Menurut para pengamat kondisi perekonomian Indonesia semakin parah. Pertumbuhan melorot dari prediksi semester pertama sekitar lima persen menjadi sekitar 4,67 persen sebagaimana diumumkan Badan Pusat Statistik.
Dari media kita ketahui nilai tukar rupiah terhadap dolar sampai pertengahan pekan ini menjadi Rp13. 800,- untuk satu dolar.
Indeks Harga Saham Gabungan, yang sempat meroket ke kisaran 5.500, kini tinggal 4.700an. Itu bahasa “orang pintar”.
Bahasa awam, kehidupan masyarakat semakin susah akibat tingginya beberapa harga.
Daging yang semasa menjelang Idul Fitri naik, bahkan kini di Jakarta dan beberapa kota ke angka Rp130.0,- per kilogram. Harga telur ayam di warung mencapai Rp23.000 per kilogram.
Tukang ojek langganan saya ikut-ikutan bicara ekonomi yang memburuk. Buktinya, semakin banyak orang bermobil yang memarkir kendaraan di stasiun keretapi dan menggunakan jasa angkutan umum murah meriah itu ke tempat bekerja.
Tempat parkir resmi penuh dan tempat parkir buatan rakyat pun susah menampung pelanggan. Mobil mewah seperti BMW atau Mercedes, walaupun bukan keluaran tahun terakhir, tidak ragu parkir. Begitu pula Pajero, Honda CRV, Innova, banyak tampak.
Masuk akal memang, untuk jarak 15 km, tarif KRL hanya Rp2.000, yang kalau dikonversi ke BBM sudah setara dengan dua liter untuk jalan macet. Artinya selisihnya besar antara naik mobil atau kereta api listrik. Belum lagi biaya tol dsb.
Keluhan tukang ojek muncul karena penumpang KRL pun berpikir ulang untuk menggunakan jasa ojek kalau ada alternatif seperti angkot.
Tidak mengherankan karena tidak masuk akal misalnya kalau dari Tanah Abang sampai Bintaro penumpang bayar Rp2.000 lalu untuk sampai di rumah dari stasiun seseorang harus bayar lagi Rp15.000. Naik angkot bisa hanya bayar Rp3.000 atau maksimal Rp 5.000.
Nah, masyarakat yang semakin berhemat membuat tukang ojek terkena imbas, khususnya ojek tradisional di kawasan pinggiran yang masih asyik dengan pola bisnis lama.
Apalagi kini sudah ada Go Jek yang lebih murah dan tertata. Angkutan “modern” ini sudah memiliki tarif resmi jadi tidak perlu tawar menawar, jadi konsumen tidak akan menjadi korban. Di samping itu karena dikelola sebagai bisnis jasa yang bertanggungjawab, mereka peduli pada kepuasan konsumen, layanan dijaga kualitasnya, dan bisa dikomplain. Bahkan semasa promosi sampai pekan akhir Agustus, diskonnya besar sehingga untuk jarak 30 km pun tarifnya hanya sekitar Rp10.000. Padahal kalau ojek biasa, bisa kena Rp50.000,.
Zaman susah selalu ada dan yang paling terkena adalah rakyat kebanyakan. Tidak hanya di Indonesia, tetapi di semua negara yang mengalaminya. Kelesuan perekonomian global saat ini banyak penyebabnya dan saling berkaitan, tetapi itu adalah buah kapitalisme yang dianut dunia yang kita huni.
Rezim ekonomi dunia dikuasai pemilik modal, yang punya uang, yang selalu ingin untung sebesar-besarnya tanpa peduli dampaknya pada pihak lain. Target untung besar inilah yang membuat semua perusahaan multinasional rela melakukan apa saja, termasuk mengeruk kekayaan negara miskin, membuat harga-harga sesuai keinginan mereka, dst.
Mereka semakin kaya di atas negara dan masyarakat yang semakin miskin, walau perlu dicatat kalangan elite di negara miskin pun tidak sedikit yang menikmati kekayaan karena menyalahgunakan kekuasaan.
Maka bahkan ada pakar yang mengatakan dalam beberapa tahun ke depan satu persen orang kaya di dunia akan menguasai 99 persen kekayaan dunia, dan sisanya 99 persen manusia lagi harus berbagi sisa satu persen uang yang tersisa. Sungguh ironis.
Tentu saja di zaman susah kita tidak boleh menyerah. Terus berkarya dan berusaha, di samping selalu berdoa kepada Sang Pencipta. Selalu ada jalan ketika ada kemauan, ketika ada kreativitas, seperti yang dialami orang-orang sukses.
Walaupun tentu sebaiknya kita mengingat kisah Nabi Yusuf. Yaitu agar bisa membaca tanda-tanda bakal datangnya masa susah sehingga sempat menyiapkan diri, baik secara material maupun mental agar tidak terpuruk ketika kesulitan tiba.
Tidak boros, menyisihkan uang untuk ditabung berapapun jumlahnya, dan berpikir jauh ke hadapan. Tidak terbawa lingkungan yang terlanjur materialistis, aji mumpung, dan seperti tidak memikirkan masa depan.
Bersiap itu membuat kita tidak terkejut. Begitu kan? (Bung Hen)