Mimbar-Rakyat.com (Jakarta) – Secara elektoral, hari ini Gibran Rakabuming Raka memang sangat menggoda. Gibran ibarat gadis cantik nan menawan yang diidam-idamkan oleh Prabowo Subianto, tapi sekaligus dicemburui oleh PDIP.
Pasalnya, belakangan mulai jelas bahwa Gibran bukanlah kartu politik mainan Jokowi, tapi justru menjadi “proxy politik” yang menjembatani Prabowo untuk bisa menyeberang ke ceruk suara Jokowi, sekaligus secara otomatis akan berimbas mengambangkan posisi politik PDIP di hadapan para pemilih fanatis Jokowi.
Hal itu tak akan terjadi jika Prabowo, misalnya, menggandeng politisi muda lainnya, sebut saja misalnya Erick Tohir atau tokoh muda lainnya dari Partai Golkar, selain Airlangga Hartarto.
Jadi sudah jelas target politik Prabowo bukanlah untuk menggandeng anak muda semata, tapi lebih dari itu. Gibran adalah bagian krusial dari strategi politik Prabowo untuk menjadi penerus Jokowi pasca-2024.
Strategi ini adalah langkah lanjutan dari baliho dan billboard yang menampilkan kebersamaan Jokowi dan Prabowo yang belum lama ini sempat menghebohkan jagat politik nasional kita.
Dengan jurus “pepet Jokowi” di segala kesempatan, raihan elektabilitas Prabowo versi beberapa lembaga survei mainstream hanya berhasil beberapa kali berada di atas Ganjar Pranowo.
Bukan berarti tidak efektif. Taktik tersebut nyatanya cukup efektif. Hanya saja kekuatannya dalam menyerap ceruk suara Jokowi tidak terlalu masif.
Mengapa? Karena kebersamaan di berbagai kesempatan dan di dalam foto-foto billboard itu tak terlalu menggambarkan kepastian relasi politik yang permanen antara kedua pihak, yakni Jokowi dan Prabowo.
Alih-alih dianggap sebagai penerus, pada satu titik bisa saja publik mewajarinya atau memaknainya secara netral, mengingat Prabowo adalah anggota Kabinet di dalam pemerintahan Jokowi.
Dengan kata lain, semua orang bisa saja memajang foto kebersamaan dengan Jokowi di ruang publik, atau menyulapnya menjadi berbagai macam alat peraga di berbagai sisi ruang publik di antaranya di jalan raya, tanpa harus menghasilkan persepsi keterkaitan aksi tersebut dengan arah dukungan politik Jokowi di kemudian hari.
Artinya, taktik “pepet Jokowi” memang cukup membantu Prabowo dalam membangun “level playing field” dengan Ganjar Pranowo.
Elektabilitas Prabowo terbukti secara “rata-rata” setelah taktik tersebut diterapkan nyaris setara dengan Ganjar Pranowo. Bahkan sekali dua kali sempat berada di atas Ganjar Pranowo.
Masalahnya, tingkat representasi dukungan Jokowi kepada Prabowo via taktik tersebut tidak terlalu tinggi. Sehingga tidak melahirkan “leverage” politik yang besar kepada Prabowo yang sekaligus tidak memberikan jaminan kemenangan yang mutlak atas Ganjar Pranowo.
Sebagaimana pernah saya sampaikan pada beberapa tulisan terdahulu, dari beberapa survei setelah Prabowo menerapkan taktik pepet Jokowi, angka elektabilitas Prabowo hanya terkerek sekitar 3 persenan saja.
Nah, karena posisi elektabilitasnya sebelumnya selalu berada di bawah Ganjar Pranowo, maka dorongan sebesar itu hanya mampu membuat posisi Prabowo setara secara rata-rata dengan Ganjar Pranowo.
Artinya, jika tak ada dorongan tambahan yang bisa memastikan angka raihan elektabilitas Prabowo di atas Ganjar Pranowo, minimal di atas 6 persen, dua kali margin of error lembaga survei, maka secara matematika politik suara elektoral Prabowo masih diasumsikan akan mengalami kekalahan tipis oleh Ganjar Pranowo.
Dalam konteks inilah mengapa putra sulung Presiden Jokowi, Gibran mendadak menjadi “cantik dan molek” secara elektoral di satu sisi dan adiknya, Kaesang Pangarep juga ikut terbawa “menarik dan menawan” di sisi lain.
Jika keduanya bisa diambangkan dari PDIP, maka akan sangat menguntungkan secara elektoral untuk Prabowo. (ds/sumber Kompas.com)