Warga Baduy menghuni perkampungan adat di atas awan. Ada Baduy Luar. Ada Baduy Dalam. Kampung mereka tersebar di Pegunungan Kendeng, Banten.
Rabu minggu lalu, kami berbincang di bale-bale rumah Ambu Cudi, Desa Kanekes Kecamatan Lewi Damar, Kabupaten Lebak. Ini kampung Baduy Luar yg berbatasan dengan Luar Baduy. Warga Baduy luar lebih luwes menerapkan aturan adat. Sedangkan Baduy Dalam sangat rigid.
Ambu
Ambu adalah panggilan terhormat untuk Ibu di Baduy. Ambu Cudi adalah mantan first lady atau wanita utama. Dia telah berpisah dengan suaminya Jaro Saija, pemimpin nomor satu warga Baduy.
Jaro adalah tokoh sekaligus menjadi penghubung dengan pemerintah. Walaupun mereka tak pernah membebani pemerintah.
Dari ruang tamu Ambu terlihat perkampungan Baduy Dalam di kejauhan. Tak berapa lama kabut putih beriringan turun menyelimuti.
“Nah itu perkampungan di atas awan,” kata Muhammad Arif Kirdiat, relawan yg menghibahkan diri untuk mengabdi di Baduy. Alumni NTU (Nanyang Technological University) Singapore ini mendampingi kami berkunjung. Teman sekolahnya antara lain Andi Widjajanto, mantan sekretaris kabinet dan mantan gubernur Lemhannas.
Merantau
Ambuh tinggal sendiri, karena Cudi, anak perempuannya merantau ke Jakarta mencari penghidupan. Ambu Cudi atau Ibunya Cudi sehari-hari bekerja di ladang dan menenun kain. Ibu Cudi cantik sebagaimana juga hasil tenunnya. Apalagi di lehernya melingkar kalung emas besar. Di pergelangan tangan melilit gelang. Emas juga.
Wanita Baduy umumnya memakai kalung dan gelang emas. Kulit mereka bening. Menonjolkan kecantikan.
Tenun
Selembar kain selesai ditenun 10 hari hingga dua minggu. Kalau di tempat ditawarkan dengan harga bervariasi mulai dari Rp 300 ribu.
Di ladang mereka menanam padi, pisang, sayur, jahe dan kencur. Baduy juga penghasil duren. Ketika kami berkunjung, musim duren sudah mulai berakhir. Tapi masih sempat mencicipi. Daging tebal. Rasa legit.
“Tenun Baduy cantik. Lebih tebal,” tutur salah seorang anggota rombongan kami, Elly Sri Pujianti, yang jatuh cinta dan langsung membeli lengkap dengan selendang.
Alat Tenun
Pada setiap rumah terdapat alat tenun sederhana dari kayu. Ditempatkan di bale-bale terbuka. Tidak ada meja kursi atau perabotan.
Pengunjung sambil duduk berselonjor atau bersila silahkan ngobrol santai menyaksikan mereka menenun. Senantiasa disambut ramah. Tidak ada kendala. Mereka lancar berbahasa Indonesia dengan lancar, walaupun tidak bersekolah formal. Tamu kadang disuguhi gula aren sebagai camilan dengan minuman air putih.
Rumah
Rumah terbuat dari kayu. Dinding anyaman bambu. Atap dari daun rumbia dan nipah. Tidak menggunakan paku. Ada kamar mandi umum dan toilet dengan WC duduk. Air dialirkan melalui batang bambu, karena penggunaan pipa paralon merupakan salah satu pantangan.

Pantangan lain tidak boleh ada listrik dan ada televisi. Lampu umumnya dibuat dari potongan ruas bambu yg diberi sumbu dengan bahan bakar minyak kelapa. Minyak tanah tidak ada lagi.
Hape
Apa ada hape? Ya ada. Di mana mereka mencharge atau mengisi daya listrik?
Tempat mencharge ada di luar Baduy. Tapi, dekat aja dengan Baduy Luar. Misalnya di Pos 3 pintu Desa Kanekes. Lokasi cuma beberapa langkah dari dari rumah mereka. Pos terletak di luar Baduy. Tapi masih di tanah ulayat. Di situ juga dibangun Puskesmas. Ada bidan Ira yg melayani.
Di pos terlihat enam remaja berkumpul. Dua di antaranya putri. Mereka rupanya sedang mencharge hape. Keriangan tercermin dari wajah masing-masing. (arl)
(Keterangan: Tim PWI Peduli melakukan survei ke Tanah Baduy, Desa Kanekes untuk rencana bakti sosial dalam rangkaian Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2024.
Kami yg berkunjung Rabu siang (27/12-23): Mohammad Nasir, Karim Paputungan, Elly Sri Pujianti, Dadang Rachmat dan istri yang aktif di Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia (IKWI).