Wednesday, April 02, 2025
Home > Berita > Wartawan tidak paham KEJ, siapa yang teledor? Oleh Widodo Asmowiyoto

Wartawan tidak paham KEJ, siapa yang teledor? Oleh Widodo Asmowiyoto

Widodo Asmowiyoto. (mr)

BANYAK topik sangat penting yang dibahas dalam rangkaian acara peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022 di Kendari, Sulawesi Tenggara. Salah satunya adalah yang didiskusikan dalam pertemuan pengurus Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (DK PWI) Pusat dan DK PWI Provinsi se-Indonesia. Hal itu kemudian tercermin dalam pemberitaan media massa nasional yang intinya berjudul seperti berikut, “70 Persen Wartawan Tidak Paham Kode Etik” (Harian Pikiran Rakyat, Kamis, 10/2/2022).

Materi berita PR itu berasal dari berita LKBN Antara yang bersumber dari keterangan tertulis anggota Dewan Pers periode 2022-2025 – yang juga anggota DK PWI Pusat– Tri Agung Kristanto. Sedangkan angka 70 persen dalam judul berita tersebut diambil dari dalam tubuh berita khususnya tentang hasil survei Dewan Pers yang dikutip oleh anggota DK PWI Pusat, Asro Kamal Rokan.

Sangat mungkin berita yang disiarkan Antara tersebut juga dikutip banyak media di Tanah Air. Artinya masalah penting itu menjadi pengetahuan bersama, khususnya insan pers maupun umumnya masyarakat luas di Indonesia.

Timbul pertanyaan, angka 70 persen itu kira-kira meliputi berapa banyak wartawan yang tidak paham Kode Etik Jurnalistik (KEJ)? Angka-angka berikut ini akan memberikan gambaran. Saya coba kutip data Dewan Pers dalam Laporan Hasil Penelitian Pemahaman dan Pelanggaran KEJ pada Jurnalis Indonesia Desember 2018. Di situ disebutkan bahwa hingga tahun itu di Indonesia tercatat 47.000 media. Jumlah itu terdiri atas 2.000 media cetak, 674 radio,  523 televisi (nasional dan lokal), dan 43.000 media daring (nasional dan lokal).

Lalu berapa jumlah wartawan di Indonesia dewasa ini? Jawaban di kalangan wartawan atau tokoh pers kadang sambil guyon, “hanya Tuhan yang tahu”. Namun mari coba kita otak-atik. Kalau misalnya ke 47.000 media itu masing-masing mempunyai 10 orang wartawan, maka kurang lebihnya kini di Indonesia terdapat 470.000 wartawan. Jumlah itu tentu saja boleh kita kurangi atau sebaliknya kita tambah. Tapi karena konon media online terus bertumbuh bagai jamur di musim hujan, maka boleh kita sebut kini di Indonesia terdapat lebih kurang 500.000 wartawan.

Dengan jumlah itu tentu akan tergambar berapa 70 persennya yang tidak memahami KEJ? Sungguh sangat besar. Kalau saja yang 70 persen itu disebut “belum pernah membaca isi KEJ”, maka kita lebih mudah menyimpulkan, “oh memang mereka belum pernah membaca isinya sehingga pantas mereka tidak paham KEJ”. Atau mungkin mereka pernah membaca selintas isinya tapi tidak paham secara rinci atau substansinya. Namun sejauh apa pun tingkat pemahaman mereka, kalimat “tidak paham kode etik” itu sungguh memprihatinkan.

Banyak pengaduan

Dampak dari masih sangat banyaknya wartawan yang tidak memahami KEJ itu, digambarkan oleh Tri Agung Kistanto dengan kalimat, “Terbukti dengan banyaknya pengaduan masyarakat terkait pelanggaran kode etik. Pengaduan itu bahkan lebih banyak terkait soal judul. Selain itu, termasuk juga wartawan yang melanggar hal-hal berkaitan dengan Pasal 1 dan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik. Misalnya, mengenai iktikad buruk”.

Agaknya jumlah pengaduan masyarakat ke Dewan Pers dari tahun ke tahun masih tetap banyak. Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers periode 2010-2013, Agus Sudibyo, pernah mengungkapkan dalam bukunya berjudul “Etika Jurnalisme Migas Panduan untuk Wartawan”: “Tahun 2010 hingga tahun 2013, dari rata-rata 500 pengaduan Kode Etik Jurnalistik yang ditangani Dewan Pers selama setahun, 80 persen berakhir dengan kesimpulan telah terjadi pelanggaran Kode Etik Jurnalistik oleh media massa atau oleh individu wartawan. Ini pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang dilaporkan ke Dewan Pers, yang tidak dilaporkan hampir pasti jauh lebih besar”.

Terjadinya peningkatan jumlah pengaduan itu memang ada benarnya. Hal ini seperti diungkapkan dalam laporan hasil penelitian Dewan Pers tahun 2018 tersebut. Pada tahun 2017, menurut laporan penelitian itu, pengaduan masyarakat ke Dewan Pers mencapai 700 kasus atau naik dibanding sebelumnya yang hanya 400 kasus. Sebanyak 80 persen di antaranya menunjukkan media melanggar KEJ, mulai dari tidak berimbang, tidak akurat, tidak melindungi identitas korban kejahatan susila, tidak bersikap profesional, pemerasan, penyuapan, plagiat, hingga bentuk pelanggaran etika.

Tentang jenis pelanggaran, data Dewan Pers tahun 2012 (Januari-September, jumlah 134) yang diungkapkan Agus Sudibyo tadi memberi persentase yang lebih konkret. Yakni berurutan sebagai berikut: tidak berimbang 39 (27,27 persen), mencampuradukkan fakta dan opini yang menghakimi 35 (24,48 persen), tidak menguji informasi/konfirmasi 30 (20,98 persen), tidak akurat 14 (9,79 persen), tidak profesional dalam mencari berita 5 (3,50 persen), tidak jelas narasumbernya 4 (2,80 persen), melanggar asas praduga tidak bersalah 4 (2,80 persen), tidak menyembunyikan identitas korban kejahatan susila 4 (2,80 persen), tidak berimbang secara proporsional 2 (1,40 persen), tidak menyembunyikan identitas pelaku kejahatan di bawah umur 1 (0,70 persen), dan lain-lain 5 (3,50 persen). Dalam satu pengaduan bisa lebih dari satu jenis pelanggaran.

Khusus jenis pelanggaran “tidak menyembunyikan identitas pelaku kejahatan di bawah umur” yang hanya 0,70 persen itu, jika para wartawan tidak hati-hati maka ke depan bisa saja berpotensi semakin besar dan berdampak hukum. Oleh karena itu Dewan Pers telah mengantisipasinya dengan membuat dan memberlakukan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) sejak tahun 2019 lalu.

Adapun temuan bahwa “pengaduan itu bahkan lebih banyak terkait soal judul” dan “praktik pengutipan yang kerap terjadi tanpa adanya konfirmasi” seperti yang dikemukakan oleh Tri Agung Kristanto tadi, mungkin saja hal itu ada korelasinya dengan semakin banyaknya media online yang mekanisme kerjanya sangat berlomba dengan waktu. Di sini berlaku prinsip “wartawan jangan mengabaikan kecermatan demi mengutamakan kecepatan”. Secara lebih lengkap Dewan Pers juga telah membuat Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS) yang berlaku sejak tahun 2012 lalu.

Siapa besikap teledor?

Pertanyaan lain yang relevan adalah siapa yang bersikap teledor dengan “sangat banyaknya wartawan yang tidak paham kode etik” tersebut?

Bagi kalangan perusahaan pers atau media massa arus utama (mainstream), umumnya mereka mempunyai kelaziman dalam merekrut tenaga wartawan baru. Yakni melakukan dan pelatihan (diklat) bagi para wartawan baru yang telah dinyatakan lolos seleksi secara ketat. Materi diklat dimaksud lazimnya termasuk medalami materi Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Hukum Pers atau peraturan terkait pers. Dengan demikian wartawan baru yang kemudian mulai diterjunkan di lapangan sudah mempunyai bekal yang relatif cukup. Kalaupun ada di antara wartawan baru itu yang masih gamang, biasanya mereka bisa langsung bertanya atau berkonsultasi dengan wartawan senior/redaktur pembimbing di perusahaan medianya.

Apabila para wartawan muda itu kemudian masuk menjadi anggota organisasi wartawan pilihannya, biasanya organisasi wartawan pilihannya itu juga secara periodik menyelenggarakan diklat atau kegiatan sejenis untuk meningkatkan kualitas profesionalisme para anggotanya. Salah satu materi diklat itu pastilah tentang KEJ dan Hukum Pers.

Bagi para wartawan muda yang ingin terus mematangkan dirinya, lazimnya mereka tidak merasa cukup dengan materi-materi yang diperolehnya dari perusahaan tempatnya bekerja atau dari organisasi wartawan tempat bergabung. Mereka dengan perasaan senang hati terus mengasah dirinya dengan belajar sendiri atau otodidak.

Persoalan timbul ketika para wartawan baru itu tidak mempunyai hobi membaca atau tidak bersikap otodidak, dan tidak pula mendapatkan penataran dari perusahaan tempatnya bekerja. Dengan demikian di sini ada faktor keteledoran.

Terus terang, sebagai asesor uji kompetensi wartawan (UKW), beberapa kali saya menemukan kenyataan menyedihkan. Yakni berupa pengakuan peserta yang belum pernah membaca isi KEJ  dan PPRA, sehingga peserta dimaksud tidak tahu jumlah pasal KEJ yang diberlakukan secara nasional oleh Dewan Pers.

Padahal dalam era digital ini, para wartawan –terutama wartawan muda—seharusnya sangat mudah untuk dapat membaca, memahami, dan menerapkan KEJ. Apabila mereka termasuk kategori “70 persen wartawan tidak paham kode etik”, tentu saja mereka akan mempersulit dirinya dalam mengikuti UKW dan juga mengarungi profesi wartawan yang penuh tantangan. Ke depan, sangat sulit baginya untuk dapat benar-benar menjadi wartawan yang berbobot,  berkualitas, berwawasan, kompeten, dan profesional.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru