standar yang berbeda. Standar tinggi orang Asia berbeda dengan Eropa. Di Indonesia, standar tinggi anak usia 10 tahun adalah 125 cm dan di usia tersebut pula aku mulai sadar bahwa tinggiku di atas standar dari teman sebayaku. Saat itu, tinggiku sudah sekitar 147 cm.

Karena merasa paling tinggi, aku mulai membungkuk-bungkukkan badanku agar tidak terlalu mencolok saat berada disekitar teman-temanku. Dari situlah, ibuku mulai memperhatikan postur tubuhku yang semakin buruk. Sampai akhirnya suatu hari aku dibawa ke dokter untuk diperiksa mengenai posturku.

Berobat ke dokter tanpa biaya sepeser pun

Pertama, ibuku membawa aku ke puskesmas terdekat untuk meminta rujukan ke dokter ortopedi atau spesialis tulang menggunakan BPJS. Syukur saja sangat mudah mendapatkan surat rujukan tersebut.

Pada pertemuan pertama dengan dokter ortopedi, aku dikirim ke Radiologi untuk mendapat tindakan rontgen. Hasilnya, dokter mengatakan bahwa aku memiliki kelainan pada tulang belakangku yang disebut sebagai skoliosis. Penyebab skoliosis salah satunya bisa jadi karena kebiasaanku membungkuk-bungkukkan badanku. Dokter tersebut kemudian merujuk ke dokter ortopedi sub spesialis tulang belakang.

Hampir enam bulan berlalu, aku masih belum juga ke dokter sub spesialis karena kesibukanku di sekolah, kesibukan ibuku bekerja dan karena aku tidak memiliki keluhan apa pun selain postur.

Hingga suatu hari, muncul perasaan sakit di punggungku yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Awalnya, aku kira itu hanya rasa pegal. Mungkin karena posisi tidur yang salah atau terlalu banyak gerak.

Namun, rasa sakit itu yang aku kira pegal berubah menjadi rasa sakit seperti sakit nyeri. Rasa nyeri itu bertambah parah setiap kali aku mencoba untuk membungkukkan badan atau ruku’ saat sholat. Setelah aku menyampaikan keluhan rasa sakit itu ke ibuku, aku akhirnya menemui dokter ortopedi spesialis tulang belakang di rumah sakit yang berbeda dari sebelumnya.

Pertemuanku degnan dokter ortopedi sub spesialis tulang belakang berlangsung baik dengan menggunakan BPJS. Tidak ada yang dipersulit. Aku pun diminta rontgen lagi dan hasilnya masih tetap sama, skoliosis. Untuk meredakan nyeri, aku diberikan obat oleh dokter. Untuk memperbaiki postur tubuhku, aku dirujuk dokter spesialis rehabilitasi medik.

Bersyukur diberi kemudahan

Aku lantas menemui dokter spesialis rehabilitasi medik dan dijadwalkan untuk treatment awal selama 6x. Saat ini, aku baru menjalani 4x treatment.

Setelah treatment ini selesai, aku akan kembali rontgen  untuk melihat apakah tulangku sudah membaik atau belum. Semua proses ini aku jalani tanpa membayar sepeser pun. Aku sangat bersyukur sekali dengan adanya kemudahan ini. Ini bisa terjadi karena ibuku memiliki BPJS. Ibuku membayar BPJS setiap bulan melalui skema pemotongan gajinya. Meskipun BPJS terkena pajak lagi, namun hal itu menurutku setimpal dengan jaminan kesehatan yang kita dapatkan. Karena dengan bantuan pajak ini, aku mendapatkan manfaat yang lebih besar lagi.

Ibuku bilang, tarif JKN untuk PNS adalah sebesar 5% dari gajinya dengan ketentuan  4% dibayar pemberi kerja dan 1% dibayar peserta. Dalam tarif tersebut juga mengandung premi asuransi yang dibayar pemberi kerja dan diakui sebagai penambah penghasilan kotor pekerja. Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja dikenakan pajak karena dianggap sebagai fasilitas bagi pegawai yang merupakan komponen penghasilan.

“Ketentuan tersebut tercantum pada Pasal 9 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), sebagaimana terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Jadi bagi PNS, premi asuransi dipotong dari gaji dan langsung disetor ke BPJS sehingga masuk ke dalam perhitungan PPh Pasal 21/26. Premi asuransi yang dipotong sudah masuk ke dalam elemen gaji,” demikian ibuku menjelaskan.

Kisahku belum berakhir, dan aku pun belum tahu akan berakhir seperti apa. Tetapi, aku yakin, dengan kisah ini, sangat terlihat seberapa bermanfaat pajak itu untuk kita semua. Potongan pajak yang dimasukkan sebagai premi asuransi dalam BPJS lebih banyak membawa keuntungan dari pada kerugian dalam menjamin kesehatan kita semua.

Salam sehat teman-teman semua. Supaya kita bisa jadi anak yang cerdas. Seperti kata ibuku, “Sehat dulu baru cerdas”.

(Penulis Lubna Zahra Kalyani adalah pelajar kelas 3 SMP di Jakarta /ARL)

***

Jakarta, 28 Juni 2024.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru