Saturday, September 14, 2024
Home > Cerita > UKW, kopi Asiang dan melihat telur tegak di garis Khatulistiwa, Catatan A. R. Loebis 

UKW, kopi Asiang dan melihat telur tegak di garis Khatulistiwa, Catatan A. R. Loebis 

Bagian dalam bangunan garis Khatulistiwa di Pontianak. (arl)

Apa hubungan antara UKW, kopi Asiang dan garis Khatulistiwa? Dengan tepi Sungai Kapuas, dengan Kasultanan Kadryah, dengan kafe pojok? Termasuk dengan Kopi Aming?

Hubungannya amat dekat, erat, mengikat, walau terasa amat singkat dan padat.

Di Tengah konsentrasi penuh UKW selama dua hari di Hotel Alimoer yang berlangsung runtun dan melelahkan sehingga ada peserta uji yang mengatakan “kepala saya seolah keluar asap”, maka nama-nama yang tercantum pada teras artikel di atas menjadi hal menarik ditorehkan.

Hari pertama di Pontianak, kami merasakan angin menderu di tepi Sungai Kapuas, sesekali badan seakan bergoyang akibat ombak lembut menyapu perahu besar terapung,  saat santap malam – nah, ada pula ikan bakar besar serta udang galah, menggugah selera.

Situasi ini menimbulkan kesan mendalam bagi kami yang datang dari jauh. Bayangkan, santap malam dengan disapu angin lembut, merasakan goyang perlahan akibat gelombang pelan. Sementara dari kejauhan terdengar dendang Melayu, dengan kendang bertalu-talu, dari kafe-kafe tepi pantai di seberang sungai yang diameternya amat lebar dan tercatat sebagai sungaai terpanjang di Indonesia (1.143 km).

“Kita amat mendambakan sensasi santap malam seperti ini sesekali setelah menjalani kehidupan rutin di Ibukota,” kata Prof Rajab Ritonga, sementara Dr Theo Yusuf mengangguk-angguk mengikuti alunan musik di kejauhan – sembari menanti datangnya hidangan yang dipesan.

Santap di tepi Sungai Kapuas di kapal terapung malam hari. (arl)

Ketika mengantar kami kembali ke penginapan, Ketua PWI Kalbar Kundori berkata,” Kalau setuju besok usai Shalat Subuh kita ngopi ke kede Asiang. Para pejabat kalau ke sini pasti ngopi di situ dan kita bisa ketemu dengan pemiliknya.”

Dari kejauhan terlihat seorang pria bertubuh besar gempal telanjang dada, mengulak-alik kopi dari tangan kanan yang diangkat tinggi dan menuangkan kopi ke gelas di tangan kiri yang direndahkan. Begitu berulang-ulang, sementara pengunjung silih berganti berfoto di sebelahnya.

Foto-foto pengunjung di[ajang di tembok warung kopi Asiang (arl),
“Aha..kopi tu bisa campur keringat la,” kata Theo disambut seorang rekan dengan ucapan.” Ah tak papa la asin-asin dikit. Hahaha”

Kami naik ke lantai dua, di situ terpampang ratusan foto, dari para selebriri, pejabat negara, para politisi, anggota dewan, petinggi partai, hingga rakyat biasa.

“Luar biasa…,” desis seorang kawan, ketika menyaksikan foto-foto itu satu persatu. Kami tentu saja tercengang, udara subuh masih terasa menusuk tulang, jalanan masih lengang, tapi ternyata kedai kopi Asiang sudah padat manusia. Sepanjang tepi jalan penuh mobil dan sepeda motor. Kami masuk, semerbak aroma kopi menyeruak, asap rokok berkepul ke udara dan.. si Asiang dengan senyum khasnya menuang bolak balik cairan hitam di tempat kopi di tangan kiri dan kanannya, sebelum dituang ke gelas.

Warung kopi Asian di subuh hari. (arl)

Warung Kopi Asiang sudah berdiri sejak 1958, usaha turun-temurun ini sudah berusia 61 tahun. Walaupun sudah puluhan tahun, warkop ini selalu menjadi pilihan bagi wisatawan saat singgah ke Kota Pontianak.

Kok luar biasa sekali kopi Asiang itu..emang gimana sih cita rasanya?

“Ah biasa saja,” kata seorang teman. Ya biasa aja sih, yang penting sudah pernah mampir di kedai kopi Asiang, sehingga tak asing bila ada yang membicarakannya.

Ketika meninggalkan kedai kopi Asiang,, iseng-iseng bertanya kepada tukang parkir di tepi jalan. “Ini setiap hari subuh sudah begini banyak yang mampir? Ada berapa ratus orang yang datang setiap hari?”

“Ya rame terus Pak. Berapa ratus orang? Bukan ratusan Pak, ribuan orang yang datang,” kata tukang parkir itu dengan nada meyakinkan. Saya menganga dan terpelongok.

Nah, sepanjang pagi hingga petang UKW pun berlangsung. Tidak ada yang istimewa, keenam peserta uji di kelas penulis biasa-biasa saja. Semua bisa menulis berita, membuat rencana iiputan, jumpa pers dan yang lainnya.  Pada mata uji jejaring, mereka lebih lihai, menyapa dan wawancara para petinggi daerah mereka. Pantaslah, mereka semua masih aktif bekerja di lapangan dan sejak awal mereka bukan wartawan “kaleng-kaleng”.

Mata uji tentang undang-undang pers, KEJ, PPRA, mengedit berita yang disiapkan di mata uji nomor satu, terasa tersendat-sendat, seperti biasa, dan harus didukung dengan wawancara langsung pada peserta. Intinya, seperti juga di tempat lain, para peserta mengaku kurang membaca, kurang belajar, kurang bertanya. Masih ada yang tak faham apa itu PPRA dan masih bingung beda media arus utama dan media sosial. Untunglah ketika diwawancarai satu per satu, mereka dapat menjawab apa itu hak tolak, hak jawab dan lainnya..meskit terbata-bata. Namun uji hari pertama belum kelihatan “hilal” – istilah penguji untuk peserta yang “payah”.

Dalam waktu senggang, ketika makan atau ngopi, kami mendiskusikan masalah uji kompetensi ini dengan intens dalam situasi informal. Kami adalah Prof Rajab, Theo Yusuf dari Betawi, Ketua DK PWI Kalbar Gusti Yusri,Ketua PWI Kalsel Zaenal Hilmi, Toto Fachrudin dari Samarinda, Ketua PWI Kalbar Kundori, Bendahara PWI Kalbar Jauhari, sekretaris PWI Kalbar Deska Isnan Syafara dan saya.

“Semoga dengan adanya uji kompetensi ini membuat wartawan di Pontianak tidak ada yang abal-abal. Semoga tidak ada lagi wartawan kaleng-kaleng di sini,” kata Alexander Rombonang, yang mewakili gubernur Kalbar, ketika membuka acara itu. Semoga Pak Alex. Para peserta UKW berasal dari berbagai kabupaten di Kalbar.

Telur tegak di Khatulistiwa

Ah yang benar, kok telur bisa tegak. Kalo keris berdiri saya percaya karena pernah lihat,” kata teman, tapi ini lah kenyataannya.

Kami dengan serius mengamati telur itu tegak berdiri di lantai. Kemudian kami silih berganti mencobanya, umumnya semua berhasil.

Tentang telur tegak berdiri ini, sudah pernah masuk MURI pada 2019, ketika sebanyak 1,200 butir telur berdiri serentak.

Sedang mengamati telur tegak di garis Khatulistiwa. (arl)

“Itu terjadi ketika terjadi titik kulminasi matahari pada 21 22 23 Maret dan 21 22 23 September. Pada waktu itu, hilang bayangan matahari, karena matahari sejajar dengan garis khatulistiwa,” kata Hamdi, juru pelihara kawasan gedung Khatulistiwa, di bagian utara Kota Pontianak itu.

Tentang telur berdiri tegak itu, Hamdi tak menutup kemungkinan karena terjadi gravitasi alam, di tempat yang persis membelah bujur utara dan Selatan bumi yang kita tempati ini.

“Inilah perlunya kita ke sini. Saya sudah pernah tapi lama sekali. Setiap ada kesempatan harus kita manfaatkan menambah wawasan kita,” kata Prof Rajab, apalagi kami mendapat sertifikat tanda sudah pernah berkunjung ke garis Khatulistiwa, yang banyak dikujungi pelancong itu, terutama dari Kuching, Sarawah dan Kuala Lumpur.

Kota Seribu Warkop

Inilah kota 1000 Warkop, salah satu ungkapan untuk kota Pontianak karena banyaknya warung kopi atau Warkop, atau kede kopi atau kafe kopi di ibukota Kalimantan Barat ini.

Usai santap malam, kami ngopi di warung kopi Aming dan pengunjung pun sudah ramai hingga tumpah ruah ke meja-meja tepi jalan.

Karena bukan ahli icip-icip kopi, di antara rombingan kami pun tak ada yang mampu membedakan cita rasanya dengan rasa di tempat lain, termasuk di kedai kopi Asiang.

Kopi Aming ini sudah menjual mereknya alias “franchise” sehingga warung dengan merek ini terdapat di bebera[a tempat dan di beberapa daerah. “Kita pun kalo mau bisa buka kede kopi seperti ini,” kata Jauhari, bendahara PWI Kalbar. Warung Aming milik Limin Wong yang akrab dipanggil Koh Aming ini semula kecil, berdiri tahun 1970 dan mulai terkenal pada 2002, dan kini sudah ada 26 gerai di Pontianak dan daerah lainnya. Kopi ini terkenal berjenis robusta dan racikan lokal. Presiden Jokowi sempat santai menghirup kopi di Aming  Coffee Megamall Pontianak pada kunjungan kerja Maret 2024, bahkan untukk kedua kalinya.

Usaha warung kopi ini di Kota Pontianak terus bermunculan. Berdasarkan data kepustakaan, jumlah warkop dan kafe di Pontianak mencapai 800 tempat usaha, itu pun berdasar data 2022. Sedangkan jumlah penduduk di Kota Pontianak (2024) sebaanyak 682. 896 jiwa)

“Sekarang mungkin jumlahnya semakin banyak,” kata Kundori sembari menambahkan berbagai kafe dan warung kopi itu ada yang dikunjungi para komunitas.

Warkop itu ada yang dikunjungi khusus para ibu-ibu, ada yang para remaja, mereka yang suka menyanyi “life” dan beragam komunitas lainnya, tentu saja banyak yang untuk umum.

Ketika kami masuk ke salah satu kafe pojok tepi jalan, ada musik “live” dan pengunjungnya mereka yang suka bernyanyi sembari menari alias berjoged. Banyak di antara mereka ibu-ibu berhijab dan sedikit prianya.

Nah, jenis usaha kopi dan kopi ini pun memberikan kontribusi cukup signifikan terhadap perolehan pajak daerah. Nilainya cukup besar, mendekati 30 persen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Kesultanan Kadriyah

Tempoe doloe ada raja di sini, dalam sejarah disebut penemu Pontianak. Namanya raja atau Sultan Abdurrahman Al-Qadrie.

Kesultanan Pontianak memiliki sejarah sangat panjang hingga akhirnya menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesultanan Melayu yang didirikan tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurahman Al-Qadrie itu banyak berjuang melawan penjajah di era kemerdekaan serta menyebarkan agama Islam di Kalimantan.

Foto bersama dalam istana Kadaryah bersama Ibu Suri kedelapan. (arl)

Kerajaan di Pontianak berawal saat Syarif Abdurahman Al-Qadrie menjejakkan kakinya di tepian pertemuan Sungai Kapuas Kecil, Sungai Kapuas, dan Sungai Landak. Saat itu, ia masih berusia 32 tahun.

Istana Kasultanan Pontianak. (arl)

Sultan Syarif merupakan putra dari Al Habib Husin Al-Qadrie, seorang penyebar ajaran Islam yang berasal dari Arab. Ibunda Sultan Syarif adalah seorang putri Kerajaan Matan, dan istrinya adalah putri Kerajaan Mempawah.

Saat itu, Sultan Syarif membuka hutan dan menjadikannya sebagai permukiman. Oleh karenanya, ia dikenal sebagai pendiri Kota Pontianak.

Nah, ke istana kasultanan ini lah kami berkunjung, banyak turis dari negara tetangga, Malaysia. Kami bertemu dengan ibu suri atau ibu ratu, berbincang, mendengarkan ceritanya. “Hari ini bertepatan dengan haul 350 tahun Raja Abdurahman,” kata Ibu Suri kedelapan, ketika kami berkunjung pada 7 Juli 2024.  Saat ini, kasultanan itu dipimpin sultan kesembilan (IX).

Sebelum meninggalkan istana itu, Prof Rajab sempat membeli kopi yang ditawarkan Ibu Suri seharga Rp350 ribu sebungkus. “Gak apa-apa lah, itung-itung berbagi honor kita,” ujar Prof mengomentari kopi yang katanya untuk penyegar badan itu. Dr Theo Yusuf beli peci hitam bergaris pita keemasan. Nah, Cahaya mentari keemasan pun mulai turun, pertanda senja datang dan kami pun beranjak pulang.

Pontianak…kapan-kapan semoga kami berkunjung lagi. (arl / dta)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru