Setiap kita, warga negara Indonesia, pasti tahu Sabang. Sejak duduk di bangku sekolah, setiap siswa sudah terbiasa mendengar kata itu, minimal dalam lirik lagu”… Dari Sabang sampai Merauke/berjajar pulau-pulau// Sambung menyambung menjadi satu/itulah Indonesia//…” ciptaan R Suharjo.
Tetapi karena luasnya Tanah Air kita ini maka tidak semua beruntung pernah pergi ke Sabang, kota paling ujung di Barat Indonesia. Apalagi telah mengunjungi kota paling Timur, Merauke, di Papua sana. Oleh karena itu tidak ada orang yang mengatakan, hanya orang yang berhasil mengunjungi Sabang dan Merauke lah yang telah pantas disebut sebagai orang Indonesia.
Sabang, bagi orang yang tinggal di Medan, di masa lalu juga dikenal sebagai pelabuhan bebas yang membolehkan semua barang impor masuk tanpa cukai. Jadi dulu banyak orang dari provinsi Sumatera Utara atau tetangganya, berdatangan ke Sabang untuk membeli barang produksi luar negeri dan membawanya untuk dijual lagi atau dinikmati sendiri.
Saat ini pun Sabang masih menjadi free port, tetapi sudah tidak lagi sebesar dulu daya tariknya, kalah dari Batam, yang juga banyak menjual barang impor dengan harga relatif murah.
Tetapi banyak sisi lain dari Sabang yang memiliki daya tarik besar. Kota yang terletak di Pulau Weh ini punya tujuan wisata pantai, berpasir sehingga enak dibuat tidur-tiduran dan santai atau menyelam untuk menikmati keindahan flora dan fauna bawah air.
Ada wisata bersifat pegunungan, dengan air terjun atau gunung berapi. Ada pula wisata sejarah berupa benteng Jepang maupun sisa-sisa kapal tenggelam. Atau wisata mancing bagi mereka yang hobi.
Namun bagi turis lokal bangsa Indonesia, yang paling monumental tentu saja Tugu Kilometer 0 yang terletak di ujung Pulau Weh, yang menjadi tujuan wajib. Sebab mungkin di tempat lain ada juga wisata selam, gunung, air terjun, pantai indah, tetapi hanya di pulau ini ada tanda bukti titik paling Barat Indonesia.
Saat kami berkunjung, tugu ini tengah dalam perbaikan karena sebagian tubuhnya rusak dihempas angin beberapa bulan lalu sehingga perlu perbaikan.
Tugu setinggi kurang lebih 18 meter ini selalu ramai dikunjungi wisatawan karena sifat khasnya. Dikelilingi pepohonan, suasana terasa sejuk, sementara tidak jauh dari sana debur ombak yang keras menimbulkan bebunyian yang eksotif.
Bila Anda ingin minum kopi sambil makan pisang goreng, silakan bersantai di kedai-kedai yang ada, dengan harga yang relatif murah bagi orang Jakarta. Berlima mungkin hanya habis Rp 70.000 rupiah. Bila ingin membeli kenang-kenangan berupa kerajinan ataupun kaus oblong, selendang, dengan tulisan “Kilometer 0” ada beberapa warung menyediakannya. Yang tidak boleh Anda lupa adalah memesan sertifikat bahwa Anda pernah berkunjung ke tempat ini, langsung ditanda-tangani Walikota Sabang, dengan biaya Rp 20.000.
Tidak jauh dari tempat ini ada beberapa tempat penyelaman bagi Anda yang suka diving, ada Batee Gla, The Canyon, Pante Peunateung, yang siap menjadi ajang petualangan untuk menikmati karunia Sang Pencipta, tanaman dan ratusan jenis mahluk laut dengan keindahan yang menimbulkan eksotisme.
Bagi mereka yang masih amatir dan mau coba-coba, silakan ke Pantai Iboih yang berjarak sekitar 15 kilometer ke arah Sabang. Di sini begitu Anda tiba maka pemilik jasa penyewaan selam sudah menunggu. Sewa satu set pelampung, sepatu katak, dan kacamata serta alat snorkle, murah meriah. Bertiga harnya hanya Rp 100.000, untuk waktu semaunya, sampai bosan.
Anda bisa berenang di tepian pantai. Atau kalau mau ke pulau Rubiah, dengan pemandangan bawah air yang juga sangat menawan. Anda harus naik perahu ke pulau yang konon dulu di zaman penjajahan dijadikan tempat transit bagi mereka yang akan pergi haji, sekaligus tempat karantina kesehatan.
Selain beraksi, Anda pun mendapat kesempatan difoto saat bercengkerama dengan mahluk laut yang cantik-cantik dan sudah akrab dengan manusia. Bagi awam, Anda bisa menyaksikan ramainya suasana bawah laut melalui perahu kaca yang tembus pandang.
Kalau Anda penyelam sejati, Sabang adalah surga di dunia. Ada belasan titik yang dapat menjadi tempat menyalurkan hobi. Kalau Anda mengunjungi satu titik wisata selam dalam sehari, bisa dipastikan selama dua minggu barulah semua spot tuntas dijelajahi.
Tidak heran di berbagai penginapan di Sabang, selalu ada warga negara asing yang menginap dengan tujuan untuk menyelam. Apalagi Sabang relatif dekat dengan negara tetangga seperti Thailand dengan Phuketnya, Malaysia dengan Langkawinya, atau Singapura yang dihuni puluhan ribu ekspatriat, sehingga mudah dijangkau.
Tinggal terbang ke Medan dan nyambung ke Sabang ataupun melalui Banda Aceh dan lanjut dengan feri, sangat praktis.
***
Di kota Sabang khususnya waktu seperti berhenti bagi orang yang biasa hidup di kota metropolitan yang cepat dan super sibuk. Kota relatif sunyi. Tidak banyak yang berlalu-lalang di jalan, kendaraan pun tidak banyak.
Kontur tanah yang berbukit terdiri atas kebanyakan dataran tinggi dan hanya sedikit dataran rendah, menjadi sensasi sendiri. Di tempat-tempat tertentu Anda bisa duduk memesan kopi, menikmati mie aceh, martabak, lontong sayur, atau rujak dan kue-kue khas lokal.
Ada banyak tempat dengan ciri khas sendiri. Apakah di ketinggian tempat kita bisa memandang laut luas. Atau tepi pantai dengan angin sejuk. Di bawah pohon raksasa yang mengingatkan sejarah kota yang lama dan kaya cerita. Orang Sabang, seperti juga di daratan Aceh, suka minum kopi entah di pagi, siang, ataupun sore hari, sehingga kalau Anda ikut nimbrung, suasana keakraban warga lokal akan terasa.
Kalau Anda suka berjalan kaki, menikmati kota Sabang dengan jalan kaki juga bisa menjadi agenda yang menyenangkan.
Jalan yang relatif pendek-pendek membuat kita tidak akan cepat bosan karena baru beberapa menit, sudah ada persimpangan atau beloka, sementara pepohonan rindang ada di mana-mana.
Kondisi kota yang terdiri dari dataran rendah dan tinggi tetapi dalam jarak yang tidak jauh, menjadi tantangan menarik. Pemerintah juga memelihara kota dengan taman-taman tempat bermain. Tidak sulit mencari tempat duduk-duduk menikmati udara segar atau sekadar membuang waktu. Tidak ada lagi kota di Jawa misalnya, yang seasli Sabang yang masih mampu menjaga kemurniannya.
Ingin berfoto-foto Anda bisa memilih ke Taman Sabang atau Taman Sabang Merauke, yang jaraknya hanya sekitar 10 menit berkendaraan dari kantor Walikota atau downtown.
Titik ini juga menjadi penanda atau landmark, seperti kalau Anda berfoto di tulisan “Losari” di pantai Makassar. Atau ke Sabang Hill yang dijadikan titik untuk menikmati saat-saat matahari terbenam dengan warna merah langitnya di senja hari.
***
Sabang dengan luas 153 km2 secara administratif terbagi atas dua kecamatan, Suka Karya dan Suka Jaya.
Ada 18 desa (gampong) di pulau ini, dengan penduduk sekitar 30.000 orang yang kebanyakan terkonsentrasi di wilayah perkotaan. Titik masuk ke Sabang adalah pelabuhan Balohan, yang menyediakan jasa angkutan feri dan kapal cepat ke Ulele, di daratan Aceh, berkali-kali setiap hari.

Sementara pelabuhan udara Maimun Saleh, yang terletak dalam kompleks landasan udara milik TNI AU, hanya digunakan tiga kali dalam sepekan oleh Garuda menerbangkan dan mendatangkan penumpang ke Kuala Namu, Medan. Jalur udara ini yang biasanya digunakan turis asing atau turis dari jauh.
Sabang menjalin kerjasama dengan Phuket dan Langkawi menjadi segitiga wisata. Dibanding kedua tempat wisata di Thailand dan Malaysia itu, fasilitas di Sabang memang masih kalah, khususnya dalam hal sarana umum.
Untuk jalan raya yang menghubungkan titik-titik wisata relatif sudah mulus. Tetapi sarana toilet, pusat kuliner, belum dikelola dengan baik. Terkadang masih sulit menemukan toilet yang bersih dan dalam jumlah banyak di tempat wisata yang ramai dikunjungi turis.
Di pusat kuliner juga, belum ada keseragaman untuk menyajikan makanan yang higenis, memikat, sehingga meyakinkan turis bahwa itu layak dimakan. Perlu upaya dari Pemerintah Kota Sabang untuk memberi pelatihan dan bantuan fasilitas air bersih agar kualitasnya terjaga dan sesuai standar internasional.
Soal kebersihan ini merupakan persoalan klasik di tempat banyak wisata Indonesia, terutama karena rendahnya kesadaran warga pada umumnya dan pelaku wisata pada khususnya.
Kebiasaan membuang sampah sembarangan, kurang tersedianya tempat sampah yang pantas, dan kurangnya kontrol dinas kebersihan, membuat keadaan menjadi lebih buruk.
Di Phuket dan Langkawi, masalah ini tidak ada, jadi turis tidak merasa jijik atau takut sakit perut karena makanan yang tidak bersih. Sabang harus juga sejajar dalam hal kebersihan ini agar mampu bersaing dengan kedua kota itu. Yang juga kurang adalah angkutan umum yang murah sehingga turis dapat pergi ke titik yang mereka kehendaki hanya dengan membawa peta. Begitu pun pusat informasi di tempat-tempat penting agar mereka yang ingin menanyakan sesuatu, tidak kerepotan pada saat membutuhkannya.
Sabang sungguh istimewa. Kita mungkin akan heran mengapa sepeda motor yang diparkir tidak terkunci bahkan banyak yang kunci nya pun masih tergantung di stop kontak.
Tetapi itu hanya bisa terjadi karena tingkat keamanan yang tinggi. Turis muslim juga sangat dipermudah karena hampir di setiap sudut ada meunasah, atau mushalla, yang untuk ukuran Jakarta sebenarnya besar dan sudah pantas disebut masjid.
Semua masjid di sini tempat wudhunya bersih, fasilitasnya terpelihara, dan ada kipas angin penyejuk dan karpet. Sedangkan masjid agungnya anggun dan megah.
Kalau merasa warga Indonesia, kunjungilah Sabang. Siapa tahu Anda nanti berkesempatan pula pergi ke Merauke. Dan lengkaplah rasanya menjadi anak bangsa.***